Jurnal Sosiologi Agama Indonesia (JSAI)
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

25
(FIVE YEARS 25)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 1)

Published By Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

2722-6700

2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 75-85
Author(s):  
Lukman ◽  
M Nazaruddin ◽  
Saifuddin Yunus

This study aims to describe an entrepreneurial strategy based on character education for students in Dayah Ummul Ayman, Kec. Samalanga, Kab. Bireuen. This study used descriptive qualitative methods. Informants in this study were selected through purposive techniques, and data were collected through interviews, observation, and literature studies. The results showed that to give birth to future Muslim businesspeople, Waled Nu, as the entrepreneurship coach of Dayah Ummul Ayman, developed three strategies. First, integrating the Dayah into an entrepreneurial center by facilitating students with various facilities and infrastructure to support entrepreneurial programs. Second, implementing seven procedures in entrepreneurial activities, and Third, inculcating character values included in entrepreneurial activities. These three things are used as a "Road Map" by Waled Nu in supporting and producing to the future generation of Muslim businessmen. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi pemberdayaan kewirausahaan berbasis pendidikan karakter bagi santri di Dayah Ummul Ayman, Kec. Samalanga, Kab. Bireuen. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Informan dalam penelitian ini dipilih menggunakan teknik purposive, dan data dikumpulkan menggunakan teknik wawancara, observasi dan studi dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam upaya melahirkan calon pebisnis muslim masa depan, Waled Nu selaku pembina wirausaha Dayah Ummul Ayman membangun tiga strategi yaitu mengintegrasikan dayah menjadi balai wirausaha dengan cara memfasilitasi santri dengan berbagai sarana dan prasarana untuk mendukung program wirausaha. Kedua, mengimplementasikan 7 strategi dalam kegiatan wirausaha, dan Ketiga; penanaman nilai-nilai karakter yang dimasukkan dalam kegiatan kewirausahaan. Tiga hal tersebut dijadikan “Road Map” oleh Waled Nu dalam mencetak dan melahirkan generasi pebisnis muslim masa depan.


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 60-74
Author(s):  
Zulfadhli ◽  
Khairulyadi

Social capital can be one of the factors or forces that support the empowerment process in the community. This article aims to describe the role and elements of forming social capital in the management of BUMG in Trieng Gadeng Village, Darul Aman District, East Aceh. The qualitative method used and data obtained from observations, interviews, and literature studies. The results of this study indicate that the types of social capital in the management of BUMG are bounding and linking. Geuchik as an actor, support both types of social capital. Geuchik's leadership can make the elements of social capital work effectively, such as building trust between various parties, running the BUMG program following local norms, and building social networks. So, the social capital plays a role as a driving force for the birth of cooperation between the government, BUMG managers, and the community in the success of the program set by BUMG in Trieng Gadeng Village, East Aceh. Abstrak Modal sosial dapat menjadi salah satu faktor atau kekuatan yang mendukung proses pemberdayaan di dalam masyarakat. Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang peran dan unsur-unsur pembentuk modal sosial dalam pengelolaan BUMG di Gampong Trieng Gadeng, Kecamatan Darul Aman, Aceh Timur. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, dan data diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan studi literatur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tipe modal sosial dalam pengelolaan BUMG adalah bounding dan linking. Kedua tipe modal sosial tersebut ditopang oleh seorang aktor yaitu pak Geuchik. Kepemimpinan Geuchik mampu membuat unsur-unsur modal sosial berjalan secara efektif seperti membangun kepercayaan antar berbagai pihak, menjalankan program BUMG sesuai dengan norma setempat dan juga membangun jaringan sosial. Dapat dinyatakan bahwa modal sosial berperan sebagai pendorong lahirnya kerjasama antara pemerintah, pengelola BUMG, dan masyarakat dalam menyukseskan program yang telah ditetapkan oleh BUMG di Gampong Trieng Gadeng, Aceh Timur.


2021 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 35-46
Author(s):  
Hardiansyah ◽  
Suadi ◽  
Abidin

This article aims to provide a descriptive description of the conflict in the counting and recapitulation of the 2019 general election in the North Aceh Regency. This study uses qualitative methods, data obtained from observations, interviews, and relevant documents or literature. Research informants consist of elements of election organizers, election contestants, and stakeholders. This study found that the conflict was motivated by unintentional factors related to competence, workload, and weaknesses in supporting facilities for the implementation of elections, as well as factors related to the transparency of election administrators. Furthermore, the conflicting parties seek to find conflict resolution through mediation and adjudication. Abstrak Artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran deskriptif tentang konflik penghitungan dan rekapitulasi Pemilu 2019 di Kabupaten Aceh Utara. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, data diperoleh dari observasi, wawancara, dan dokumen atau literatur yang relevan. Informan penelitian terdiri dari unsur penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan pemangku kepentingan. Penelitian ini menemukan bahwa konflik tersebut dilatarbelakangi oleh faktor ketidaksengajaan yang terkait dengan kompetensi, beban kerja, dan kelemahan sarana penunjang penyelenggaraan pemilu, serta faktor yang berkaitan dengan transparansi penyelenggara pemilu. Selanjutnya, pihak-pihak yang berkonflik berusaha mencari penyelesaian konflik melalui mediasi dan ajudikasi.


