Riwayah Jurnal Studi Hadis
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

117
(FIVE YEARS 73)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 1)

Published By State Islamic College Of Kudus

2502-8839, 2460-755x

2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 347
Author(s):  
Zaimatuz Zakiyah ◽  
Zainal Arifin

<p>Interpretasi teks-teks keagamaan yang diyakini bias gender berimplikasi pada subordinasi dan marginalisasi perempuan dalam berbagai ranah kehidupan. Oleh karena itu, reinterpretasi mutlak diperlukan untuk memulihkan kesenjangan yang ada antara laki-laki dan perempuan. Kajian ini bertujuan memaparkan konsep dasar pendekatan <em>mubādalah</em> dalam perspektif Faqihuddin Abdul Kodir dan mengimplemetasikan pendekatan <em>mubādalah</em> dalam menginterpretasikan hadis kepemimpinan perempuan. Metode yang digunakan adalah penelitian studi literatur menggunakan teknik deskriptif-analitik. Sumber utama dari studi ini adalah buku <em>Qirā</em><em>’ah Mubādalah</em>, sedangkan sumber sekundernya adalah karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan kajian. Hasil studi ini menunjukkan bahwa Faqihuddin Abdul Kodir adalah seorang mufassir feminis asal Indonesia, konsep <em>mubādalah</em> yang ia tawarkan melahirkan relasi ketersalingan yang adil terhadap laki-laki dan perempuan, termasuk dalam diskursus kepemimpinan perempuan, baik dalam ibadah maupun sosial-politik. Meskipun mayoritas ulama melarang perempuan menjadi pemimpin dalam shalat, namun keyakinan tersebut tidak berlaku dalam ranah sosial-politik karena berdasarkan perspektif <em>mubādalah</em>, kepemimpinan tidak didasarkan pada jenis kelamin, melainkan dapat diemban bagi mereka yang memiliki kapasitas dan kemampuan untuk memimpin, sehingga laki-laki dan perempuan dapat bekerjasama dalam menciptakan kemaslahatan di muka bumi.</p><p>[<strong><em>Mubādala</em> Approach in the Perspective of Faqihuddin Abdul Kodir on the Meaning of Women's Leadership Hadith</strong>. The interpretation of religious texts which is believed to be gender-biased has implications for the subordination and marginalization of women in various spheres of life. Therefore, reinterpretation is necessary to restore the existing gap between men and women. This study aims to explain the basic concepts of the <em>mubādalah</em> approach in Faqihuddin Abdul Kodir’s perspective and to implement the mubadalah approach in interpreting the hadiths of women's leadership. The method used is a literature study research using descriptive-analytic techniques. The main source of this study is the book <em>Qirā</em><em>’at Mubādala</em>, while the secondary sources are scientific works related to studies. The results of this study indicate that Faqihuddin Abdul Kodir is a feminist exegete from Indonesia, the concept of mubadalah that he offers creates a fair relationship of alienation towards men and women, including in the discourse of women's leadership, both in worship and socio-politics. The majority of scholars prohibit women from becoming prayer leaders, but this belief does not apply in the socio-political realm because based on the perspective of<strong><em> </em></strong><em>mubādala</em>, leadership is not based on gender, but can be carried out by those who have the capacity and ability to lead, so that they can work together in creating benefit on earth.]</p>


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 273
Author(s):  
Norhafizah Binti Ahmad ◽  
Wan Ainaa Mardhiah binti Wan Zahari ◽  
Arwansyah Bin Kirin

