MADANIA JURNAL KAJIAN KEISLAMAN
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

70
(FIVE YEARS 31)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 1)

Published By Institut Agama Islam Negeri (Iain) Bengkulu

2502-1826, 1410-8143

2021 ◽  
Vol 24 (2) ◽  
pp. 233
Author(s):  
Suansar Khatib

The problem concern in this research is how the method of legal istinbâth of Ibn Qayyim al-Jauziyah about medication and health and its relevance with modern theory.This is normative legal research with library research methods, in the form of character studies. The source of the primary material is al-Thibbal Nabawi, supported by secondary materials, al-Dâ’u wa al-Dâwa’, and other relevant materials.Data analysis employed content analysis techniques, the material contained in the text was elaborated by comprehending the contents, then interpreted to obtain the legal istinbâth method regarding the method of medication and health. The results of this study showed that the method of legal istinbâth of Ibnu Qayyim al-Jauziyah in terms of medications, is guided by dilâlah ‘ibârah or ibârat nash, namely the Quran, Yûnus [10]: 57, Al-Isra’ [17]: 82, and clarified by the hadith of the Prophet Muhammad PBUH. While the method of legal istinbâth of Ibn Qayyim al-Jauziyah in health issues was refering to dillah ‘ibârah or ibârat nash, Al-Maidah [5]: 6, Al-’Araf [7]: 31, and made clear by the hadith. In terms of modern medication and health, the theory of therapy related to the process of medical action, is by maintaining body health through preventive action and expelling dangerous substances within the body.Fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana metode istinbâth hukum Ibnu Qayyim al-Jauziyah tentang pengobatan dan kesehatan?, dan bagaimana relevansi metode istinbâth hukumnya dengan teori pengobatan dan kesehatan modern?. Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan metode penelitian kepustakaan, dalam bentuk studi tokoh. Sumber bahan primernya yakni al-Thibbal-Nabawi,didukung oleh bahan sekunder yakni al-Dâ’u wa al-Dâwa’, dan bahan lainnya yang relevan. Analisis data menggunakan teknik analisis isi, materi yang terdapat dalam kandungan naskah dielaborasi dengan memahami makna yang terkandung dalam teks,lalu dilakukan interpretasi guna mendapatkan metode istinbâth hukumnya tentang metode pengobatan dan kesehatan. Hasil penelitian ini menemukan pertama,metode istinbâth hukum Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam masalah pengobatan berpedoman kepada dilâlah ‘ibârah atau ibârat nash yaitu Alquran surat Yûnus [10]: 57, Al-Isra’ [17]: 82, dan diperjelas oleh hadis Nabi. Sedangkan metode istinbâth hukum Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam masalah kesehatan merujuk kepada dilâlah ‘ibârah atau ibârat nash surat al-Maidah [5]: 6, Al-‘Araf [7]: 31, dan diperjelas oleh hadis Nabi. Relevansinya dengan pengobatan dan kesehatan modern, salah satunya teori tentang terapi yang terkait proses tindakan medis, yaitu dengan menjaga kesehatan tubuh melalui tindakan preventif dan melakukan proses pengusiran zat di tubuh yang menerima campuran zat berbahaya.


