scholarly journals Peranan Diet Rendah Serat terhadap Timbulnya Hemoroid di RSUP. Dr. M. Djamil Padang

2015 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
Author(s):  
Afifah Muthmainnah ◽  
Masrul Masrul ◽  
Asril Zahari

AbstrakHemoroid adalah dilatasi varikosus vena dari pleksus hemoroidal inferior atau superior yang disebabkan oleh berbagai faktor. Sumatera Barat menempati urutan kedua terendah konsumsi serat di seluruh provinsi Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan apakah terdapat peranan diet rendah serat terhadap timbulnya hemoroid di RSUP. Dr. M. Djamil Padang. Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan menggunakan desain case control yang dilakukan pada 44 orang, terdiri dari 22 kasus dan 22 kontrol. Data primer dikumpulkan dengan mencatat hasil anamnesis berdasarkan kuesioner dan FFQ (Food Frequency Questionnaire) dan diolah dengan menggunakan Nutrisurvey untuk FFQ, dan aplikasi komputer dengan menggunakan analisis univariat dan bivariat dengan uji statistik Chi-square disertai derajat kepercayaan 95%. Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa hemoroid lebih banyak diderita oleh pasien yang berumur diatas 40 tahun. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak adanya peranan diet rendah serat terhadap timbulnya hemoroid (OR tidak ditemukan), namun terdapat faktor lain yang berperan terhadap timbulnya hemoroid yaitu jenis pekerjaan (OR=6,5). Diet rendah serat, riwayat hemoroid dalam keluarga, dan kebiasaan posisi BAB bukan merupakan faktor risiko hemoroid dalam penelitian ini. Jenis pekerjaan merupakan faktor risiko hemoroid.Kata kunci: hemoroid, diet rendah serat, FFQAbstractHemorrhoid are the dilated veins of the plexus hemoroidal varicose inferior or superior due to various factors. West Sumatra ranks second lowest fiber consumption in all provinces of Indonesia. The objective of this study was to determine the role of low-fiber diet in the occurrence of hemorrhoid in RSUP. Dr. M. Djamil Padang. This research was an analytic observational uses case control design that conducted on 44 people, consisting of 22 cases and 22 controls. Primary data were collected by recording the results of history by questionnaire and FFQ (Food Frequency Questionnaire) and processed using Nutrisurvey for FFQ and computer software using univariate and bivariate analysis with Chi-square test statistic with 95% confidence level. The results of univariate analysis showed that more hemorrhoid suffered by patients aged over 40 years. The results of the bivariate analysis showed no role of low-fiber diet in the occurrence of hemorrhoid (OR not found), but there was another factor associated with the occurrence of hemorrhoid, that is the type of work (OR = 6.5). Low-fiber diet, hemorrhoid history in the family, and habits of defecate position are not the risk factor for hemorrhoid in this research. The type of work is a risk factor for hemorrhoid.Keywords: hemorrhoid, low-fiber diet, FFQ

