LANGKAU BETANG JURNAL ARSITEKTUR
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

95
(FIVE YEARS 36)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Published By Tanjungpura University

2550-1194, 2355-2484

2021 ◽  
Vol 8 (2) ◽  
pp. 139
Author(s):  
Akbar Pasca Perdana ◽  
Dwita Hadi Rahmi

Kampung Beting, Kecamatan Pontianak Timur, Kelurahan Dalam Bugis, Kota Pontianak merupakan kampung rawan bencana banjir. Berdasarkan waktu musim hujan, saat curah hujan tinggi air sungai tersebut meluap hingga menggenangi sebagian wilayah di Kampung Beting. Kampung Beting berdekatan dengan persimpangan 2 sungai besar yakni Sungai Kapuas dan Sungai Landak yang memiliki topografi yang lebih rendah dari wilayah di sekitarnya. Orientasi kampung tersebut tepat berada di atas tepi kedua sungai dan mempengaruhi bentuk Struktur Ruang dan Pola Ruang didalamnya. Tata ruang Kampung tradisional Beting penting untuk dijadikan studi kasus karena berbagai pengalaman permasalahan yang terjadi di dalamnya dengan ancaman bencana banjir, tata ruang terkait pola ruang dan struktur ruang, serta resiliensi. Metode yang digunakan menggunakan simulasi software ArcGis guna pemetaan dan penilaian deskriptif. Hasil penelitian yang ditemukan yaitu; Pertama, resiliensi dapat dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, tidak hanya berdasarkan sudut pandang kebencanaan dan iklim yang selama ini menjadi konteks utama resiliensi tetapi juga konteks tata ruang. Kedua, tata ruang kampung beting belum memiliki ketangguhan dengan parameter Struktur Ruang dan Pola Ruang. Ketiga, tingkat resiliensi kampong beting yang berada di tepian kedua sungai terhadap bencana banjir masih rendah dan diperlukan penataan serta mitigasi lebih lanjut bila bencana musiman terjadi. IDENTIFICATION OF KAMPUNG KOTA`S SPATIAL PLANNING THROUGH FLOOD DISASTER RESILIENCE APPROACH; CASE STUDY: KAMPUNG BETING Kampung Beting, East Pontianak District, Dalam Bugis Village, Pontianak City is a flood-prone village. Based on rainy seasons, when the rainfalls is high, the river water overflows to inundate some areas in Kampung Beting. Kampung Beting is close to the junction of 2 mayor rivers, namely the Kapuas River and the Lancak River, which have a lower topography than the surrounding area. The orientation of the village is right above the banks of the two rivers and affects the shape of the Spatial Structure and Spatial Patterns in it. The layout of the Beting traditional village is important to be used as a case study because of the various experiences of problems that occur in it with the threat of flooding, spatial planning related to spatial patterns and spatial structures, and resilience. The method used is ArcGIS software simulation for mapping and descriptive assessment. The research result found are; First, resilience can be seen from a broader perspective, not only from the point of view of disaster and climate which has been the main context of resilience, but also the context of spatial planning. Second, the spatial structure of the shoal village does not yet have toughness with the parameters of Spatial Structure and Spatial Patterns. Third, the level of resilience of the shoal village located on the banks of the two rivers to flood disasters is still low and further structuring and mitigation is needed if seasonal disasters occur


2021 ◽  
Vol 8 (2) ◽  
pp. 124
Author(s):  
Yohanes W. D. Kapilawi ◽  
Rosvitayati U Nday ◽  
Thomas Kurniawan Dima