2021 ◽  
Vol 24 (2) ◽  
pp. 223
Author(s):  
Zurifah Nurdin

Islamic teachings explain comprehensively how to purify, clean the body and the environment from uncleanness, and to use water and other washing media in a measured manner. In the concept of Islamic theory, this purification activity is known as thahârah. Due to the wide transmission of the Corona Virus Disease 2019 or Covid-19 throughout the world, this article offered preventive measures to restrain the spread of Covid-19 by practicing thahârah consistently based on a fiqh perspective. This study employed literary research method which traced a number of books by Islamic scholars related to the thahârah or purification procedures. After the data was collected, the analysis was carried out by analyzing, processing, and interpreting the data into a conclusion. The results revealed that in addition to eliminating hadaṡ, dirt, and impurity, thahârah activities such as wudhu, tayamum, titual bathing, and teeth brushing benefit for physical and spiritual health. If thahârah is practiced consistently; as a cleaning up routine activity, it will diminish the spread of Covid-19. Instead of just washing hands, for instance, it is recommended to do wudhu even if it is not for praying. Viruses sticking to the hands and face will be washed away and disappear if a person performs wudhu properly according to the teachings of the Prophet Muhammad.  The research has shown that wudhu contains tremendous benefits for health as it can stimulate energy in the body and improve blood circulation.Ajaran Islam secara rinci menjelaskan bagaimana bersuci, membersihkan badan dan lingkungan dari najis, dan bagaimana menggunakan air dan media pencuci lainnya dengan terukur. Aktivitas bersuci tersebut dalam konsep Islam disebut thahârah. Sehubungan dengan telah menyebarnya virus corona 2019 atau Covid-19 yang melanda ke seluruh dunia, artikel ini menawarkan upaya tindakan preventif pencegahan tertularnya Covid-19 dengan membudayakan thahârah  secara konsisten berdasarkan perspektif fikih. Penelitian ini menggunakan metode literary research, yakni menelusuri sejumlah buku-buku karya ulama Islam yang berhubungan dengan ṭahârah atau tatacara bersuci menurut fikih Islam. Setelah data terkumpul, dilakukan analisis dengan mengkalisifikasi, mengolah, dan menginterpretasi data menjadi suatu kesimpulan. Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa selain bertujuan menghilangkan hadas, kotoran, dan najis, kegiatan thahârah seperti wudhu, tayamum, mandi, dan bersiwak bermanfaat untuk kesehatan jasmani dan rohani. Jika aktivitas thahârah ini dibudayakan secara konsisten, dalam arti dijadikan aktivitas yang rutin dalam membersihkan sesuatu, penyebaran Covid-19 akan tertekan menjadi minimal. Daripada mencuci tangan saja, misalnya, lebih baik sekalian berwudhu walaupun tidak untuk melakukan salat. Virus yang menempel di tangan dan wajah akan terbasuh dan lenyap jika seseorang melakukan wudhu dengan benar sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad Saw. Penelitian membuktikan bahwa wudhu mengandung manfaat yang besar bagi kesehatan karena mampu merangsang dan menstimulus energi dalam tubuh serta melancarkan peredaran darah.


2021 ◽  
Vol 24 (2) ◽  
pp. 213
Author(s):  
A. Kumedi Ja’far ◽  
Gandhi Liyorba Indra ◽  
Linda Firdawaty ◽  
Rohmadi Rohmadi

Turun ranjang marriage is a tradition that shows a widower or widow who married their  brother or sister-in-law. This tradition of turun ranjang marriage only occurs when one married couple passes away. However, the existence of turun ranjang marriage is still understood as only part of the implementation of local culture. This paper took the object  of  West Java and Lampung’s society by focusing on how the position and practice of turun ranjang marriage, as well as several perspectives within it, including: Islamic law, psychological, sociological, and economic perspectives. This research is a field research  using the observation method, the interview method, and the documentation method. The results showed that the tradition of turun ranjang marriage is valid as long as the terms and conditions of marriage are fulfilled, both in Islamic law and national legal system. When viewed from the wedding procession, the two regions have something in common, namely that it is carried out more simply, in contrast to the usual wedding procession. However, if seen from the motive for turun ranjang marriage, the Lampung area aims to maintain traditional honor and to continue the lineage, while in West Java it aims to maintain family inheritance. The results of this study also indicate that economic, psychological, and social perspectives  are factors that influence people's understanding of practicing turun ranjang marriage in forming a happy and lasting family. Perkawinan turun ranjang merupakan sebuah tradisi yang menunjukkan seorang duda atau janda yang mengawini adik atau kakak iparnya. Tradisi perkawinan turun ranjang ini hanya terjadi apabila salah satu pasangan suami istri meninggal dunia. Namun demikian, keberadaan perkawinan turun ranjang masih dipahami hanya sebatas bagian  dari implementasi budaya lokal setempat. Tulisan ini mengambil objek di daerah  Jawa Barat dan Lampung dengan menfokuskan kepada bagaimana kedudukan  dan praktek perkawinan turun ranjang, serta beberapa pandangan dibalik perkawinan turun ranjang, antara lain: pandangan hukum Islam, psikologis, sosiologis, dan ekonomi. Penelitian ini  merupakan penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan metode observasi, metode interview, dan metode dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi  perkawinan turun ranjang adalah sah selama syarat dan rukun perkawinan terpenuhi, baik secara hukum Islam maupun perundang-undangan. Jika dilihat dari prosesi perkawinan, kedua daerah tersebut memiliki kesamaan yaitu dilakukan dengan lebih sederhana, berbeda dengan prosesi perkawinan biasa. Namun, jika dilihat dari motif dalam melangsungkan perkawinan turun ranjang, maka daerah Lampung bertujuan untuk menjaga kehormatan adat dan untuk meneruskan garis keturunan, sementara di Jawa barat bertujuan untuk mempertahankan harta warisan keluarga. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pandangan ekonomi, psikologi, dan sosial merupakan faktor yang mempengaruhi pemahaman masyarakat dalam melangsungkan pernikahan turun ranjang dalam membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. 