<p>Hadis merupakan sumber kedua agama dalam Islam selepas al-Quran. Ia memainkan peranan yang sangat penting dalam Islam, terutama ketika menguraikan serta menjelaskan kehendak al-Quran. Pengajian hadis bagi tuna netra amat signifikan dan diperlukan dalam sistem pendidikan khusus. Untuk melestarikan pengajian hadis tuna netra, terdapat beberapa tantangan yang perlu dihadapi dan difikirkan. Tantangan ini harus dihadapi bersama dalam usaha mewujudkan kesamarataan peluang pendidikan hadis bagi seluruh umat Islam tanpa menganggap kekurangan pada diri. Namun, pemaparan bagi tuna netra terhadap pengajian hadis masih belum berlaku sedangkan hadis juga memainkan peranan yang penting sebagai sumber kedua syariat Islam. Justru, objektif utama artikel ini adalah untuk menjelaskan isu dan tantangan yang dihadapi oleh tuna netra dalam pengajian hadis. Kajian ini merupakan kajian kualitatif dengan menggunakan metode analisis dokumen yang terdiri dari buku-buku, artikel-artikel, jurnal, dan bahan-bahan yang berkaitan. Hasil kajian mendapati pengajian hadis bagi tuna netra di Malaysia menghadapi tantangan yang besar. Diantaranya ialah ketidaksediaan tenaga pengajar, kelemahan institusi pendidikan dan kekurangan bahan bantu mengajar. Implikasi kajian ini ialah dapat mengenal pasti tantangan yang dihadapi oleh tuna netra dalam mendalami hadis dan seterusnya membantu golongan ini mengenal, mencintai dan meneladani Rasulullah SAW melalui hadis-hadisnya.</p><p>[<strong>The implementation of hadith studies for visually impaired people in Malaysia: Issues and challenges</strong>. Hadith is the second source in Islam after Quran. The role of hadith is very important in Islam especially in explaining and justifying the contents of Quran. The study of hadith for visually impaired people is very important and necessary in the special education system. There are some challenges that need to be considered in preserving the study of hadith for visually impaired people. These challenges must be faced together in order to create an equality of hadith educational opportunities toward visually impaired people regardless of their shortcomings. However, the exposures of hadith study occur only on a small scale while hadith also plays an important role in Muslim daily life. Therefore, the main objective of this article is to explain the issues and challenges faced by visually impaired people in implementing hadith studies. The qualitative approach is used in this research by using document analysis method from books, articles, journals, internet etc. The early finding shows that the hadith study for visually impaired people in Malaysia facing great issues and challenges. These challenges exist in several aspects including the lack of instructional resources, the weakness of educational institutions and the lack of teaching aid. Hence, this research is able to identify the issues and challenges faced by visually impaired people to pursuit hadith and guiding them to learn and love the Prophet SAW and his Sunnah.]</p>


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 221
Author(s):  
Muhammad Mundzir

<p><span>Artikel ini membahas tentang pemahaman </span><em><span>hadis al-ifki </span></em><span>yang menceritakan tentang fitnah yang dituduhkan oleh Aisyah. Hadis tersebut mengandung beberapa isu yang bisa ditarik ke zaman media sosial sekarang, di mana banyak terjadi pergeseran penggunaannya. Media sosial bukan lagi menjadi sarana untuk menyebarkan informasi yang berguna menambah wawasan masyarakat, tapi juga menjadi sarana untuk menyebarkan fitnah, ujaran kebencian, dan hoax. Maka dari itu, penulis mencoba mengontekstualisasikan pemahaman dari </span><em><span>h</span><span>adis al-Ifki</span></em><span>. Penulis menggunakan Hermeneutika yang digagas oleh Nasr Hamid Abu Zayd, di mana dalam metodologinya terdapat tiga prinsip yang harus dilakukan, yaitu mencari, <em>dalalah, maghza, </em>dan, <em>maskut ‘anhu. </em>Hasil dari aplikasi menggunakan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd adalah bahwa dalam bermedia sosial perlu bagi pengguna untuk memberikan informasi yang baik, sebab hal tersebut akan dinilai sedekah. Pengguna media sosial juga perlu untuk menghargai perasaan orang lain ketika akan memosting sesuatu. Selain itu, jika tidak dapat melakukan hal yang bersifat positif bagi media sosial, maka lebih baik diam.</span></p><p>[<strong><span>Contextualization of Understanding <em>Hadith al-Ifki</em> on Social Media Interaction: An Application of Nasr Hamid Abu Zayd's Hermeneutics</span></strong><span>. This article discusses the understanding of <em>hadith al-ifki</em> which tells about the slander alleged by Aisyah. The hadith contains several issues that can be drawn into the current era of social media, where there are many shifts in its use. Social media is no longer a means to disseminate useful information to broaden the public's knowledge, but also a means to spread slander, hate speech, and hoaxes. Therefore, the author tries to contextualize the understanding of the <em>hadith al-ifki.</em> The author uses Hermeneutics which was initiated by Nasr Hamid Abu Zayd, where in the methodology there are three principles that must be carried out, namely seeking, dalalah, maghza, and, maskut 'anhu. The result of the application using Nasr Hamid Abu Zayd's Hermeneutics is that in social media it is necessary for users to provide good information, because this will be considered as alms. Social media users also need to respect other people's feelings when posting something. In addition, if you can not do something positive for social media, then it is better to be silent.]</span></p>