Pemahaman berkonstruksi dalam konteks masyarakat adat merupakan suatu proses aktivitas terkait hubungan sosial kelompok masyarakat adat, lingkungannya serta tradisi yang memiliki keseimbangan dikeseluruhan tahap kegiatan berkonstruksi guna membangun atau memperbaiki huniannya. Salah satu kampung adat di Pulau Sabu yaitu Kampung Adat Namata merupakan kampung tradisional dengan masyarakat adat yang masih mempertahankan tradisi membangun dengan memperhatikan aturan-aturan adat dalam pemanfaatan material konstruksi dan menghargai lingkungannya, walaupun dikelilingi desa modern disekitarnya. Meski tradisi pengambilan dan pengangkutan material mulai hilang namun pemahaman tradisi berkonstruksi tiap struktur masih tetap dipertahankan sehingga menjadi menarik untuk dikaji untuk mengetahui setiap prosesi adat, pemahaman, makna serta tujuan tiap proses berkonstruksi sehingga menjadi rumah adat yang menghargai dan adaptif terhadap lingkungan serta menjadi keberlanjutan berkonstruksi dari budaya arsitektur. Penelitian ini menggunakan metode deskripstif kualitatif, wawancara dan pengamatan terhadap setiap aktivitas tradisi berkonstruksi hingga menjadi rumah adat. Hasil temuan menunjukkan adanya tindakan menghormati mulai dari tata cara ritual penebangan pohon, keberlanjutan tradisi cara pengambilan bahan bangunan hingga penciptaan bentuk bangunan, adanya kearifan lokalitas dalam penggunaan material, penamaan bagian rumah adat menggunakan unsur bahasa lokal serta pemahaman filosofi dan tata cara ritual tiap bagian konstruksi sebagai upaya masyarakat adat untuk menjaga keberlanjutan tata cara berkonstruksi dan keseimbangan lingkungan. SUSTAINABILITY OF TRADITIONAL HOUSE CONSTRUCTION IN NAMATA TRADITIONAL VILLAGE, SABU RAIJUA REGENCY Construction understanding in indigenous peoples is a social relations activity among indigenous groups, the environment, and traditions that balance all construction activities to build or repair their dwellings. Namata Traditional Village on Sabu Island is a village with indigenous peoples who still maintain the development process tradition and also customary rules in constructing the materials and respecting the environment, even though modern villages surround it. Although taking and transporting materials tradition begins to disappear, constructing tradition understanding of each structure is still maintained. Thus, it is interesting to study the processing, understanding, meaning, and purposing of each construction process to become a traditional house that respects and is adaptive to the environment and become sustainable construction of architectural culture. This study used qualitative descriptive methods, interviews, and observations of every construction tradition until it became a traditional house. The findings show respect actions are starting from tree felling rituals, construction sustainability of taking building materials until creating building forms, local wisdom in using local materials, the local language in naming parts of the traditional house, and philosophical understanding and ritual procedures from each part of the construction as an effort to maintain the construction sustainability procedures and environmental balance.