2020 ◽  
Vol 24 (2) ◽  
pp. 171
Author(s):  
Syahrul Anwar ◽  
Aden Rosadi ◽  
Fauzan Fauzan

This study tries to explain the efforts to retrace the position of Islamic science in the formulation of laws and regulations in Indonesia. As part of the implementation of Islamic law and the national legal sub-system, the position of sharia is particularly strategic and significant. The existence and position of sharia science lie not only in theoretical development through academic studies but also in practical terms which can provide its own colour in the formulation of laws and regulations in Indonesia. The implementation of sharia in life is not only an individual normative obligation, but also a collective responsibility that involves academics, legal practitioners, and the government. The position of sharia in forming laws and regulations theoretically and practically can be seen from three aspects, including substance, structure, and culture.Penelitian ini mencoba menjelaskan tentang upaya pelacakan kembali posisi ilmu syariah dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan di Indonesia. Sebagai bagian dari implementasi hukum Islam dan sub-sistem hukum nasional, posisi ilmu syari’ah sangat strategis dan signifikan. Keberadaan dan posisi ilmu syariah bukan hanya terletak pada pengembangan teoritis melalui kajian akademik, tetapi juga secara praktis dapat memberikan warna tersendiri dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan di Indonesia.  Implementasi ilmu syariah dalam kehidupan, bukan hanya kewajiban individual yang bersifat normative saja, tetapi juga menjadi kewajiban kolektif yang melibatkan akademisi, praktisi hukum, maupun pemerintah. Dengan menggunakan metode deskiptif tekstual-interpretatif, penelitian ini menunjukkan bahwa secara teoritis dan praktis, posisi ilmu syariah dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dilihat dari tiga aspek, antara lain: substansi, struktur, dan kultur.  


2020 ◽  
Vol 24 (2) ◽  
pp. 201
Author(s):  
M. Harir Muzakki ◽  
Ali Akhbar Abaib Mas Rabbani Lubis ◽  
Anis Hidayatul Imtinah
Keyword(s):  