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 86-100
Author(s):  
Kasmaya

This study aims to describe the way lesbians interact with the environment where the majority of them are Muslims and the factors that influence a person to become a lesbian. The method used is a qualitative method with a case study approach. The informants of this study were four lesbians who lived in the city of Banda Aceh. The results of this study indicate that there are several things that underlie social interactions that shape lesbian behavior in an environment where the majority of Muslims are Muslims, that is family factors, fun, and trauma. The way lesbians adapt and run a partner relationship is the same as for heterosexual couples in general. However, for a more intimate relationship, this lesbian couple avoids their daily activities, then changes their appearance like men so that people don't suspect them. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang cara lesbian berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang mayoritasnya umat muslim serta faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi seorang lesbian. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Informan penelitian ini berjumlah empat orang lesbian yang tinggal di Kota Banda Aceh.  Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang mendasari interaksi sosial membentuk perilaku lesbian dalam lingkungan sekitar yang mayoritasnya umat muslim yaitu faktor keluarga, keisengan dan trauma. Adapun cara lesbian beradaptasi dan menjalankan hubungan pasangan adalah sama dengan pasangan heteroseksual pada umumnya. Namun, untuk hubungan yang lebih intim pasangan lesbian ini menghindari daerah kegiatannya sehari-hari, kemudian mengubah penampilan seperti lelaki agar masyarakat tidak menaruh ke curigaan terhadap mereka.


2021 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 1-12
Author(s):  
Indra Setia Bakti ◽  
Harinawati ◽  
Siti Ikramatoun

This study aims to describe the meaning shift of mujêlisên in Gayo society. The meaning given to the mujêlisên tradition has not been constant at all times. In the Gayo lens traditional, mujêlisên means something Islamic or "to be Islamic". So the activities carried out are directed at actions that are nuanced with spirituality. The study was qualitative research. This study found that over time, the meaning of the mujêlisên tradition was shifted. In praxis, the spirituality aspect not dominates the discourse but has been covered by profane culture festivity practices. It is supported by the various easily accessible facilities to fulfil the consumptive desires of festivity actors. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pergeseran makna mujêlisên pada masyarakat Gayo. Makna yang diberikan terhadap tradisi mujêlisên pada masyarakat Gayo tidak selalu ajeg dari masa ke masa. Dalam lensa adat Gayo, sunatan atau mujêlisên bermakna diislamkan, sehingga aktivitas yang dilakukan diwarnai tindakan-tindakan yang mengarah pada aspek spiritualitas. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif guna mengungkap dan merefleksikan pergeseran makna pada tradisi mujêlisên. Penelitian ini menemukan bahwa seiring perkembangan zaman, pemaknaan tradisi mujêlisên mulai ikut bergeser. Pada level praksis, gagasan spiritualitas tidak lagi mendominasi wacana, namun sudah ditutupi oleh praktik budaya pesta yang profan. Hal ini didukung oleh berbagai sarana yang tersedia dan mudah diakses untuk memenuhi hasrat konsumtif pelaku pesta.


2021 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 13-22
Author(s):  
Ahmad Sugeng Riady

This article starts from the fact that religion and culture are two areas that often trigger pro and contra. On the one hand, there are many figures who clearly define the boundaries between religion and culture, while on the other hand there are also figures who continue to seek formulations of their relationship with the assumption that religion and culture provide mutual support. Clifford Geertz, an anthropologist born in San Francisco, contributed to the idea of religion and culture. This article uses the literature study method. The literature used is books that are supported by journals and previous research that are relevant to the topic the author raises. The result is that Clifford Geertz assesses human culture as a text that needs to be interpreted or thick description. This also applies when studying religious phenomena that occur in the midst of a society which is not only explained but come to the discovery of the meaning of these religious phenomena. Abstrak Artikel ini berangkat dari fakta bahwa agama dan kebudayaan sering kali menjadi dua wilayah yang memicu terjadinya pro dan kontra. Di satu sisi ada banyak tokoh yang secara tegas memberi batas antara agama dan kebudayaan, sedangkan di sisi lain ada juga tokoh yang terus mencari formulasi dari relasi keduanya dengan asumsi bahwa, agama dan kebudayaan saling memberi dukungan. Adalah Clifford Geertz, antropolog kelahiran San Fransisco turut memberi kontribusi gagasan mengenai agama dan kebudayaan. Artikel menggunakan kajian literatur. Literatur yang digunakan ialah buku-buku yang ditunjang dengan jurnal dan penelitian terdahulu yang relevan dengan topik yang penulis angkat. Adapun hasilnya ialah Clifford Geertz menilai kebudayaan manusia sebagai sebuah teks yang perlu diinterpretasikan (thick description). Hal ini juga berlaku ketika mengkaji fenomena agama yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang tidak hanya dijelaskan, tapi sampai pada penemuan pemaknaan dari fenomena keagamaan tersebut.


