scholarly journals Ukuran dan bentuk lengkung gigi rahang bawah pada orang Papua

e-GIGI ◽  
2016 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
Author(s):  
Yoddy G. Saputra ◽  
P. S. Anindita ◽  
Damajanty H.C. Pangemanan

Abstract: Mandibular size and shape are important information especially in terms to figure out the right diagnosis and the type of treatment a patient should have. Human mandible is a key factor for occlusion adjustment, meanwhile maxilla is following the mandible’s position. Several studies show that the stability of mandibular shape and size determines the success of one’s treatment. Each ethnic group has a particular skeletal pattern as well as shape and size of mandible. This study was aimed to obtain the average size and shape of mandibles among local Papuans. This was a descriptive observational study with a cross-sectional design. Samples were obtained by using purposive sampling method. There were 35 local Papuans aged 18-25 years as subjects. Data were obtained by molding the subject’s mandible, therefore, each subject produced a study model. The study model was measured in sagittal (length) and transversal (width) views based on Raberin method. The results showed that the average lengths of local Papuans’ mandibular size in sagittal view (L31, L61, and L71 in a row) were 6.143; 26.463; and 43.743 mm meanwhile the average widths of local Papuans’ mandibular size (L33, L66, and L77 in a row) were 30.857; 50.971; and 60.971 mm. The mandibular shape of most local Papuans was mid shape (45.8%) meanwhile the least shape of them was pointed (5.7%)Keywords: dental arch size, dental arch shape, mandibular, local Papuan Abstrak: Ukuran dan bentuk lengkung gigi rahang bawah sangat diperlukan dalam menentukan diagnosis dan rencana perawatan yang tepat dalam bidang ortodontik karena rahang bawah merupakan faktor stabilitas oklusi, sedangkan rahang atas menyesuaikan pada rahang bawah. Beberapa peneliti menyatakan bahwa kestabilan bentuk dan ukuran lengkung gigi rahang bawah merupakan faktor stabilitas dari hasil perawatan. Setiap kelompok etnik cenderung memiliki pola skeletal dan ukuran lengkung gigi rahang bawah yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rerata ukuran dan bentuk lengkung gigi rahang bawah pada orang Papua. Jenis penelitian yaitu deskriptif observasional dengan desain potong lintang. Subjek penelitian ini sebanyak 35 orang Papua berusia 18-25 tahun diperoleh dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengambilan data dalam penelitian dilakukan dengan mencetak rahang bawah setiap subjek penelitian dan didapatkan hasil cetakan berupa model studi. Model studi yang diperoleh diukur dalam arah sagital (panjang) dan transversal (lebar) berdasarkan metode Raberin. Hasil pengukurun diperoleh rerata panjang lengkung gigi rahang bawah pada orang Papua dalam arah sagital (yaitu L31, L61, L71) berturut-turut 6,143; 26,463; dan 43,743 mm, sedangkan rerata lebar lengkung gigi dalam arah transversal (yaitu L33, L66, L77) berturut-turut 30,857; 50,971; dan 60,971 mm. Bentuk lengkung gigi rahang bawah pada orang asli Papua paling banyak yaitu bentuk mid (45,8%) dan yang paling sedikit berbentuk pointed (5,7%). Kata kunci: ukuran lengkung gigi, bentuk lengkung gigi, rahang bawah, orang asli Papua

2019 ◽  
Vol 10 (1) ◽  
pp. 196
Author(s):  
Nor Asiyah ◽  
Anny Rosiana Mashitoh ◽  
Dwi Kristiani