Author(s):  
Rahmaniah Rahmaniah ◽  
Emy Huriyati ◽  
Winda Irwanti

<p>ABSTRACT</p><p>Background: Stunting was a chronic nutrition problem that still be a concern in the developing nations include Indonesia. The direct cause of stunting was infectious disease and inadequate food intake such as energy and protein deficiency. In Indonesia in 2010, the prevalence of stunting was 35.7%, in<br />Yogyakarta as much as 22.5%, in Bantul District in 2012 was 18.08% and in Sedayu Subdistrict was 30.51%.</p><p>Objectives: To know the history of energy and protein intake as the risk factors of stunting in children of 6-23 months.</p><p>Methods: This was an observational study with case-control design. The population were children aged 6-23 months who lived in Sedayu Subdistrict, Bantul. The measurement energy and protein intake used a semi-quantitative food frequency questionnaire and determination of stunting used the WHO standard anthro 2005. Samples were selected by total sampling approachment. Data was analyzed by chi-square and logistic regression test.</p><p>Results: The result of bivariate analysis showed that birth weight and maternal height had significant association with stunting (p&lt;0.05). While energy and protein intake did not associated with stunting. However, there was a tendency that children with less energy and protein intake had higher risk of stunting. Multivariate analysis showed that maternal height was the dominant variable effect on the prevalence of stunting (OR=2.06).</p><p>Conclusions: Low energy and protein intakes were not risk factors of stunting in children 6-23 months. Maternal height was dominant variable that influenced the stunting incidence.</p><p>KEYWORDS: energy intake, protein intake, stunting, child</p><p>ABSTRAK</p><p>Latar belakang: Stunting merupakan masalah gizi kronis yang masih menjadi perhatian di negara berkembang termasuk Indonesia. Penyebab langsung stunting adalah penyakit infeksi dan asupan makanan yang tidak memadai seperti kurang energi dan protein. Di Indonesia pada tahun 2010 prevalensi stunting sebanyak 35,7%, di Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 22,5%, di Kabupaten Bantul tahun 2012 sebesar 18,08% dan Kecamatan Sedayu 30,51%.</p><p>Tujuan: Untuk mengetahui riwayat asupan energi dan protein sebagai faktor risiko stunting pada anak usia 6-23 bulan.</p><p>Metode: Jenis penelitian observasional dengan rancangan case-control. Populasinya seluruh anak usia 6-23 bulan yang ada di wilayah Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul. Pengukuran asupan energi dan protein dengan menggunakan semi-quantitative food frequency questionnaire dan penentuan stunting dengan menggunakan baku standar WHO anthro 2005. Cara pengambilan sampel adalah dengan total sampling. Analisis data menggunakan uji chi-square dan regresi logistik. </p><p>Hasil: Berat bayi lahir dan tinggi badan ibu menunjukkan hubungan signifikan dengan kejadian stunting (p&lt;0,05), sedangkan riwayat asupan energi dan protein tidak berhubungan dengan stunting (p&gt;0,05). Secara multivariat, tinggi badan ibu merupakan variabel yang dominan berpengaruh terhadap stunting<br />(OR=2,06).</p><p>Kesimpulan: Asupan energi dan protein yang kurang bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan. Tinggi badan ibu merupakan variabel yang dominan berpengaruh terhadap kejadian stunting.</p><p>KATA KUNCI: asupan energi, asupan protein, stunting, anak</p>