2021 ◽  
Vol 8 (2) ◽  
pp. 75
Author(s):  
Refranisa Refranisa

Alun – alun kota Magelang merupakan salah satu ruang terbuka publik sekaligus Landmark Kota yang sering dikunjung oleh banyak orang, dimana banyak orang melakukan kegiatan sosial, ekonomi, dan berwisata. Setting lingkungan yang ditawarkan pada ruang terbuka publik mempengaruhi bagaimana pelakunya berkegiatan. Adanya kegiatan atraksi wisata, kuliner, permainan anak, dan olahraga menimbulkan adanya pola pemanfaatan ruang yang terjadi pada kawasan tersebut. Pola yang terebentuk didominasi oleh pelaku dan aktivitas yang menimbulkan intensitas kepadatan pada area tertentu.  Metode analisis yang digunakan adalah teknik behavioral mapping yang bertujuan untuk menggambarkan pola pemanfaatan ruang didalam sebuah peta kemudian mengidentifikasi frekuensi pelaku dan aktivitas yang dilakukan serta menunjukan kaitannya dengan setting lingkungan yang ditawarkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pemanfaatan ruang pada area tertentu kemudian memberikan berupa usulan desain yang dapat menunjang kegiatan pelaku dan aktifitas pada alun – alun Kota Magelang. Hasil temuan yang didapat adalah dapat diketahui bahwa, intensitas pemanfaatan ruang tertinggi terdapat pada setting fisik dancing fountain sebagai atraksi wisata yang dapat dinikmati oleh semua kalangan pengguna pada periode waktu akhir pekan.THE PATTERN OF UTILIZING THE PLANES AS A PUBLIC OPEN SPACE IN MAGELANG CITYMagelang City Square is one of the public open spaces as well as a City Landmark that is often visited by many people, where many people carry out social, economic, and tour activities. Environmental settings offered in public open spaces affect how the perpetrators carry out activities. The activities of tourist attractions, culinary delights, children's games, and sports have led to a pattern of spatial use that occurs in the area. The formed pattern is dominated by actors and activities that cause density intensity in certain areas. The analytical method used is the behavioral mapping technique which aims to describe the pattern of spatial use in a map, then identify the frequency of actors and activities carried out and show their relation to the environmental setting offered. The purpose of this study is to determine the pattern of space utilization in a certain area and then provide a form of design proposals that can support the activities of the actors and activities in Magelang City Square. The findings show that the highest intensity of space utilization is found in the physical setting of the dancing fountain as a tourist attraction that can be enjoyed by all users during the weekend.


2021 ◽  
Vol 8 (2) ◽  
pp. 110
Author(s):  
Ema Hidayati ◽  
Suzanna Ratih Sari

Rumah sebagai tempat yang layak huni untuk memenuhi kebutuhan penggunanya hingga dapat menjadi aset bagi pemiliknya. Kebutuhan hunian merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi pada setiap keluarga. Pembangunan rumah didalam kawasan perumahan dapat menjadi alternatif bagi keluarga atau masyarakat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pihak developer mendirikan perumahan dengan menyediakan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Fasilitas – fasilitas yang mendasar seperti jaringan jalan, jaringan listrik, jaringan air bersih dan kotor sudah disediakan oleh pihak developer. Fasilitas ini dapat berkembang dengan bertambahnya penghuni untuk membuat kehidupan pada perumahan ini. Tujuan dari penelitian ini untuk mengevaluasi sarana dan prasarana kondisi eksisting dengan standar SNI dan mengembangkan atau menambah kebutuhan sarana dan prasarana yang belum sesuai atau belum ada di perumahan ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif pendekatan deskriptif evaluatif dengan membandingkan kondisi eksisting dengan standar SNI. Pengumpulan data dilakukan dengan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari obesrvasi dan wawancara dengan warga perumahan sedangkan data sekunder diperoleh dari standar SNI, buku dan jurnal terkait. Hasil dari penelitian ini yaitu sarana yang belum sesuai dengan standar SNI yaitu sarana pendidikan, sarana olahraga dan RTH. Sedangkan prasarana yang belum sesuai yaitu jaringan jalan dan jaringan air bersih.THE QUALITY OF HOUSING INFRASTRUCTURE AND FACILITIES GRIYA HARAPAN WELERI The house as a livable place to meet the needs of its users so that it can become an asset for the owner. Housing needs are basic needs that must be met in every family. The construction of houses in residential areas can be an alternative for families or communities to meet these needs. The developer builds housing by providing houses for low-income people. Basic facilities such as road networks, electricity networks, clean and dirty water networks have been provided by the developer. This facility can expand with more residents to make a living in this housing. The purpose of this study is to evaluate the existing condition facilities and infrastructure with SNI standards and to develop or add to the need for facilities and infrastructure that are not appropriate or do not exist in this housing. This study uses a qualitative descriptive evaluative approach by comparing the existing conditions with SNI standards. Data collection is done with primary and secondary data. Primary data were obtained from observations and interviews with housing residents, while secondary data were obtained from SNI standards, related books and journals. The results of this study are facilities that are not in accordance with SNI standards, namely educational facilities, sports facilities and green open space. Meanwhile, the infrastructure that is not suitable is the road network and clean water network.