Abstrak Latar Belakang: Dalam proses Bounding Attachment ada beberapa faktor yang mempengaruhi, diantaranya Sibling Rivalry atau Perilaku anak ataupun bayi dengan keluarga yang dapat tumbuh dari diri anak itu sendiri dan orang tua dalam mendidik. perlakuan orang tua terhadap anak merupakan faktor kunci yang menentukan seberapa besar persaingan yang terjadi antara saudara kandung. Respon anak pertama terhadap adik bayinya dapat mempengaruhi proses bounding attachment, bayi akan merasa terganggu dengan cara menangis. Jika terjadi berulang-ulang, maka tujuan bounding attachment yang mengharapkan bayi dapat mengadakan eksplorasi menjadi terbatas, sehingga  menumbuhkan sikap sosial berkurang, dan menumbuhkan perilaku meniru sikap kakaknya. Faktor yang paling dominan terjadinya sibling rivalry pada anak yaitu sikap orang tua. Orang tua membagi perhatian dengan orang lain, mengidolakan anak tertentu, perasaan kesal, dan membanding-bandingkan anak dapat memicu terjadinya sibling rivalry. perlakuan orang tua yang adil dapat menjalin Kedekatan  emosi orang tua dengan anak  sehingga akan slalu memiliki ikatan batin (kasih sayang) yang kuat. Tujuan: Diketahuinya Hubungan Sibling Rivalry dengan Bounding Attachment pada Ibu Nifas di Desa Bae Kudus. Metode: Jenis penelitian analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional, dengan popuasi 52 responden. Dengan accidental sampling sebesar 46 responden. Pengambilan sampel dengan cara purposive sampling menggunakan kriterian inklusi dan eksklusi dengan alat uji menggunakan chi square (X2) dengan menggunakan  dan 95% confidence  intervel (CI). Hasil: Hasil uji chi square Sibling Rivalry Dengan Bounding, Sibling Rivalry Dengan Bounding Attachment diperoleh nilai p value sebesar= 0,027. Kesimpulan: Ada Hubungan Sibling Rivalry Dengan Bounding Attachment Pada Ibu nifas di Desa Bae Kudus. Kata kunci : Sibling Rivalry, bounding attachment Abstract Background: In the Bounding Attachment process, there are several factors influencing the process including Rivalry Sibling or the behavior of child or baby with family that can grow from the child himself and the parents in giving education. Parental treatment to children is a key factor that determines the competition occuredamong the siblings. The first child's response to youger sister (baby) can affect the process of bounding attachment in the way that the baby will be disturbed by crying. If it happens repeatedly,  the goal of bounding attachments that the baby will carry out exploration becomes limited, therefore it will reduce social attitudes and imitate his brother's attitude.The most dominant factor in sibling rivalry is the attitude of parents. This means that parents share attention with others, idolize certain children, feel upset with certain children, and compare children so that it may trigger sibling rivalry. Fair parental treatment will create close emotional betweenparents and children so that they will always have a strong inner bond (love). Objective: this study is to know the relationship between Sibling Rivalry and Bounding Attachment in Postpartum Mothers in Bae of Kudus. Method: This study used analytical correlation research with cross sectional approach. The population were 52 respondents. Taken accidental sampling, the samples were 46 respondents. Sampling was done by purposive sampling using inclusion and exclusion criteria of chi square (X2) test using 95% confidence intervals (CI). Results: The results of chi square test of Sibling Rivalry With Bounding, Sibling Rivalry with Bounding Attachment obtained p value of = 0.027. Conclusion: There is relationship between Sibling Rivalry and Postpartum Bounding Attachment in Bae Kudus Keywords: Sibling Rivalry, bounding attachment


e-GIGI ◽  
2017 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
Author(s):  
Novany Lumempouw ◽  
Christy N. Mintjelungan ◽  
Kustina Zuliari