A divorce is closely related to the absence of the husband's responsibility in a family. A wife has no right to propose divorce as long as the husband, as the head of the family, can carry out his obligations materially and non-materially. This paper tries to reveal why women propose divorce and how wives view their husbands' responsibilities as the family's head. This article results from field research in the Ponorogo District and uses data derived from interviews with eight female informants who proposed a legal divorce. As the head of the family, a husband has both material and nonmaterial responsibilities to his wife. This responsibility is the husband's obligation to his wife that must be fulfilled. The husband's material obligations are to provide a living, which includes feeding, providing shelter, and clothing. Meanwhile, the nonmaterial duties are to educate, guide, protect, love, and respect. The results of this study indicate that the wives proposed for legal divorce because their husbands, as to the head of the family, do not carry out their material responsibilities; that is, they do not fulfill their obligation to provide livings for their wife. Husbands also do not meet their nonmaterial duties to their wives.Cerai gugat terkait erat dengan tidak adanya tanggung jawab suami dalam sebuah keluarga. Pada dasarnya, seorang istri tidak berhak mengajukan cerai gugat selama suami sebagai kepala keluarga dapat melaksanakan kewajibannya secara material dan non material. Artikel ini ingin mengungkap mengapa perempuan mengajukan cerai gugat dan bagaimana pandangan istri terhadap tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga. Artikel ini merupakan hasil penelitian lapangan di Kapubaten Ponorogo dan menggunakan data yang bersumber dari hasil wawancara dengan delapan informan perempuan yang mengajukan cerai gugat. Seorang suami sebagai kepala keluarga memiliki tanggung jawab material dan non material kepada istri.  Tanggung jawab tersebut merupakan kewajiban suami terhadap istri yang harus ditunaikan. Adapun  kewajiban suami  yang bersifat material adalah memberi nafkah yang meliputi memberi makan, menyediakan tempat tinggal dan pakaian.  Sedangkan kewajiban bersifat non material adalah mendidik, membimbing, melindungi, menyayangi dan menghargai.  Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para istri mengajukan cerai gugat karena suami sebagai kepala keluarga tidak bertanggung jawab secara material, yakni tidak menunaikan kewajibannya memberi nafkah kepada istri.  Para suami juga tidak menjalankan kewajibannya non material kepada istrinya.


2020 ◽  
Vol 24 (2) ◽  
pp. 121
Author(s):  
Rumadi Rumadi

One of crucial issues in Muslim countries, such as Indonesia, is relation between religion and the state. Even though Pancasila and the 1945 Constitution were claimed final, but it did not necessarily mean that position of religion, state and human rights is final and clear.  The negotiation between religion, state and human rights not only on political forum like at The House of Representative, but also in Constitutional Court  session. There are debates and opinion contestations. The problem is what is the politics of law accommodation towards religious aspirations, which the Constitutional Court has built through its decisions and arguments? Through analysis on two issues: 1) freedom of religion and belief; and 2) marriage law, this article argues that Constitutional Court’s decision, especially relation between religion, state and human rights not only based on law consideration, but also on non-law consideration. Regarding private law, the Constitutional Court opened a fairly wide accommodation, so that more religious aspects would be accommodated by the state even with limited reforms. The limit of accommodation is an Islamic criminal law that cannot be made exclusively for Muslims. The accommodation of Islamic criminal law is only possible if the norms are incorporated into the national criminal law through a process of rational objectification. Based on this argument, continuous negotiation and contestation between religion, state and human rights will go on since Indonesia is not a religious state, which is based only on one religion, nor a secular state, which does not consider religion at all.Salah satu isu krusial di negara Muslim, tidak terkecuali Indonesia, adalah relasi agama dan negara. Meskipun Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan final, namun bukan berarti kedudukan agama, negara, dan hak asasi manusia sudah final dan jelas. Perundingan antara agama, negara dan hak asasi manusia tidak hanya di forum politik seperti di Dewan Perwakilan Daerah (DPR), tapi juga di sidang Mahkamah Konstitusi. Ada perdebatan dan kontestasi pendapat. Persoalannya, bagaimana politik akomodasi hukum terhadap aspirasi agama yang dibangun Mahkamah Konstitusi melalui putusan dan dalilnya? Melalui analisis terhadap dua isu: 1) kebebasan beragama dan berkeyakinan; dan 2) hukum perkawinan, pasal ini berpendapat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi khususnya hubungan antara agama, negara dan hak asasi manusia tidak hanya berdasarkan pertimbangan hukum, tetapi juga pertimbangan non hukum. Terkait hukum privat, Mahkamah Konstitusi membuka akomodasi yang cukup luas, sehingga lebih banyak aspek keagamaan yang diakomodasi oleh negara meski dengan reformasi yang terbatas. Batasan akomodasi adalah hukum pidana Islam yang tidak dapat dibuat secara eksklusif untuk Muslim. Akomodasi hukum pidana Islam hanya dimungkinkan jika norma-norma tersebut dimasukkan ke dalam hukum pidana nasional melalui proses objektifikasi yang rasional. Berdasarkan argumen ini, negosiasi dan kontestasi yang terus menerus antara agama, negara dan hak asasi manusia akan terus berlangsung karena Indonesia bukanlah negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama, bukan pula negara sekuler, yang sama sekali tidak mempertimbangkan agama.