2021 ◽  
Vol 8 (2) ◽  
pp. 86
Author(s):  
Christian Nindyaputra Octarino ◽  
Henry Feriadi

Di tengah fenomena perubahan iklim dan pemanasan global, arsitektur sudah semestinya turut berperan dalam menjaga lingkungan dengan menghadirkan desain-desain bangunan yang memiliki performa tinggi, yang dapat memberikan kenyamanan optimal bagi penghuninya tanpa mengorbankan kualitas lingkungan di sekitarnya. Karakter iklim Indonesia yang merupakan iklim tropis menyebabkan tingginya temperatur lingkungan, sehingga berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan bagi penghuni bangunan. Upaya dalam meningkatkan kenyamanan tentu akan membutuhkan konsumsi energi yang tinggi, sehingga perlu dipikirkan strategi konservasi energi agar bangunan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Sebagai bagian dari kompleks Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, Gedung Agape adalah gedung dengan fungsi perkantoran yang menggunakan sistem pendingin udara. Setelah digunakan selama 12 tahun, Gedung ini memiliki evaluasi kenyamanan termal yang cukup baik oleh para penghuninya. Namun demikian, diyakini Gedung Agape masih memiliki potensi penghematan energi yang cukup besar melalui kinerja selubung bangunannya. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi bagaimana kinerja selubung bangunan Gedung Agape UKDW dalam fungsinya mereduksi panas dari lingkungan serta menentukan strategi apa saja yang dapat diterapkan untuk menekan nilai Overall Thermal Transfer Value (OTTV) dalam upaya mendukung konservasi energi pada bangunan. Standar Nasional Indonesia tentang konservasi energi Gedung menetapkan nilai OTTV maksimal sebesar 35 W/m2. Berdasarkan hasil perhitungan dengan worksheet, didapatkan nilai OTTV Gedung Agape sebesar 49,06 35 W/m2, cukup jauh dari standar SNI. Beberapa strategi untuk menekan nilai OTTV dicoba disimulasikan melalui modifikasi material bukaan dan penyesuaian window to wall ratio, sehingga pada akhirnya dapat mencapai 34,86 W/m2.EVALUATION OF BUILDING ENVELOPE PERFORMANCE ON AGAPE BUILDING UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA YOGYAKARTA In response to the worldwide issue about climate change and global warming, architecture should play a role to protecting the environment by presenting high performance building designs. This kind of building can provide optimal comfort for its occupants without sacrificing the quality of the surrounding environment. The character of Indonesia's tropical climate, causes high environmental temperatures, thus potentially causing discomfort for building occupants. The effort to increase comfort will certainly require high energy consumption, so it is necessary to consider about energy conservation strategies to minimize negative impact on the environment. As a part of Universitas Kristen Duta Wacana area, Agape is an office building that uses air conditioning system. After being used for 12 years, this building has a satisfactory evaluation about the thermal comfort from the occupants. However, it is believed that the building still has considerable potential of energy saving through the performance of the building envelope. This study aims to evaluate performance of Agape Building’s envelope in term of heat transfer reduction and determine strategies that can be applied to reduce the Overall Thermal Transfer Value (OTTV) value to support energy conservation. Indonesian National Standards (SNI) about building’s energy conservation determine a maximum OTTV value of 35 W/m2. Based on calculation, the OTTV value of Agape Building was obtained 49,06 W/m2, has not been able to reach the SNI standard. Several strategies to reduce the OTTV value have been simulated by modifying the opening material and adjusting the window to wall ratio, so that in the end the OTTV value could meet the standards, 34,86 W/m2.