Author(s):  
Alfi Tri ◽  
Untung S. Widodo ◽  
Toto Sudargo

ABSTRACT<br /><br />Background: Iodine Defi ciency Disorder (IDD) is a health problem that affects quality of human resources. IDD happens not only due to iodine defi ciency but also other disorders such as goitrogenic substance (thiocyanate), pollutants of heavy metals (Pb) and micronutrient defi ciency (Fe) that inhibit thyroid hormone biosynthesis which cause the sweling of goitre glands.<br /><br />Objective: To identify the association between consumption of iodine, thiocyanate, Fe consumption, status of anemia and Pb and status of IDD in pregnant mothers at Subdistrict of Tabunganen, District of Barito Kuala, Province of Kalimantan Selatan.<br /><br />Method: The study was observational using case control design and quantitative method. Data were obtained through the palpation of goitre glands, measurement of thyroid stimulating hormone (TSH) level using ELISA method, iodine and thiocyanate consumption using food recall 2x24 hours and food frequency questionnaire (FFQ), Fe consumption using FFQ, Hb level using photometric method and Pb level using AAS method. Data were analysed by using chi-square and logistic regression.<br /><br />Result: There was signifi cant association (p&lt;0.05) between consumption of iodine (fi sh) based on FFQ and IDD status (goitre) with OR=3.44 and IDD status (TSH) with OR=8.00. There was no association between consumption of thiocyanate and Fe measured with food recall, FFQ and IDD status (goitre and TSH). There was signifi cant association (p&lt;0.05) between Pb status and IDD status (TSH) with OR=9.35.<br /><br />Conclusion: There was association between iodine consumption based on FFQ (fi sh) and IDD status (goitre) after the control of iodine consumption status (food recall). There was association between iodine consumption status (FFQ) in fi sh together with anemia status and the prevalence of IDD disorder (TSH) after the control of Pb status. <br /><br />KEYWORDS: iodine defi ciency disorder, pregnant mothers, iodine, thiocyanate, Fe, anemia, Pb<br /><br />ABSTRAK<br /><br />Latar Belakang: Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) merupakan masalah kesehatan yang dapat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. GAKY tidak hanya disebabkan oleh kekurangan yodium, tetapi juga dipengaruhi oleh zat goitrogen(tiosianat), logam berat Pb, dan kekurangan Fe yang menghambat biosintesis hormon dan berakibat pada pembesaran kelenjar gondok.<br /><br />Tujuan: Mengetahui hubungan antara tingkat konsumsi yodium, goitrogen (golongan tiosianat), Fe, serta status anemia dan status Pb dalam darah dengan status GAKY pada ibu hamil di  Kecamatan Tabunganen Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan.<br /><br />Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan case control. Data pembesaran kelenjar tiroid diperiksa denganpalpasi di daerah kelenjar tiroid, kadar TSH dengan metode ELISA, tingkat konsumsi yodium dan tingkat konsumsi tiosianat dengan metode food recall 2 x 24 jam dan food frequency questionnaire  (FFQ), tingkat konsumsi Fe dengan FFQ, kadar Hb dalam darah dengan metode fotometrik, kadar Pb darah dengan metode AAS.Data dianalisis menggunakan chi-square dan logistic regression.<br /><br />Hasil: Ada hubungan signifi kan (p&lt;0,05) antara tingkat konsumsi yodium (ikan laut) berdasarkan FFQ dan status terhadap status GAKY (gondok) dengan OR=3,44 dan status GAKY (TSH) dengan OR=8,00.Tidak ada hubungan antara tingkat konsumsi tiosianat dan Fe yang diukur dengan food recall, FFQ, dan status GAKY (gondok dan TSH). Antara status Pb dan status GAKY (TSH) juga tidak ditemukan adanya hubungan dengan OR=9,35.<br /><br />Kesimpulan: Ada hubungan antara konsumsi yodium berdasarkan FFQ (ikan laut) dan status GAKY (gondok) dan antara konsumsi yodium (FFQ) dengan status anemia dan prevalensi GAKY (TSH).<br /><br />KATA KUNCI: gangguan akibat kekurangan yodium, wanita hamil, yodium, tiosianat, Fe, anemia, Pb


2018 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 39
Author(s):  
Estillyta Chairunnisa ◽  
Aryu Candra Kusumastuti ◽  
Binar Panunggal

 Latar Belakang : Stunting merupakan masalah gizi yang banyak ditemukan pada anak di negara berkembang seperti di Indonesia. Stunting yaitu gangguan pertumbuhan disebabkan kekurangan gizi kronis berdasarkan nilai z-score panjang badan menurut umur kurang dari -2 SD. Kecukupan asupan zat gizi mikro yang tidak adekuat menjadi salah satu faktor penyebab terjadi stunting pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan asupan vitamin D, kalsium dan fosfor pada anak  stunting dan tidak stunting usia 12-24 bulan. Metode : Penelitian ini menggunakan desain case-control. Subjek adalah anak stunting dan tidak stunting usia 12-24 bulan di Kelurahan Rowosari dan Meteseh, Semarang. Total subjek pada masing-masing kelompok kasus dan kontrol sejumlah 40 orang. Pengambilan subjek menggunakan metode simple random sampling. Data asupan zat gizi diperoleh dengan menggunakan Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ). Analisis zat gizi menggunakan software NutriSurvey. Analisis data secara statistik menggunakan uji Chi Square, Fisher’s exact dan regresi logistik ganda.Hasil : Rerata asupan kalsium dan fosfor pada kelompok kasus sebesar 303,3±2,8 mg dan 440,1±1,9 mg sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 606±3 mg dan 662±2,5 mg. Rerata asupan vitamin D pada kelompok kasus sebesar 2,2±3,3 mcg dan pada kelompok kontrol sebesar 4,8±4,1 mcg. Terdapat perbedaan antara asupan kalsium (p=0,003; OR=4,5) dan fosfor (p=0,001; OR=13,5) pada anak stunting dan tidak stunting usia 12-24 bulan. Tidak terdapat perbedaan asupan vitamin D antara anak stunting dan tidak stunting (p=0,615; OR=3,162).Simpulan: Terdapat perbedaan antara asupan kalsium dan fosfor pada anak stunting dan tidak stunting usia 12-24 bulan.