Abstract: During the developmental stage, children begin to do a variety of activities including tooth brushing. Generally, children use their right hands dominantly to do their activities (right-handed), however, there are also children who use their left hands (left-handed) dominantly. This study was aimed to assess the oral hygiene status based on tooth brushing with a combination technique among left-handed and right-handed children. This was a descriptive study with a cross-sectional design. Population study consisted of left-handed and right-handed children at Kalawat, North Minahasa, North Sulawesi province. Respondents were 60 children consisted of 30 left-handed children and 30 right-handed children obtained by using the purposive sampling method. Data were obtained by using checking form of oral hygiene status. The results showed that oral hygiene status of most left-handed and right-handed children was in good category. The average of OHI-S score of the left-handed children before tooth brushing was 0.7 and after tooth brushing was 0.3, whereas, of the right-handed children, the average of OHI-S score before tooth brushing was 0.6 and after tooth brushing was 0.2. Conclusion: Oral hygiene status of right-handed children who brushed their teeth with a combination technique was better than of the left-handed children. Keywords: oral hygiene status, left-handed children, right-handed children, tooth brushing, combination techniqueAbstrak: Seiring berjalannya tahap perkembangan, anak-anak mulai melakukan aktivitas termasuk menyikat gigi. Umumnya anak dominan melakukan aktivitas menggunakan tangan kanan (non-kidal) tetapi ada juga yang dominan melakukan aktivitas menggunakan tangan kiri (kidal). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan status kebersihan gigi dan mulut nerdasrkan cara menyikat gigi dengan teknik kombinasi pada anak kidal dan non-kidal. Jenis penelitian ialah deskriptif dengan desain potong lintang. Populasi penelitian ialah anak kidal dan non-kidal di Kecamatan Kalawat Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. Jumlah responden sebanyak 60 orang anak terdiri dari 30 anak kidal dan 30 anak non-kidal diambil dengan metode purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan formulir pemeriksaan status kebersihan gigi dan mulut. Hasil penelitian menunjukkan status kebersihan gigi dan mulut pada anak kidal dan anak non-kidal sebagian besar memiliki kategori baik. Rerata skor OHI-S anak kidal sebelum menyikat gigi yaitu 0,7 dan sesudah menyikat gigi 0,3 sedangkan pada anak non-kidal rerata skor OHI-S sebelum menyikat gigi 0,6 dan sesudah menyikat gigi 0,2. Simpulan: Status kebersihan gigi dan mulut berdasarkan cara menyikat gigi menggunakan teknik kombinasi pada anak non-kidal lebih baik dibandingkan pada anak kidal.Kata kunci: status kebersihan gigi dan mulut, anak kidal, anak non-kidal, menyikat gigi teknik kombinasi.


2012 ◽  
Vol 11 (3) ◽  
pp. 156 ◽  
Author(s):  
Irene Edith Rieuwpassa ◽  
Syamsiar Toppo ◽  
Sri Dian Haerawati

Factors which influence the dental arch changes including genetic and environment. This study aims to determine thedifferences in size and shape of dental arch between men and women of Buginese, Makassarese and Torajanese. Thisstudy is an observational study, with a cross-sectional study design. The sampling method was purposive sampling, andnumber of samples were 90 samples obtained from 90 people with 30 people for each tribe, consist of 15 men and 15women, aged 18-25 years, with full dentition. Data were obtained through tcasting models of the maxillary andmandibular samples then were measured by using a ruler and caliper, then calculated using formula to determine,register, and analyze the size and shape of dental arch. Using multiple statistics, including t-test, ANOVA, chi-squaretest, and marginal of homogenity test there are significant differences regarding the size and shape of dental archbetween men and women of the Buginese, Makassarese, and Torajanese. There is only significant difference ofmaxillary dental arch for Buginese, Makassarese, and Torajanese


2020 ◽  
Vol 53 (2) ◽  
pp. 93
Author(s):  
Atiek Driana Rahmawati ◽  
Iwa Sutardjo Rus Sudarso ◽  
Dibyo Pramono ◽  
Eggi Arguni

Background: Dental arch form and dimension are fundamental factors in orthodontic diagnosis and treatment planning. Its dimension will increase, due to the eruption of teeth, and is also affected by ethnicity, nutrition, systemic disease, hormonal factors, and gender. Many teeth are erupting in 8–10-year-old children. Purpose: This study aimed to assess the correlation between age and dental arch dimension of Javanese children in good nutritional status for consideration of orthodontic treatment. Methods: This was a cross-sectional study with 66 children aged 8–10 years in a normal dentoskeletal relationship, grouped based on age as the subject. Each group consisted of 22 pairs of dental study models, male and female. Anterior and posterior size of dental arch length were measured by digital sliding calipers from the midpoint between the right and left permanent central incisors perpendicular to the inter-canines and inter-molars. The width was measured at the inter-canines and inter-molars. Results: Pearson’s correlation test showed that there were significant correlations between age and maxillary dental arch lengths (p = 0.01, r = 0.31 for anterior, and p = 0.043, r = 0.249 for posterior). Conclusion: Based on this study, it can be concluded that there was a positive correlation between age and dental arch length of 8–10-year-old Javanese children in good nutritional status, especially in maxillary dental arch length.