2021 ◽  
Vol 8 (2) ◽  
pp. 98
Author(s):  
Nur Rahmawati Syamsiyah ◽  
Hanifa Nur Izzati

Iklim tropis lembab di Indonesia menyebabkan rendahnya kecepatan angin, serta kelembapan dan suhu udara yang tinggi. Kelembapan tinggi menyebabkan sirkulasi udara tidak lancar dan berpengaruh pada kenyamanan termal. Masjid adalah bangunan untuk kegiatan ibadah, yang menuntut kenyamanan termal, selain kenyamanan audial. Upaya alat bantu penghawaan seperti kipas angin tidak akan bekerja optimal jika masjid tidak memiliki sistem sirkulasi udara yang baik. Masjid Al-Kautsar Kertonatan menarik untuk diteliti dari aspek penghawaan alami. Masjid berada di sudut pertigaan jalan kampung dan menghadap area persawahan. Saat masjid digunakan seluruh kipas angin dinyalakan, namun keluhan jamaah selalu muncul yaitu ketidaknyamanan termal, seperti rasa panas. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kualitas termal masjid Al-Kautsar Kertonatan, melalui metode kuantitatif pengukuran suhu udara, kelembapan udara dan kecepatan angin dengan alat thermohygrometer dan anemometer. Pengukuran termal dilakukan di dalam dan di luar ruang masjid secara bersamaan pada lima waktu salat. Selain pengukuran termal, dilakukan pula wawancara bebas kepada jamaah terkait kenyamanan termal. Hasil penelitian mengindikasikan pola aliran udara tidak merata dan tidak lancar di dalam ruangan, sehingga kualitas termal dalam kategori tidak nyaman dengan suhu udara rata-rata 31.0°C dan kecepatan angin rata-rata 0.1m/detik. Evaluasi subjektif mengindikasikan bahwa jamaah merasa nyaman apabila berada dekat jendela atau berada di tengah-tengah ruang, karena pada bagian itu aliran udara terasa. Solusi terbaik agar aliran merata di dalam ruang adalah redesain bukaan agar udara lebih banyak masuk, di samping itu perlu adanya penambahan vegetasi. MOSQUE THERMAL COMFORT STRATEGY (CASE STUDY OF AL-KAUTSAR MOSQUE, SUKOHARJO, CENTRAL JAVA) Indonesia's humid tropical climate causes low wind speed, as well as high humidity and air temperature. High humidity causes poor air circulation and affects thermal comfort. A mosque is a building for worship activities, which demands thermal comfort, in addition to audible comfort. Efforts for ventilation aids such as fans will not work optimally if the mosque does not have a good air circulation system. Al-Kautsar Kertonatan Mosque is interesting to study from the aspect of natural ventilation. The mosque is at the corner of the village road fork and overlooks the rice fields. When the mosque is used, all the fans are turned on, but complaints from the congregation always arise, namely thermal discomfort, such as feeling hot. This study aims to identify the thermal quality of the Al-Kautsar Kertonatan Mosque, through quantitative methods of measuring air temperature, humidity, and wind speed using thermohygrometer and anemometer. Thermal measurements are carried out inside and outside the mosque space simultaneously at five prayer times. In addition to thermal measurements, freed interviews were also conducted with the congregation regarding thermal comfort. The results indicate that the airflow pattern is not evenly distributed and not smooth so that the thermal quality is in the uncomfortable category with an average air temperature of 31.0°C and an average wind speed of 0.1m/second. The subjective evaluation indicated that pilgrims felt comfortable when they were near the window or in the middle of the room because in that part the airflow was felt. The best solution so that the flow is evenly distributed in the room is to redesign the opening to allow more air to enter, in addition to the need for additional vegetation.