2019 ◽  
Vol 8 (3) ◽  
pp. 107-114
Author(s):  
Agnes Kalpita Furi ◽  
Aryu Candra ◽  
Ayu Rahadiyanti

Latar Belakang : Tonsilitis adalah salah satu penyakit infeksi pada saluran pernafasan atas (ISPA) yang sering terjadi pada balita. Defisiensi seng dan vitamin C mempengaruhi kejadian tonsilitis terkait fungsi dalam sistem imun. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan asupan seng dan vitamin C dengan kejadian tonsilitis pada balita. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian case control. Subjek balita usia 2-5 tahun sebanyak 50 subjek terdiri dari 25 subjek kasus dan 25 subjek kontrol diambil dengan teknik consecutive sampling. Penentuan subjek mengalami tonsilitis atau tidak dilakukan dengan diagnosis dokter melalui pemeriksaan tonsil. Data yang dikumpulkan meliputi riwayat asupan seng dan vitamin C diambil menggunakan Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQFFQ), identitas subjek dan orangtua/pengasuh, data hygiene mulut, dan data kebiasaan makan dengan wawancara langsung. Analisis data dengan uji Chi-square, Fisher’s Exact, Mann Whitney, dan Independent T.Hasil : Status gizi subjek sebagian besar tergolong normal berdasarkan BB/TB, BB/U, maupun TB/U. Sebanyak 56% subjek kelompok kasus memiliki kebiasaan makan yang berisiko dan 100% subjek pada kelompok kasus memiliki hygiene mulut yang kurang baik. Subjek kasus memiliki riwayat asupan seng yang kurang sebanyak 52% dan riwayat asupan vitamin C yang kurang sebanyak 80%. Riwayat asupan seng memiliki hubungan dengan kejadian tonsilitis (p<0,05), sedangkan riwayat asupan vitamin C tidak terdapat hubungan dengan kejadian tonsilitis (p>0,05).Kesimpulan : Risiko tonsilitis pada subjek dengan riwayat asupan seng kurang dari kebutuhan 4,3 kali lebih besar dibandingkan subjek dengan riwayat asupan seng cukup. 


2020 ◽  
Vol 8 (2) ◽  
pp. 112-118
Author(s):  
Yulaeka Yulaeka

Anemia is a condition when the levels of hemoglobin and erythrocytes are lower than normal. The normal value of hemoglobin in women is 12 -16 g / dl with erythrocytes from 3.5 to 4.5 jt / mm3. This study aimed to determine the relationship between nutritional status and Anemia of teenage girl. This research is analytic with cross sectional study design. The samples taken are 66 teenage girls, chosen by quote sampling. The data of this research used primary data obtained through checking up of body mass index and hemoglobin level. The data analysis used univariate analysis and bivariate analysis used Chi-square test. The results of this study indicate that there is a relationship between nutritional status and Anemia (p value 0.001).