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 299
Author(s):  
Ahmad Amir Nabil ◽  
Zunaidah Mohd. Marzuki

<p>Makalah ini menyorot pemikiran hadis Muhammad Asad (1990-1992) yang dinilai progresif serta kontribusinya dalam pemahaman hadis kontemporer. Ia membincangkan pemahaman inti tentang hadis yang dirumuskan dalam karya-karyanya seperti <em>Sahih al-Bukhari The Early Years of Islam</em>; <em>Islam at The Crossroads</em> (bab “Hadis and Sunnah” dan “The Spirit of the Sunnah”); <em>This Law of Ours and Other Essays; The Road to Mecca </em>dan <em>The Message of the Qur’an</em>. Pengaruh hadis ini turut ditinjau dari artikelnya dalam jurnal <em>Arafat</em> dan makalahnya yang lain terkait tema-tema hadis dan sunnah, serta pemahaman serta tantangannya di abad modern, seperti tulisannya “Social and Cultural Realities of the Sunnah”. Bentuk kajian ini adalah bersifat deskriptif, analitis, historis dan komparatif. Kajian ini mencoba mengembangkan ide dan pemahaman hadis yang dirumuskan Asad dari perspektifnya yang modern dan membandingkannya dengan pemikiran-pemikiran sejarah yang krusial terkait prinsip hadis yang dibawakan oleh pemikir Islam yang lain. Hasil kajian ini menyimpulkan bahwa Muhammad Asad telah memberikan sumbangan yang penting dalam pemikiran hadis di abad modern dengan hasil penulisannya yang prolifik dan substantif, termasuk terjemahan dan syarahannya yang ekstensif terhadap <em>Sahih al-Bukhari</em> yang memuat komentar-komentar baru dan analisis sejarahnya yang mendalam terhadap kitab ini. Ia merumuskan pertentangan-pertentangan hukum dan istinbat-istinbat fuqaha’ dan <em>muhaddith</em> dalam tradisi syarah hadis yang kritis. Ia turut merespon pertikaian-pertikaian dasar yang dibangkitkan oleh golongan orientalis dan intelektual yang skeptis terhadap riwayat-riwayat sejarah dalam tradisi hadis.</p><p>[<strong><span lang="IN">Muhammad Asad's Progressive Thoughts on Hadith.</span></strong><span>The</span><span lang="IN"> paper analyses the ideas of hadith (prophetic tradition) as espoused by Muhammad Asad (1990-1992) and its significance in contemporary hadith thought. It studies the essential ideas he developed in his discussion of hadith as reflected in his works such as <em>Sahih al-Bukhari The Early Years of Islam</em>; <em>Islam at The Crossroads</em> (chapter “Hadith and Sunnah” and “The Spirit of the Sunnah”); <em>This Law of Ours and Other Essays, The Road to Mecca </em>and <em>The Message of the Qur’an</em>. The influence of hadith was also deeply manifested in his “journalistic monologue” <em>Arafat: A Monthly Critique of Muslim Thought, </em>a periodical he founded in 1946 in Kashmir and other works that addresses significance principles and issues of hadith and essays that incorporate rising themes in contemporary ages, such as “Social and Cultural Realities of the Sunnah”. The research was structured based on descriptive, analytical, historical and comparative method. It attempts to analyse the crucial ideas of hadith principles brought forth by Asad and compared these with other critical views set forth of classical Muslim traditionists. The study concluded that Muhammad Asad had significantly contributed to the revival and  development of hadith in the modern world with his profound translation and commentary of<em> al-Bukhari’s Sahih</em> – <em>Sahih al-Bukhari The Early Years of Islam</em> - that extensively survey the significant tradition of hadith and its intellectual and historical manifestation over centuries. He also responded to the traditional arguments by historian and orientalists who were sceptical of the historical authenticity of hadith narrative and tradition.]</span></p>