2021 ◽  
Vol 8 (1) ◽  
pp. 55
Author(s):  
Zairin Zain ◽  
Petrus Piju

Model partisipatif melibatkan masyarakat sebagai pelaku sentral bagi pembangunan pariwisata yang terus berlangsung diperlukan dalam aktivititas perbaikan dan pengembangan lokasi wisata. Pengembangan Kawasan Wisata Alam dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi seni budaya masyarakat di sekitar kawasan untuk terlibat dalam mendongkrak minat wisatawan akibat fenomena berkurangnya kunjungan. Studi menggunakan pendekatan kualitatif dengan in-depth purposive interviews dengan metode the open-ended (unstructured) interview untuk memahami fenomena mengenai kejadian yang dialami subyek penelitian ini. Lokasi penelitian adalah Kawasan Wisata Alam Bukit Kelam yang meliputi empat desa yang berada disekitarnya. Model Pengembangan Kawasan Wisata ini dengan diperkuat melalui kesepakatan menjadi destinasi wisata dengan produk pertanian dan seni budaya lokal yang menarik. Perlunya penguatan citra sebagai destinasi wisata dengan kondisi alami dan masyarakat lokal yang masih terjaga dan produk seni budaya menarik. Pemberdayaan berdasarkan potensi dimiliki dapat dilaksanakan dengan memberi kepercayaan kepada individu masyarakat terhadap suatu kegiatan yang ada pada kawasan wisata. Pemberdayaan secara berkelompok atau organisasi perlu dilakukan agar masyarakat desa di sekitar kawasan Wisata Alam Bukit Kelam dapat membentuk kelompok baru atau pelatihan bagi kelompok seni budaya yang telah berkembang. Masyarakat membutuhkan pengembangan keahlian individu untuk meningkatkan jumlah, kualitas dan nilai produksi. Oleh karena itu, masyarakat membutuhkan fasilitas yang memadai berupa workshop dan showroom produk hasil seni budaya setempat.THE POTENTIAL OF TRADITIONAL CULTURAL ARTS AS A LOCAL COMMUNITY EMPOWERMENT IN THE NATURE PARK OF BUKIT KELAM SINTANG The participatory model involves the community as the central actors for the improvement of sustainable tourism. The potential of the community's arts and culture around the area in the development of the Natural Tourism Area can be done by utilizing and being involved of locals in boosting tourist interest due to decreased visits. The study used a qualitative approach with in-depth purposive interviews with the open-ended (unstructured) interview method to understand the phenomenon of the events experienced by this investigation. The location is in the Nature Park of Bukit Kelam, covering four villages in the surrounding area. The Revitalization model extends the deal as a tourist destination with agricultural, cultural, and local art products. The image as a tourist destination needs to be strengthened by offering natural and local art products. Empowerment is based on community potency can be implemented by giving locals trust to create activities in tourist areas. The implementation of empowerment by encouraging the community to establish new groups or conducting a ToT for the subject of art and cultural products. The community needs to develop individual skills to increase the number, quality, and value of the products. Therefore, the community needs adequate workshops and showroom facilities for the local arts and culture outcomes.


2021 ◽  
Vol 8 (1) ◽  
pp. 43
Author(s):  
Yudithya Ratih ◽  
Estar Putra Akbar ◽  
Caesar Destria