Author(s):  
Effatul Afifah

<p><strong>ABSTRACT</strong></p><p><em><strong>Background</strong>: Hypertension is one of the problems in the medical and public health area. Based on National Health Research Association in 2013, hypertension is the third leading cause of death of all ages patterns, after stroke and TB, with the proportion of deaths was 6.8%. The prevalence of hypertension in DIY was 25.7%. The risk factors of diet containing high fat, high sodium, and low potassium to elevate blood pressure.</em></p><p><em><strong>Objectives</strong>: To know the effect of the intake of sodium-potassium and the status of obesity as a risk factor for hypertension.</em></p><p><em><strong>Methods</strong>: This study used analytic observational study design with control-case design. Samples were 104 and divided into 52 cases and 52 controls. Data were collected using a questionnaire include: name, age, gender, address, education level, the type of work, and form of food frequency questionnaire (FFQ) to inquire patterns of food intake (intake of sodium-potassium) for 3 months with food models. Obesity status was measured using body mass index (BMI), and merqurial sphygmomanometer hypertension was</em><br /><em>used to measure blood pressure. Analysis of data used statistical test independent t-test, chi-square.</em></p><p><em><strong>Results</strong>: No significant correlation between age and the incidence of hypertension (OR=2.448), neither did sodium intake with hypertension, potassium intake with hypertension, and nutritional status (obesity) associated with the incidence of hypertension.</em></p><p><em><strong>Conclusions</strong>: Age was the risk factor for hypertension, while the intake of sodium-potassium and status of obesity were not.</em></p><p><strong>KEYWORDS</strong>:<em> hypertension, sodium intake, potassium intake, obesity</em></p><p><br /><strong>ABSTRAK</strong></p><p><em><strong>Latar belakang</strong>: Hipertensi merupakan salah satu masalah dalam dunia medis dan kesehatan masyarakat. Dalam riset kesehatan dasar nasional tahun 2013, hipertensi merupakan penyebab kematian semua umur yang ketiga, setelah stroke dan tuberculosis (TB), dengan proporsi kematian sebesar 6,8%. Prevalensi hipertensi untuk wilayah DIY 25,7% termasuk angka yang tinggi. Faktor risiko pola makan yang mengandung tinggi lemak, tinggi natrium dan rendah kalium memiliki kontribusi terhadap peningkatan</em><br /><em>tekanan darah.</em></p><p><em><strong>Tujuan</strong>: Untuk mengetahui pengaruh asupan natrium, kalium, dan status obesitas sebagai faktor risiko hipertensi.</em></p><p><em><strong>Metode</strong>: Penelitian ini menggunakan desain studi observasional analitik dengan rancangan kasus kontrol dengan jumlah total sampel 104 yang terbagi dalam 52 kasus dan 52 kontrol. Pengumpulan data menggunakan kuesioner meliputi: nama, umur, jenis kelamin, alamat, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan dan formulir food frequency questionnaire (FFQ) untuk menanyakan pola asupan makanan (asupan natrium, kalium) selama 3 bulan menggunakan food model. Status obesitas diukur dengan menggunakan indek massa tubuh (IMT) dan hipertensi diukur menggunakan merqurial sphygmomanometer. Analisis data menggunakan uji statistik independent t-test, chi-square.</em></p><p><em><strong>Hasil</strong>: Ada hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian hipertensi (OR=2,448). Asupan natrium tidak berhubungan signifi kan dengan hipertensi. Tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan kalium dengan hipertensi dan status gizi (obesitas) tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian hipertensi.</em></p><p><em><strong>Kesimpulan</strong>: Usia merupakan faktor risiko kejadian hipertensi, sedangkan asupan natrium, kalium, dan status obesitas bukan merupakan faktor risiko hipertensi.</em></p><p><strong>KATA KUNCI</strong><em>: hipertensi, asupan natrium, asupan kalium, obesitas</em></p>