2020 ◽  
Vol 24 (2) ◽  
pp. 155
Author(s):  
Busyro Busyro ◽  
Ismail Ismail ◽  
Fajrul Wadi ◽  
Adlan Sanur Tarihoran ◽  
Edi Rosman

Discussion of the obligations of mahram for women in carrying out the pilgrimage has been discussed since the period of classical scholars to modern age. In fact, for women the pilgrimage is a means of jihad for them. Various thoughts have been put forward by scholars to interpret the Hadith about mahram, starting from textual understanding, which still requires mahram, to the discovery of ‘illat. This last understanding leads to the conclusion that having mahram is no longer necessary because the security as ‘illat can be realized. It is in this connection that this paper aims to compromise between textual understanding and the study of ‘illat so that it can be a solution for women pilgrims. This study used a descriptive analytical method with ‘illat study approach. The results showed that security for women pilgrims can be realized by using the meaning of mahram in terms of language, namely people who are forbidden to marry each other, so that fellow women is also a mahram. Therefore, their departure together with other women can realize the demands of nash without leaving nash textually.Perbincangan kewajiban mahram bagi perempuan dalam melaksanakan perjalanan haji sudah dibicarakan sejak periode ulama klasik sampai kontemporer. Bahkan, bagi seorang perempuan ibadah haji merupakan sarana jihad bagi mereka. Berbagai pemikiran dikemukakan oleh ulama untuk memaknai hadis tentang mahram, mulai dari pemahaman tekstual, yang masih tetap mewajibkan bermahram, sampai kepada penemuan ‘illat. Pemahaman terakhir ini membawa kepada kesimpulan bahwa bermahram tidak diperlukan lagi karena keamanan sebagai ‘illat sudah dapat direalisasikan.  Dalam kaitan inilah tulisan ini bertujuan mengkompromikan antara pemahaman tekstual dengan kajian ‘illat agar bisa menjadi solusi bagi jamaah haji perempuan.  Penelitian ini menggunakan metode deskripstif analitis dengan pendekatan kajian ‘illat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keamanan bagi jamaah haji perempuan dapat terealisir dengan menggunakan makna mahram dari segi bahasa, yaitu orang-orang yang haram saling menikah, maka sesama perempuan juga termasuk mahram. Oleh karena itu kepergian mereka bersama-sama dengan perempuan lainnya sudah dapat merealisasikan tuntutan nash tanpa meninggalkan nash secara tekstual.