Pontianak waterfront city merupakan salah satu program yang terus dilakukan oleh pemerintah Kota Pontianak. Salah satu kawasan waterfront yang menarik untuk dikunjungi adalah kawasan Waterfront Seng Hie. Keberadaan waterfront Seng Hie memberikan dampak yang positif membantu meningkatkan citra Kota Pontianak sebagai Kota Tepian air, disisi lain ternyata memberikan dampak negatif, yaitu menjadi magnet kegiatan PKL yang tidak terencana sebelumnya. Kondisi ini jika tidak mendapat perhatian khusus, maka berpotensi munculnya konflik penggunaan ruang antara pengunjung dan para PKL. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor Setting ruang yang mempengaruhi pola sebaran teritori PKL di Waterfront Kota Pontianak. Secara umum, hasil penelitian ini akan menjadi masukan Pemerintah Kota Pontianak dalam upaya memperbaiki kualitas ruang terbuka di tepian air dan akan bersinergi dengan keberadaan PKL. Metode digunakan dalam penelitian ini adalah pemetaan perilaku, yang akan terkait dengan variabel Setting ruang. Hasil penelitian ini ditemukan faktor utama yang mempengaruhi pola distribusi PKL di Waterfront Kota Pontianak yaitu keberadaan seting Fix di waterfront seperti Pagar, Bangku Taman, Perkerasan Beton yang menjadi media PKL untuk berjualan, yang dibedakan atas lima pola teritori sebaran PKL (1) disekitar bangku taman, 2) di sekitar plaza, 3) di sekitar pagar, 4) di sekitar reling tangga, 5) di sekitar anak tangga. THE EFFECT OF SETTING OPEN SPACE ON THE SPREAD OF PKL TERRITORY IN THE WATERFRONT OF PONTIANAK CITY Pontianak waterfront city is one of the programs that the Pontianak City government continues to carry out. One of the interesting waterfront areas to visit is the Seng Hie Waterfront area. The existence of Seng Hie's waterfront has a positive impact helping to improve the image of Pontianak City as a waterfront city; on the other hand, it has a negative effect, namely becoming a magnet for previously unplanned street vendors activities. If this condition does not get special attention, then the potential for conflict in the use of space between visitors and street vendors. This study aims to determine the spatial setting factors that affect the distribution patterns of street vendors at the Waterfront of Pontianak City. In general, the results of this research will be used as input for the Pontianak City Government to improve the quality of open spaces on the water's edge. They will synergize with the existence of street vendors. The method used in this research is behavior mapping, which will be related to the variable space setting. The results of this study found that the main factors that influence the distribution pattern of street vendors at the Waterfront of Pontianak City are the presence of Fix settings on the waterfront such as fences, park benches, concrete pavers which become the media for street vendors to sell, which are divided into five territorial patterns of street vendors (1) around park benches, 2) around the plaza, 3) around the fence, 4) around the stair rail, 5) around the steps.


2021 ◽  
Vol 8 (1) ◽  
pp. 27
Author(s):  
Vijar Galax Putra Jagat Paryoko

Lingkup pembangunan berkelanjutan (sustainable development) mencakup segala bidang perancangan, termasuk desain perkotaan, arsitektur, hingga interior. Tingginya lahan dan minat terhadap usaha bidang interior di perkotaan menjadi salah satu latar belakang perlunya meningkatkan pertimbangan isu berkelanjutan dalam bidang tersebut. Integrated Design Process (IDP) berpotensi diadaptasi untuk proyek interior karena kompatibel dengan sistem design-build yang banyak diminati untuk menyelesaikan proyek interior. Studi ini bertujuan untuk menemukan gambaran adaptasi IDP pada bidang interior, serta potensi dan kendala penerapannya pada proyek nyata. Strategi studi kasus digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, penekanan studi pada kajian literatur dan proyek nyata sebuah pekerjaan interior menggunakan teknik observasi dan arsip. Disimpulkan bahwa estimasi anggaran dan pengelolaan keuangan proyek lebih efektif, mengurangi resiko kendala konstruksi, manfaat jangka panjang produk, serta meningkatkan keharmonisan hubungan antara perusahaan dan pemilik proyek, merupakan keuntungan yang diperoleh. Kendala yang ditemui adalah kenaikan biaya proyek yang dapat ditekan dengan efisiensi material dan akomodasi, serta kebutuhan lebih atas waktu dan usaha untuk mencapai mufakat pada tahap perancangan yang dapat ditekan melalui peran perancang. Hasil studi ini diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat akan kebutuhan perencanaan dan pengelolaan yang terintegrasi untuk menghasilkan produk yang mampu berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. ADAPTATION OF INTEGRATED DESIGN PROCESS AND ITS IMPLEMENTATION FOR INTERIOR PROJECT “Sustainable development" encompasses design fields as a whole, including urban, architecture, and interior design. Increasing demand and interest for interior business in cities is one reason for the need to increase sustainable development issues in this field. Integrated Design Process (IDP) potential to be adapted from building to interior projects is high because it is compatible with the design-build system commonly used for interior project completion. This study aims to find an overview of IDP adaptation for the interior field and the benefits and obstacles to a real project. A case study strategy is used in this study to achieve these aims, where the emphasis is on literature searching and real project analysis using observation and archive tactics. This study concludes that the benefits are practical project budgeting and financing, reducing construction risks, and long-term benefits of product. The obstacles are the increased project cost which can be pressed by efficiency of materials and accommodation, and the time and effort to reach consensus at the design phase, which designer’s role in the project team can press. Results of this study are expected to increase public awareness of the need for integrated planning and management of interior production so it can contribute to "sustainable development".