Author(s):  
Perawaty Perawaty ◽  
Pernodjo Dahlan ◽  
Herni Astuti

<p>ABSTRACT</p><p>Background: According to WHO it is estimated that there are 15 million people having stroke annually. High prevalence of stroke happens at Kalimantan Tengah as indicated from the growing number of outpatients and inpatients of stroke every year. There is a shift in eating pattern at urban areas from traditional eating pattern to western eating pattern that has high composition of calories, protein, fat, sugar and less fibre causing nonproportional nutrient intake. This condition is a risk factor for the prevalence of degenerative diseases such as hypertension, coronary heart disease and other health problems. Efforts for primary prevention against stroke can be made through intervention in unhealthy lifestyle including eating pattern.</p><p>Objectives: To identify association between eating pattern and the prevalence of stroke at dr. Doris Sylvanus Hospital Palangka Raya.</p><p>Methods: The study was analytic observational with case control design. Subject consisted of cases and control at comparison 1:1 matched in age. Cases were stroke inpatients of dr. Doris Sylvanus Hospital and control group consisted of patients of other diseases at the same hospital. The study involved 76 patients taken concecutive. Data comprised of sample identity, waist circumference, eating pattern, hypertension, physical activity and smoking habit. Data of eating pattern were obtained through semi quantitative food frequency questionnaire. The result of the study was analyzed using chi square and logistic regression.</p><p>Results: The result of the study showed there were 5 variables significantly associated with the prevalence of stroke; ie. more consumption of processed foods (OR 7,53 CI 95% : 1,38 – 41,13), less consumption of fruits (OR 6,98 CI 95%, 1,53-31,80), less consumption of fish (OR 6,36 CI 95% : 1,15 – 34,99), hypertension (OR 10,91 CI 95%, 2,43–49,03) and less physical activities (OR 8,36 CI 95%, 1,72-40,56) while the frequency of fast foods, alcohol consumption, obesity and smoking are not statistically significant (p &gt; 0.05).</p><p>Conclusions: The presence of hypertension, less physical activity, more consumption of processes foods, less consumption of fruits and less consumption of fish a risk factor for the dominant influence on the incidence of stroke.</p><p>KEYWORDS: stroke, eating pattern, case control</p><p>ABSTRAK</p><p>Latar belakang: Laporan World Health Organization (WHO), diperkirakan setiap tahun terdapat 15 juta orang di seluruh dunia yang mengalami stroke. Tingginya prevalensi stroke di Kalimantan Tengah dilihat dari penderita rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit yang jumlahnya meningkat setiap tahun. Terjadinya pergeseran pola makan di kota-kota besar dari pola makan tradisional ke pola makan barat yang komposisinya terlalu tinggi kalori, banyak protein, lemak, gula tetapi rendah serat menimbulkan ketidakseimbangan asupan zat gizi. Kondisi tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit degeneratif seperti hipertensi, jantung koroner dan masalah kesehatan lainnya. Upaya pencegahan tingkat awal atau preventif primer pada stroke dapat dilakukan dengan intervensi pada gaya hidup yang tidak sehat termasuk pola makan.</p><p>Tujuan: Untuk mengetahui hubungan pola makan dengan kejadian stroke di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.</p><p>Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik menggunakan rancangan case control. Subjek terdiri dari kasus dan kontrol dengan perbandingan 1:1 yang telah dilakukan matching terhadap umur. Kasus adalah penderita stroke dan kontrol adalah penderita penyakit lainnya yang menjalani<br />rawat inap di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Jumlah subjek adalah 76 orang yang ditentukan dengan metode consecutive sampling. Data yang dikumpulkan yaitu identitas sampel, lingkar pinggang, pola makan, hipertensi, aktifitas fisik dan merokok. Data pola makan dikumpulkan dengan formulir semi quantitatif food frequency. Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan Chi square dan regresi logistik.</p><p>Hasil: Hasil penelitian menunjukkan terdapat 5 variabel yang berhubungan signifikan dengan kejadian stroke yaitu lebih konsumsi makanan olahan (OR 7,53 CI 95% : 1,38 – 41,13), kurang konsumsi buah (OR 6,98 CI 95% : 1,53 – 31,80), kurang konsumsi ikan (OR 6,36 CI 95% : 1,15 – 34,99),hipertensi (OR<br />10,91 CI 95% : 2,43 – 49,03) dan kurang aktivitas fisik (OR 8,36 CI 95% : 1,72 – 40,56), sedangkan frekuensi konsumsi fast food, konsumsi sayuran berwarna, konsumsi alkohol, obesitas, dan merokok tidak signifikan secara statistik (p &gt; 0,05).</p><p><br />Kesimpulan: Adanya hipertensi, kurang aktivitas fisik, lebih konsumsi makanan olahan, kurang konsumsi buah dan kurang konsumsi ikan merupakan faktor risiko terhadap kejadian stroke.</p><p>KATA KUNCI: stroke, pola makan, case control</p>