2017 ◽  
Vol 13 (1) ◽  
pp. 1
Author(s):  
Iwan Aflanie ◽  
Nurul Qomariah ◽  
Mashuri Mashuri

Abstract: Estimated height has an important role in identifying unknown bodies, incomplete, and the residual bone. Measurements in the long bones such as the forearm are better used to determine the height because it is the best result among the other members of the body size. The purpose of this study was to analyzed a correlation between the forearm length with the height of Banjar Tribe’s students of Medical Faculty of Lambung Mangkurat University and to obtain height estimation formula based on the forearm length in Banjar Tribe’ female. The research method is an analytical observation with cross sectional approach. The research subjects were taken by purposive sampling with samples of 52 people and were analyzed by Pearson correlation and linear regression analysis. The results of Pearson test showed that the value of p = 0,00 for the right and left arm with the value of r = 0.974 for the right arm and r = 0.972 for the left arm, which means there is a very strong relationship between the forearm length with height. It is concluded that there is a very strong correlation between the forearm length with students height of Banjar tribe Medical Faculty of Lambung Mangkurat University with height estimation formula Height = 63,838 + 3,693 x length of the right forearm and Height = 61,873 + 3,780 x left forearm length. Keywords: identification, height estimation, Banjar tribe’ female Abstrak: Memperkirakan tinggi badan mempunyai peranan penting dalam mengidentifikasi jenazah tidak dikenal, tidak lengkap, dan sisa tulang. Pengukuran pada tulang panjang seperti lengan bawah lebih baik digunakan untuk menentukan tinggi badan karena merupakan hasil terbaik diantara ukuran anggota tubuh yang lain. Penelitian ini bertujuan menganalisis korelasi antara panjang lengan bawah dengan tinggi badan dan mendapatkan formula estimasi tinggi badan berdasarkan panjang lengan bawah pada mahasiswi suku Banjar Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat. Metode penelitian adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan subjek penelitian dengan cara purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 52 orang. Analisis yang digunakan dengan analisis korelasi Pearson. Hasil uji Pearson didapatkan nilai p = 0,00 untuk lengan kanan dan kiri. Hubungan  antara panjang lengan bawah kanan dengan tinggi badan memiliki nilai r = 0,974, sedangkan hubungan  antara panjang lengan bawah kiri dengan tinggi badan memiliki nilai r = 0,972. Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat korelasi yang sangat kuat antara panjang lengan bawah dengan tinggi badan pada mahasiswi suku Banjar Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat dengan formula estimasi tinggi badan TB = 63,838 + 3,693 x panjang lengan bawah kanan dan TB = 61,873 + 3,780 x panjang lengan bawah kiri. Kata-kata kunci : identifikasi, estimasi tinggi badan, wanita suku Banjar


e-GIGI ◽  
2015 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
Author(s):  
Rahmaya E. U. Paputungan ◽  
P. S. Anindita ◽  
Krista V. Siagian