2021 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
Author(s):  
Nurul Aeni

This article aims to provide an overview of the phenomenon of poverty from a sociological perspective, especially from the perspective of the sociology of religion. This article uses a literature review, which is a literature review that supports a particular problem that is being studied in depth. The data in this article were obtained from books, journals, articles, theses and other relevant literature. The results of this study indicate that sociological poverty is not only a personal phenomenon but also a social phenomenon. In the context of religion, Islam responds to the phenomenon of poverty by encouraging and encouraging people to work hard and share with each other. Abstrak Artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang fenomena kemiskinan dari perspektif sosiologi, utamanya dari perspektif sosiologi agama. Artikel ini menggunakan kajian literatur, yaitu suatu kajian pustaka yang mendukung suatu permasalahan tertentu yang sedang di kaji secara mendalam. Data dalam artikel ini di peroleh dari buku, jurnal, artikel, skripsi dan literatur lainnya yang relevan. Hasil dari kajian ini menunjukkan bahwa kemiskinan secara sosiologis bukan hanya fenomena personal, namun juga fenomena sosial. Dalam konteks Agama, Islam merespons fenomena kemiskinan dengan anjuran dan dorongan agar manusia giat bekerja dan saling berbagi.


2021 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 23-34
Author(s):  
Anismar ◽  
Rukaiyah ◽  
Abdullah Akhyar Nasution

This study aims to determine the symbolic meaning of the kenduri blang procession in Gampong Ulee Gle Pidie Jaya. Researchers used qualitative-descriptive research methods. Data collection techniques are observation, interview, and document study. The results showed that the community interpreted kenduri blang as a symbol of gratitude and asked for blessings from Allah so that the next crop was bountiful. Besides that, kenduri blang can also strengthen the relationship between people to stay united and respect each other. Kenduri blang was held in September, precisely before the beginning of descending into the fields. The community participates by donating funds to buy buffalo, spices, and other necessities needed when the event is held. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna simbolik dari prosesi kenduri blang di Gampong Ulee Gle Pidie Jaya. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif-deskriptif. Teknik pengumpulan data yaitu observasi, wawancara, dan studi dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat memaknai kenduri blang sebagai simbol kesyukuran dan meminta berkat dari Allah agar hasil panen berikutnya melimpah. Selain itu kenduri blang juga dimaknai sebagai pelestarian budaya Aceh, ajang memperkuat silaturrahmi antar masyarakat untuk tetap bersatu dan saling menghargai. Kenduri blang dilaksanakan pada bulan September tepatnya menjelang permulaan turun ke sawah. Masyarakat berpartisipasi dengan menyumbang dana untuk membeli kerbau, bumbu, dan keperluan lainnya yang dibutuhkan saat acara digelar.