2020 ◽  
Vol 24 (2) ◽  
pp. 179
Author(s):  
Rizal Fahlefi ◽  
Alimin Alimin

The study aims to find out a general description of mustahiks of old-age insurance program from National Zakat Agency (BAZNAS) of Tanah Datar Regency and to analyse the legal status of the program from Islamic law perspective. The old-age insurance program is distribution of consumptive zakat permanently throughout life for the elderly. The researcher used a survey method. The results showed that the old-age insurance program is directed to meet the basic needs of elderly mustahiks. The characteristics of the elderly mustahiks are as follows: 90% are women, 45% are classified as the old-old, 50% have never attended school, 60% are sick, 85% are non-potential elderly people, 55% live in unworthy shelter, 65% live alone, before receiving zakat 80% meet their needs with the help of others, 80% have no income other than zakat. These facts support that the consumptive zakat for the elderly must be continued, because it greatly helps elderly welfare. Although there is no specific argument regarding zakat for the elderly, it doesn’t contradict the provisions of Islamic law. If the Caliphs Abu Bakr, Umar, and 'Ali decided on a policy of providing compensation for non-Muslim elderly from Baitul Mâl, for Muslim elderly ofcourse even more important. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum dari mustahik program jaminan hari tua dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kabupaten Tanah Datar dan untuk menganalisis status hukum program perspektif hukum Islam. Program jaminan hari tua merupakan penyaluran zakat konsumtif secara permanen bagi lansia sepanjang hidupnya. Peneliti menggunakan metode survei. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program jaminan hari tua bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar para mustahik lansia. Karakteristik mustahik lansia tersebut adalah sebagai berikut: 90% diantaranya adalah perempuan, 45% diklasifikasikan sebagai lansia berumur sangat lanjut, 50% tidak pernah bersekolah, 60% dalam kondisi sakit, 85% merupakan lansia yang tidak potensial, 55% tinggal di tempat tinggal yang tidak layak, 65% tinggal sendirian, sebelum menerima zakat 80% memenuhi kebutuhan mereka dengan mengandalkan bantuan orang lain, 80% tidak memiliki penghasilan selain zakat. Fakta-fakta ini mendukung bahwa program zakat konsumtif untuk lansia mesti dilanjutkan, karena sangat membantu kesejahteraan lansia. Meskipun tidak ada dalil khusus tentang alokasi zakat untuk lansia, tetapi hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Islam. Jika Khalifah Abu Bakr, Umar, dan ‘Ali pernah mengambil kebijakan untuk memberikan santunan kepada lansia non-Muslim dari Baitul Mâl, maka menyantuni lansia Muslim tentu lebih utama lagi. 


2020 ◽  
Vol 24 (2) ◽  
pp. 135
Author(s):  
Doli Witro

Indonesia is well-known as a Muslim majority. However, this does not make Indonesia as an Islamic country. The relationship between religion and state in Islam is fairly interpretive and it nowadays still becomes a debate. The government system applied in this country is democratic. Besides, there has to freedom for the ulama in preaching without being limited by space and time. A number of ulama are currently being persecuted and intimidated that impacts to the lecture to be either stopped, postponed, or even canceled. At this part, the role of the umara (government) is required in enforcing the applicable law and also maintaining security and order in society. This paper aims to highlight the relationship between religion and state in Indonesian by observing the position of the ulama and the role of the umara in terms of Indonesian government. This paper used a qualitative approach to literature research. The data in this study was obtained from library materials. Data analysis methods used in this study were data reduction, data presentation, and conclusion. The results of the analysis showed that in Indonesia there is a separation between religion and state as the secularistic paradigm. However, it is not completely secularistic because in national legal system there is also a transformation of Islamic law. Religious and state affairs are not able to be separated, so are ulama and umara. It is because the state will experience a crisis in religious knowledge without ulama. Otherwise, without umara, religion cannot be implemented correctly within the country.Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas Islam. Namun bukan berarti Indonesia adalah negara Islam. Hubungan agama dan negara dalam Islam cukup banyak penafsiran. Dalam Islam, hal ini masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia saat ini adalah sistem demokrasi. Terlepas dari sistem tersebut, tentu harus memberikan kebebasan para ulama dalam berdakwah tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Saat ini, ada ulama yang dipersekusi dan diintimidasi sehingga ceramah yang hendak dilaksanakan terpaksa dihentikan, ditunda, bahkan dibatalkan. Disinilah diperlukan peran umara (pemerintah) dalam menegakkan hukum yang berlaku dan juga menjaga keamanan serta ketertiban di masyarakat. Tulisan ini bertujuan menyoroti relasi agama dan negara dalam konteks Indonesia dengan melihat kedudukan ulama dan peran umara dalam pemerintahan Indonesia. Tulisan ini menggunakan metode pendekatan kualitatif yang bersifat penelitian pustaka. Data-data dalam penelitian ini diperoleh dari bahan-bahan yang bersifat pustaka Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil analisis menunjukkan di Indonesia terjadi pemisahan antara agama dan negara sebagaimana paradigma sekuleristik. Tetapi disini tidak sepenuhnya sekularistik karena pada hukum nasional Indonesia juga terjadi transformasi hukum Islam. Urusan agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Begitu juga dengan ulama dan umara tidak dapat dipisahkan karena tanpa ulama maka negara akan mengalami krisis ilmu agama dan tanpa umara maka agama tidak bisa diterapkan secara sempurna dalam suatu negara.