Abstract: Mandibular arch size and form are required in order to establish proper diagnoses and orthodontic treatment plans. Mandibular dental arch is a factor affecting maximum stability of treatment outcomes. The purpose of this study was to determine means of mandibular arch size and form in Mongondow ethnic group.This research was classified into descriptive observational with cross sectional study. Sample of this research were 35 peoples aged 18-25 years at the original Mongondow ethnic group based on two generation of grandparents. Samples were taken by using purposive sampling method. The measurement of dental arch length and width were done in sagittal and transversal direction based on the Raberin’s method. Results showed that the average values of mandibular arch length in Mongondow ethnic group which categorized as depths of canines (L31), depths first molars (L61) and depths of second molars were 5.18 mm;24.26 mm; and 39.34 mm respectively. The average values of mandibular arch width which categorized as inter canines (L33), inter first molars (L66) and inter second molars (L77) were 27.38 mm, 45.60 mm and 53.59 mm respectively. The most mandibular arch form of Mongondow ethnic group was mid (51.4%) and the less of this group was pointed (5.7%).Keywords: dental arch size, dental arch form, mandibular, Mongondow ethnic groupAbstrak: Ukuran dan bentuk lengkung gigi rahang bawah sangat diperlukan dalam menentukan diagnosa dan rencana perawatan ortodontik yang tepat. Lengkung gigi rahang bawah merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam mempertahankan stabilitas hasil perawatan ortodonti. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mendapatkan rerata ukuran dan bentuk lengkung gigi rahang bawah pada suku Mongondow. Jenis penelitian ini yaitu observasional deskriptif dengan desain penelitian cross sectional study. Sampel yang diperoleh sebanyak 35 orang suku Mongondow asli dari dua generasi yag berusia 18-25 tahun. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengukuran panjang dan lebar lengkung gigi diukur dalam arah sagital dan transversal pada model studi/hasil cetakan rahang bawah dengan metode Raberin. Hasil pengukuran diperoleh rerata ukuran panjang lengkung gigi rahang bawah pada suku Mongondow yang dikategorikan sebagai kedalaman kaninus (L31), kedalaman molar pertama (L61) dan kedalaman molar kedua (L71) berturut-turut yaitu 5,18 mm; 24,26 mm; dan 39,34 mm. Rerata ukuran lebar lengkung gigi yang dikategorikan sebagai lebar interkaninus (L33), lebar intermolar pertama (L66) dan lebar intermolar kedua (L77) berturut-turut yaitu 27,38 mm; 45,60 mm dan; 53,59 mm. Bentuk lengkung gigi rahang bawah pada suku Mongondow paling banyak yaitu bentuk mid (51,4%) dan yang paling sedikit yaitu bentuk pointed (5,7%). Kata kunci: ukuran lengkung gigi, bentuk lengkung gigi, rahang bawah, suku Mongondow


2018 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 90
Author(s):  
Iskandar Arfan ◽  
Wulandari Wulandari

Abstract: Epidemiological Study Events Of Traffic Accidents In Pontianak City. The number of traffic accidents in Pontianak City in 2014 is 477 cases, 2015 by 454 cases, in 2016 as many as 542 cases. Important research is done to know the main cause faktors of the accident so that policy makers can pursue the right and maximum intervention. The purpose of this research is to know the epidemiology of traffic accident incident on the motorcycle and cars in Pontianak City. The research used descriptive cross sectional design. Research sample 94 people who have experienced Traffic Accident the last 3 months recorded in data Polresta Pontianak with sampling technique using purposive sampling. The results showed that most of the frequency distribution of epidemiological variables in traffic accidents were as follows: age 26-45 years (45.7%), male gender (70.2%), no driver license (82%). Drivers are driven by high-speed driving habits (67%), vehicle drivers are not routinely caring for vehicles (44.7%), environmental faktors are mostly drivers in dark road conditions (17%). It is expected to raise public awareness about safety driving measures and increase the strength of traffic police and volunteers at crowded traffic points to control traffic especially over the weekend as well as strict regulation of drivers’ faktors, especially the ownership of driving licenses, vehicle maintenance, and improvement of road environmental facilitiesAbstrak: Studi Epidemiologi Kejadian Kecelakaan Lalu Lintas Di Kota Pontianak.  Angka kecelakaan lalu lintas di Kota pontianak terus menerus terjadi peningkatan setiap tahun. tahun 2014 sebanyak 477 kasus, tahun 2015 sebanyak 454 kasus dan tahun 2016 sebanyak 542 kasus, penelitian penting dilakukan untuk mengetahui faktor penyebab utama kecelakaan sehingga pengambil kebijakan dapat mengupayakan intervensi yang tepat dan maksimal. Tujuan penelitian  untuk mengetahui epidemiologi kejadian kecelakaan lalu lintas pada pengendara motor dan mobil di Kota Pontianak. Penelitian menggunakan desain cross sectional deskriptif. Sampel penelitian 94 orang yang pernah mengalami kecelakaan lalu lintas 3 bulan terakhir yang tercatat di data Polresta Kota Pontianak dengan teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Hasil penelitian menunjukan sebagian besar distribusi frekuensi variabel epidemiologi pada kasus kecelakaan lalu lintas adalah sebagai berikut: usia 26-45 tahun (45.7%), jenis kelamin laki-laki (70.2%), tidak memiliki SIM (82%). Berdasarkan faktor pengemudi sebagian besar memiliki kebiasaan berkendara dengan kecepatan tinggi (67%), faktor kendaraan sebagian besar pengemudi tidak rutin merawat kendaraan (44.7%), faktor lingkungan sebagian besar pengemudi dalam kondisi jalan gelap (17%). Diharapkan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang langkah-langkah keselamatan berkendara dan meningkatkan kekuatan polisi lalu lintas dan sukarelawan di titik-titik lalu lintas yang padat untuk mengontrol lalu lintas terutama selama akhir pekan serta pengaturan ketat dari faktor pengemudi khususnya kepemilikan surat ijin mengemudi, perawatan kendaraan, dan perbaikan fasilitas lingkungan jalan. 