2021 ◽  
Vol 8 (1) ◽  
pp. 1
Author(s):  
I Gusti Ngurah Wiras Hardy ◽  
Rifat Y. Y. Maromon ◽  
Debri Andries Amabi

Rumah subsidi merupakan program pemerintah yang ditujukan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk mendorong kepemilikan rumah dengan skema pembiayaan secara kredit yang disubsidi pemerintah. Program ini telah dimulai sejak tahun 2010 secara nasional termasuk di Kota Kupang NTT, yang bertujuan untuk mengatasi backlog perumahan dan mendorong tercapainya target satu juta rumah yang dicanangkan pemerintah. Fasilitas yang terdapat pada rumah subsidi di Kota Kupang, umumnya sudah layak dan memadai. Dalam perkembangannya, penghuni rumah subsidi di Kota Kupang mengembangkan rumahnya di lahan yang masih tersisa. Hal ini memunculkan fenomena pengembangan rumah subsidi oleh penghuni. Fenomena ini menarik untuk diteliti, untuk memperoleh pemahaman mengenai keragaman tipe pengembangan rumah subsidi dan pelbagai pertimbangan yang melatarbelakanginya. Penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian kualitatif dengan paradigma rasionalistik untuk mengkaji tipologi pengembangan rumah subsidi berdasarkan teori dan kondisi empiris di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dirumuskan tiga tipe pengembangan rumah subsidi yang dirumuskan menurut kategorisasi dan kombinasi aspek pembentuk elemen pengembangan rumah pada ruang dalam, ruang luar dan fasad rumah. Keragaman tipe pengembangan rumah tersebut dilatarbelakangi oleh pertimbangan tertentu dengan tujuan untuk mengoptimalkan fungsi rumah dalam memenuhi kebutuhan penghuni. TYPOLOGY OF SUBSIDIZED HOUSE DEVELOPMENT BY THE RESIDENT IN KUPANG CITY NUSA TENGGARA TIMUR (NTT) The subsidized house is a government programming aimed at the Low-Income Communities (MBR) to encourage homeownership with a subsidized credit financing scheme by the government. Since 2010 the program has been started nationally, including in Kupang City-NTT, to overcome the backlog of housing and encourage the achievement of the one million house target set by the government. The facilities in Kupang City subsidized houses generally are proper and adequate. During its development, the residents of Kupang City subsidized houses are developed their houses on the remaining land, and it’s caused the phenomenon of subsidized housing development by its residents. This phenomenon is interesting to research and for understanding various types of developments subsidized houses and the various considerations behind it. This research used the qualitative research method approach with a rationalistic paradigm to examine the typology of the development of subsidized houses based on the theory and empirical conditions in the locations. Based on the research results, there are three types of developments of the subsidized houses that can be formulated according to the categorization and combination of forming aspects of home development elements in the interior, outer space, and house facades. The diverse types of house development are motivated by specific considerations to optimize the function of the house in meeting the needs of residents.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document