2021 ◽  
Vol 1 (3) ◽  
pp. 228-237
Author(s):  
Zahlul Pasha Karim

This article attempts to answer why FPI's relationship with Dayah in Aceh is so close. This condition is seen in contrast to several other areas in Indonesia that are seen to experience frequent collisions. This article shows that the relations between FPI and Dayah groups in Aceh occurred for several reasons: first, the FPI organization in Aceh was led by Dayah people and used the Dayah santri network as a mass base. When FPI entered Aceh, the idea was rejected by some senior Acehnese scholars. After FPI succeeded in approaching young people from the Dayah circles, such as Muslem Attahiry, FPI's progress was seen to be very strong and succeeded in establishing its influence in some Dayah. Second, FPI in Aceh has the right space on the issue they are raising, namely Islamic Syari'at. Politicians who need an image of taking sides with shari'ah need to use FPI, either directly or indirectly. Third, the character of Acehnese people who are fanatical and like religious symbols so they don't care less about FPI's background. The people of Aceh will accept it as long as they (FPI) wrap their actions and agendas with narratives and religious symbols. Abstrak Artikel ini berusaha menjawab pertanyaan tentang mengapa hubungan FPI dengan Dayah di Aceh sangat dekat. Kondisi ini terlihat kontras dengan beberapa daerah lain di Indonesia yang terlihat sering mengalami benturan. Artikel ini menunjukkan bahwa relasi FPI dengan kalangan Dayah  di Aceh terjadi karena beberapa sebab: pertama, organisasi FPI di Aceh dipimpin oleh orang Dayah dan menggunakan jaringan santri Dayah sebagai basis massa. Awal FPI masuk ke Aceh, idenya sempat ditolak oleh sejumlah ulama senior Aceh. Setelah  FPI berhasil mendekati orang-orang muda dari kalangan Dayah, seperti Muslem Attahiry, kiprah FPI terlihat amat kuat dan berhasil menancapkan pengaruhnya di sejumlah Dayah. Kedua, FPI di Aceh memiliki ruang yang tepat pada isu yang mereka angkat, yaitu syari’at Islam. Politisi yang perlu citra keberpihakan pada syari’at perlu menggunakan FPI, baik secara langsung atau tidak langsung. Ketiga, karakter masyarakat Aceh yang fanatik dan menyukai simbol-simbol keagamaan sehingga kurang peduli dengan latar belakang FPI. Masyarkat Aceh akan menerima sejauh mereka (FPI) membungkus aksi dan agenda mereka dengan narasi-narasi dan simbol-simbol agama.    


2020 ◽  
Vol 1 (3) ◽  
pp. 212-216
Author(s):  
Rika Dewi

This article aims to find out the various sources of life meaningful life of Class IIA Banda Aceh prisoners studied based on the sources of meaningful life expressed by Bastaman (2007), namely Creative Values ​​(creative values), Experiential values ​​, and Atituditional values. Values ​​(attitude values). The population of class II prisoners as many as 488 samples in this study, so the researcher took a sample of 50 prisoners using purposive random sampling. Data retrieval using questionnaires in the form of a Likert scale. The results showed that the highest value of the source of the meaning of life is the source of creative values ​​with a mean of 46.32 meaning that prisoners will still have the meaning of life when they can work, work, create, and carry out their duties and obligations as well as possible with full responsibility. While the lowest value is Experiential Value with a mean value of 34.40 which means that the prisoner feels happy and will have the meaning of life with the religious values ​​given in the LP, such as still having hope to live and trying to be the best person after leaving the LP. Then they also want to learn to read the Al-Quran, so that on average they can read the Al-Qur'an. In obtaining the sources of a meaningful life, there are different results for each prisoner. This means that the sources of meaningful life can be obtained through the experiences of different individuals. This is also related to age and marital status (such as married or unmarried). Abstrak Artikel ini bertujuan untuk mengetahui berbagai sumber makna hidup bagi narapidana Klas IIA Banda Aceh yang dikaji berdasarkan sumber makna hidup  yang diungkapkan oleh Bastaman (2007) yaitu Creative Values (nilai-nilai kreatif), Experiental values (nilai-nilai penghayatan) dan Atituditional Values (nilai-nilai bersikap). Populasi narapidana kelas II sebanyak Sampel dalam penelitian ini sebanyak 488, sehingga peneliti mengambil sampel sebanyak 50 narapidana  dengan menggunakan Purposive Random Sampling. Pengambilan data menggunakan kusioner dalam bentuk skala Likert. Hasil penelitian diketahui nilai tertinggi dari sumber kebermaknaan hidup adalah pada sumber creative values dengan mean 46.32 artinya narapidana akan tetap memiliki makna hidup ketika mereka mampu melakukan kegiatan berkarya, bekerja, mencipta serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Sedangkan nilai terendah adalah experiental Value dengan nilai mean 34.40 artinya narapidana merasa bahagia dan akan memiliki makna hidup dengan adanya nilai-nilai keagamaan yang diberikan di LP, seperti masih memiliki harapan untuk hidup dan berusaha untuk menjadi orang yang terbaik setlah keluar dari LP. Kemudian mereka juga sudah mau belajar membaca Al-Quran,  sehingga mereka rata-rata sudah dapat membaca Al-Qur’an. Dalam memperoleh sumber-sumber kubermakanan hidup, terdapat hasil yang berbeda-beda pada masing-masing narapidana. Artinya sumber-sumber kubermakanan hidup dapat diperoleh melalui pengalaman-pengalaman individu yang tidak sama. Hal ini juga terkait dengan faktor usia dan status perkawinan (seperti sudah menikah atau belum menikah).


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document