2021 ◽  
Vol 33 (1) ◽  
pp. 25
Author(s):  
Nadhira Fathir Rahmaningrum ◽  
Deni Sumantri Latif ◽  
Yuliawati Zenab

Pendahuluan: Gigi berjejal adalah salah satu kasus maloklusi yang sering dikeluhkan oleh pasien dalam perawatan ortodonti, khususnya pada regio anterior. Sekrup ekspansi adalah salah satu komponen aktif dalam alat ortodonti lepasan yang digunakan untuk melebarkan lengkung gigi dalam kasus gigi berjejal. Keberhasilan perawatan dengan sekrup ekspansi dapat dievaluasi dengan mengukur lebar interkaninus. Evaluasi ini dapat dilihat dalam satu sampai tiga minggu setelah aktivasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan lebar interkaninus rahang bawah setelah aktivasi sekrup ekspansi pada perawatan ortodonti lepasan dengan membandingkan waktu aktivasi dua dan tiga minggu sekali. Metode: Jenis penelitian ini adalah analitik cross-sectional dengan teknik pengambilan sampel secara purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengukur lebar interkaninus pada 18 model studi rahang bawah pasien sebelum dan setelah sepuluh kali aktivasi sekrup ekspansi pada kelompok waktu aktivasi dua dan tiga minggu sekali di Klinik Ortodonti RSGM Unpad. Data dianalisis dengan uji t menggunakan aplikasi SPSS 23. Hasil: Lebar interkaninus rahang bawah mengalami perubahan secara bermakna pada kelompok waktu aktivasi tiga minggu sekali, yaitu sebesar 1,38 mm, yang dua kali lebih besar daripada kelompok waktu aktivasi dua minggu sekali, yaitu sebesar 0,6 mm, dengan p<0,05. Nilai standar deviasi dari seluruh data terbilang kecil, menunjukkan bahwa data bersifat homogen. Simpulan: Perawatan ortodonti menggunakan sekrup ekspansi rahang bawah menunjukkan tidak terdapat perubahan yang bermakna pada kelompok waktu aktivasi dua dan tiga minggu sekali, namun secara klinis aktivasi lebih efektif apabila dilakukan lebih dari dua minggu sekali.Kata kunci: Sekrup ekspansi, lebar interkaninus, rahang bawah. ABSTRACTIntroduction: Tooth crowding is a malocclusion case often complained in orthodontic treatment, especially in the anterior region. The expansion screw is one of the active components in a removable orthodontic appliance used to enlarge the dental arch in cases of tooth crowding. The success of treatment with expansion screws can be evaluated through intercanine width measurement. This evaluation can be seen within one to three weeks after activation. This study was aimed to analyse changes in mandibular intercanine width after expansion screw activation in removable orthodontic treatment by comparing the activation times in the second and third weeks. Methods: This research was cross-sectional analytic with a purposive sampling technique. The data was collected by measuring the intercanine width in 18 study models of the patient’s mandible before and after ten expansion screw activation in the second and third-week activation time group at the Orthodontics Clinic of Universitas Padjadjaran Dental Hospital. Data were analysed by t-test using SPSS 23 software. Results: The mandibular intercanine width experienced a significant change in the third-week activation time group, which was 1.38 mm, twice larger than the second-week activation time group, which was 0.6 mm, with p<0.05. The standard deviation value of all data was relatively small, indicating that the data was homogeneous. Conclusion: Orthodontic treatment using mandibular expansion screw showed no significant changes in the second and third week activation time groups. However, clinical activation is more effective if performed more than once every two weeks.Keywords: Expansion screw, intercanine width, mandible.