2019 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 83
Author(s):  
Rika Sri Wahyuni

Abstrak: Remaja memiliki rasa yang penuh dengan kegoncangan, mencari jati diri dan remaja ialah periode yang paling berat sehingga menimbulkan kenakalan remaja seperti penyalahgunaan narkoba. Berdasarkan pendataan dari aplikasi Sistem Informasi Narkoba (SIN) jumlah kasus narkotika yang berhasil diungkap selama 5 tahun terakhir dari tahun 2012-2016 per tahun sebesar 76,53%. Tahun 2016 jumlah kasus narkotika yang berhasil diungkap adalah 868 kasus, jumlah ini meningkat 36,05% dari tahun 2015. Salah satu penyalahgunaan narkoba adalah suasana lingkungan tidak sehat/ rawan terhadap narkoba yang merupakan tempat berinteraksinya seseorang baik itu lingkungan keluarga, masyarakat, teman sekolah/ sebaya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui adakah hubungan lingkungan terhadap penyalahgunaan narkoba pada remaja di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas II Pekanbaru Tahun 2018. Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain analitik dengan pendekatan cross sectional dan dilakukan pada bulan Februari-Maret 2018 di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas II Pekanbaru. Populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 56 remaja dan sampel yang diambil sebanyak 49 remaja dari data primer (kuesioner). Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat dengan uji chi-square. Dari analisis univariat dari 49 remaja yang menggunakan narkoba sebanyak 44,9% yang berpengaruh dengan lingkungan keluarga 47,2%, lingkungan masyarakat 51,7%, lingkungan teman sekolah/ sebaya 54,1%. Dari uji chi square didapat tidak ada hubungan lingkungan keluarga, masyarakat, teman sekolah/ sebaya terhadap penyalahgunaan narkoba Abstrack : Teenagers have a sense of jolting, self-seeking and teenagers are the toughest periods that lead to juvenile delinquency such as drug abuse. Based on data collection from Drug Information System (SIN) application, the number of narcotics cases successfully revealed during the last 5 years from 2012-2016 per year is 76,53%. By 2016 the number of successful narcotics cases has been revealed is 868 cases, this number increased 36.05% from 2015. The purpose of this study is to know whether there is an environmental relationship to drug abuse in adolescents at Special Education Institution of Children Class II Pekanbaru Year 2018. This research method using the type of quantitative research with analytical design with cross sectional approach and conducted in February-March 2018 at the Institute of Special Development Children Class II Pekanbaru. The population in this study were as many as 56 teenagers and samples taken as many as 49 teenagers from the primary data (questionnaire). Data analysis used was univariate and bivariate analysis with chi-square test. From univariate analysis from 49 adolescents who use drugs as much as 44,9% which influenced with family environment 47,2%, society environment 51,7%, school friend / peer environment 54,1%. From chi square test, there is no relation between family environment, society, school friend / peer to drug abuse. For that researchers expect that this research can be used as material comparison and reference to be added and equipped in the future


2015 ◽  
Vol 4 (4) ◽  
pp. 443-449
Author(s):  
Linda Apriaty ◽  
Nuryanto Nuryanto