2020 ◽  
Vol 24 (2) ◽  
pp. 145
Author(s):  
Maghfirah Maghfirah ◽  
Ahmad Maulidizen ◽  
Hasbullah Hasbullah

The purpose of this research is to analyze women's leadership with asbâb al-wurûd approach. This research is a library research with a qualitative approach. Data collection methods used are documentation methods from various articles and books. Then it was analyzed using the content analysis method, namely analyzing data that is a descriptive or scientific analysis of premium messages with asbâb al-wurûd approach. The result of this research was Hadith narrated by Bukhârî , al-Tirmidzî  and al-Nasâ’î on female leadership, in general, is shaḥîh li dzâtihi. Sanad meets the requirements, that is, sanad muttashil, râwî is also tsîqah and protected from syuzûz and ‘illat. Textually, the majority of scholars explicitly state the prohibition of female leadership. At the same time, contextually, Islam does not prohibit women from becoming leaders or heads of state, provided they can perform their duties. Therefore, Hadith Abû Bakrah must be understood contextually using the asbâb al-wurûd approach because the content of the instruction is temporal. The similarity of this study with previous research is that the Hadith analyzed is Hadith Abû Bakrah on women's leadership by analyzing sanad and matan, while the difference is that this research uses asbâb al-wurûd approachTujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kepemimpinan perempuan dengan pendekatan asbâb al-wurûd. Penelitian ini merupakan library research, jenis penelitian yang dilakukan dan difokuskan pada penelaahan, pengkajian dan pembahasan literatur klasik dan modern yang berkaitan dengan hukum kepemimpinan wanita sebagai obyek dari penelitian ini. Pendekatan yang digunakan adalah metode ta’lîlî  sebagai sudut pandang penalaran dalam menganalisa permasalahan yang dikaji, serta pendekatan asbâb al-wurûd dalam menetapkan hukum.  Metode pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi dari berbagai artikel dan buku. Kemudian dianalisis menggunakan metode analisis isi, yaitu menganalisis data yang bersifat deskriptif atau analisis ilmiah terhadap pesan premium dengan pendekatan asbâb al-wurûd. Hasil dari penelitian ini adalah Hadith yang diriwayatkan oleh Bukhârî , al-Tirmidzî  dan al-Nasâ’î  tentang kepemimpinan perempuan secara umum adalah shaḥîh li dzâtihi. Sanad memenuhi persyaratan, yaitu, sanad muttashil, râwî  juga tsîqah dan dari syuzûz dan ‘illat. Secara teks, mayoritas ulama secara eksplisit menyatakan larangan kepemimpinan perempuan, sedangkan secara kontekstual, Islam tidak melarang perempuan untuk menjadi pemimpin atau kepala negara dengan syarat mereka mampu melaksanakan tugas. Oleh karena itu, Hadis Abû Bakrah harus dipahami secara kontekstual menggunakan pendekatan asbâb al-wurûd, karena isi instruksi bersifat temporal. Kesamaan dari penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa Hadis yang dianalisis adalah Hadis Abû Bakrah tentang kepemimpinan perempuan dengan menganalisis sanad dan matan, sedangkan perbedaannya adalah penelitian ini menggunakan pendekatan asbâb al-wurûd. 


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document