Background: Using erupted components of a dental arch to estimate the width of the unerupted dental components are the basis of mixed dentition analysis. Non-radiographic mixed dentition analysis employs a regression equation to assess the width of the unerupted canines and premolars. In this study, we assessed the applicability of two non-radiographic methods of mixed dentition analysis in orthodontic patients. Methods: This cross-sectional research was carried out from the records of Ziauddin College of Dentistry, Department of Orthodontics, from November 2019 to March 2020. Pre-treatment dental casts of 120 subjects (60 males and 60 females) aged between 12-30 years undergoing orthodontic treatment were selected. The mesiodistal widths from the left first molar to the right first molar were measured using a digital Vernier caliper on pretreatment dental casts of both arches. Bachman’s and Tanaka-Johnston methods were applied to estimate the widths of canine and premolars. Gender dimorphism for actual and estimated values was assessed using an independent t-test and a paired t-test was applied for the comparison between the actual and estimated mesiodistal widths of canine and premolar. Results: The actual and estimated widths of canine and premolars reported 14.3±1.4 years for males and 13.4±1.2 years for females. In addition, the Bachman’s and Tanaka-Johnston method overestimated the actual widths of unerupted canine and premolar but the difference was statistically insignificant (p≥ 0.05) in both the genders. Conclusion: The two non-radiographic methods were reliable for mixed dentition analysis with minor overestimation between actual and estimated widths (ICC=0.79). This makes both the methods applicable interchangeably in regular clinical practice.


2016 ◽  
Vol 19 (1) ◽  
pp. 66-70
Author(s):  
Erliera Erliera ◽  
Nurdiana Nurdiana ◽  
Maya Indah Triastuti

Saliva merupakan salah satu komponen penting yang berperan dalam melindungi jaringan di dalam rongga mulut. Namun, setiap individu  memiliki laju aliran dan pH saliva yang berbeda-beda karena dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya terhadap stimulus mekanis seperti pada pemakaian pesawat ortodonti cekat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan laju aliran dan pH saliva pasien dengan piranti ortodonti cekat dan tanpa piranti ortodonti pada mahasiswa FKG USU. Jenis penelitian ini adalah cross sectional. Pemilihan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling dan sampel yang diambil sebesar 44 orang yang terdiri dari 22 orang pemakai piranti ortodonti cekat dan 22 orang bukan pemakai piranti ortodonti. Pengumpulan saliva dilakukan dengan metode passive drool. Perbandingan laju aliran saliva antara kedua kelompok dianalisis menggunakan uji Mann – Whitney U dan perbandingan pH saliva dengan menggunakan uji-t independent. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju aliran saliva tertinggi sebesar 1,16 ml/menit dan pH saliva tertinggi sebesar 7,60 terdapat pada pasien pemakai piranti ortodonti cekat dan laju aliran terendah 0,08 ml/menit dan pH saliva terendah 6,40 pada pasien tanpa piranti ortodonti cekat. Sebagai kesimpulan, terdapat perbedaan yang signifikan untuk laju aliran dan pH saliva antara pasien dengan piranti ortodonti cekat dengan pasien tanpa piranti ortodonti (p<0,05), dimana laju aliran dan pH saliva pada pasien dengan piranti ortodonti cekat lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa piranti ortodonti.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document