Latar Belakang: Obesitas merupakan sebuah keadaan dimana terjadi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak dalam tubuh, ditunjukan dengan IMT ≥25 kg/m2. Prevalensi obesitas di Indonesia meningkat tiap tahunnya terutama pada wanita. Faktor risiko obesitas antara lain aktivitas fisik, asupan energi, asupan karbohidrat, asupan lemak, asupan protein, penggunaan alat kontrasepsi hormonal, dan status ekonomi keluarga. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor risiko obesitas ibu rumah tangga.Metode: Penelitian observational dengan desain case-control pada ibu rumah tangga di RW 02 Kelurahan Bendungan Kecamatan Gajahmungkur Kota Semarang. Pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive sampling, 30 subjek pada tiap kelompok. Obesitas dikategorikan berdasarkan nilai IMT. Data identitas subjek, penggunaan alat kontrasepsi hormonal, dan status ekonomi keluargadiperoleh melalui kuesioner. Data asupan energi, karbohidrat, lemak, dan protein diperoleh melalui Food Frequency Questionnaire (FFQ) dan data aktivitas fisik diperoleh melalui International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). Analisis menggunakan metode Chi Square dengan melihat Odds Ratio (OR).Hasil: Faktor risiko obesitas ibu rumah tangga adalah aktivitas fisik rendah (OR = 5.500; Cl 1.813-16.681; p = 0.002), asupan karbohidrat lebih (OR = 8.636; CI 2.566-29.073; p = 0.000), asupan karbohidrat lebih (OR = 4.030; CI 1.372-11.839; p = 0.010. Asupan lemak, asupan protein, penggunaan alat kontrasepsi hormonal, dan status ekonomi keluarga bukan merupakan faktor risiko kejadian obesitas.Kesimpulan: Aktivitas fisik rendah, asupan energi lebih, dan asupan karbohidrat lebih merupakan faktor risiko yang bermakna pada kejadian obesitas ibu rumah tangga.


2014 ◽  
Vol 3 (4) ◽  
pp. 620-630
Author(s):  
Dea Rizky Pradipta ◽  
Fillah Fithra Dieny

Latar Belakang : Wanita pascamenopause mengalami peningkatan resorpsi tulang karena berkurangnya hormon estrogen. Asupan protein yang tidak adekuat berisiko terhadap kepadatan tulang yang rendah. Namun, asupan protein yang berlebihan, terutama protein hewani juga berisiko terhadap kepadatan tulang yang rendah. Tujuan penelitian untuk menganalisis besar risiko asupan protein dan faktor lain (asupan kalsium, fosfor, magnesium, zink, usia, riwayat merokok, konsumsi alkohol dan kebiasaan olahraga) yang berpengaruh terhadap kepadatan tulang wanita pascamenopause.Metode : Desain penelitian case-control pada wanita pascamenopause, dengan jumlah subjek 50 orang kelompok kasus dan 50 orang kelompok kontrol. Pengambilan sampel kelompok kasus dilakukan secara random sampling, dan kelompok control dengan cara matching status gizi berdasarkan kategori persen lemak tubuh. Data yang dikumpulkan meliputi kepadatan tulang yang diukur dengan densitometer Quantitative Ultrasound, persen lemak tubuh yang diukur dengan Bioelectrical Impedance Analyzer (BIA), asupan zat gizi menggunakan Food Frequency Questionnaire, riwayat merokok, konsumsi alkohol, serta kebiasaan olahraga. Analisis bivariat menggunakan Chi-square dan Fisher, analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik. Hasil : Rerata nilai T-score pada kelompok kasus sebesar -1,94±0,49SD dan rerata nilai T-score pada kelompok kontrol sebesar -0,45±0,48SD. Rerata usia pada kelompok kasus (59,34±6,88SD) lebih tinggi daripada kelompok kontrol (54,30±6,12SD). Asupan protein total, protein hewani, protein nabati, kalsium, fosfor, magnesium dan zink pada kelompok kontrol mempunyai rerata yang lebih tinggi daripada kelompok kasus. Asupan protein total, protein nabati, zink dan usia merupakan faktor risiko kepadatan tulang pada wanita pascamenopause dengan nilai OR masing-masing sebesar 3,551; 2,681; 3,431 dan 4,205. Asupan protein hewani merupakan faktor protektif terhadap kepadatan tulang wanita pascamenopause (OR=0,306). Faktor risiko yang paling berpengaruh pada kepadatan tulang wanita pascamenopause adalah usia (OR=4,223; 95%CI=1,627-10,960) dan asupan protein total (OR=3,566 ; 95%CI=1,476-8,613).    Simpulan : Asupan protein total <66 gr/hari berisiko 3,566 kali lebih besar untuk mengalami kepadatan tulang rendah. Usia ≥60 tahun berisiko 4,223 kali lebih besar untuk mengalami kepadatan tulang rendah.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document