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 413
Author(s):  
Abdul Majid Khon

<p><span>Pengi</span><span lang="IN">ntegrasi</span><span>an </span><span>konsep </span><span lang="IN">pendidikan agama Islam dalam kitab </span><span>klasik kedalam kehidupan </span><span lang="IN">di dunia modern </span><span>adalah suatu persoalan yang penting</span><span lang="IN">. </span><span lang="IN">Tujuan</span><span> penulisan artikel ini adalah untuk</span><span lang="IN"> menyingkap konsepsi pendidikan Agama Islam yang terintegrasi dalam kitab </span><em><span>a</span><span lang="IN">l-Arba’în al-Nawawiyah </span></em><span lang="IN">yang masih terpendam dan menampilkan pembaharuan dalam pemahaman hadis baik secara tekstual maupun kontekstual. </span><span>Jenis penelitian ini adalah library research, dengan menelusuri Hadis-Hadis yang mengandung kata kunci <em>ta`lîm, tarbiyah, tahdzîb, </em>dan<em> ta’dîb</em> di dalam kitab tersebut, kemudian dipetakan secara tematik (<em>mawdhû`î</em>) dengan menggunakan metode penelitian kajian isi<em> (content analysis),</em> deskripsi (descriptif analysis) melalui pendekatan pemahaman tekstual dan kontekstual. Hasil penelitian ini adalah dalam kitab <em>al-Arba’în al-Nawawiyah</em> secara ekplisit menyebutkan <em>keyword</em> pendidikan</span><span lang="IN"> atau pengajaran</span><span>sebanyak 3 dari 42 hadis. Dalam kitab <em>al-Arba’în al-Nawawiyah </em>menunjukkan adanya banyak konsep pendidikan dan pengajaran yang masih eksis untuk diaplikasikan pada masa modern. Hadis tidak hanya berbicara tentang ibadah saja, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji sebagaimana asumsi mayoritas umat pada umumnya. Akan tetapi cakupannya menyeluruh dengan berbicara berbagai persoalan hidup termasuk di dalamnya tentang pendidikan. Kandungan Aspek Pendidikan dalam <em>al-Arba’în al-Nawawiyah</em> mencakup seluruh komponen pendidikan modern, yakni komponen pendidik, peserta didik, tujuan pendidikan, materi pendidikan, metode dan strategi pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan.</span></p><p><span>[<strong><span lang="IN">Integration </span><span>o</span><span lang="IN">f Education </span><span>i</span><span lang="IN">n The Book </span><span>o</span><span lang="IN">f Hadith </span><span>a</span><span lang="IN">l-Arba'in </span><span>a</span><span lang="IN">l-Nawawiyah</span></strong><span>.</span><span> <span lang="IN">The integration of the concept of Islamic religious education in classical books into life in the modern world is an important issue. The purpose of writing this article is to reveal the concept of Islamic religious education which is integrated in the book <em>al-Arba'în al-Nawawiyah</em> which is still hidden and displays a renewal in understanding hadith both textually and contextually. This type of research is library research, by tracing the Hadiths containing the keywords <em>ta`lîm</em>, <em>tarbiyah</em>, <em>tahdzîb</em>, and <em>ta'dîb</em> in the book, then mapped thematically (<em>mawdhû`î</em>) using content study research methods. Analysis</span></span><span>and</span><span lang="IN"> description through textual and contextual understanding </span><span>approaches</span><span lang="IN">. The results of this study are in the book <em>al-Arba'în al-Nawawiyah</em> explicitly mentions the keyword education or teaching as much as 3 of the 42 hadiths. </span><span>I</span><span lang="IN">n the book <em>al-Arba'în al-Nawawiyah</em> shows that there are many educational and teaching concepts that still exist to be applied in modern times. Hadith does not only talk about worship, such as prayer, zakat, fasting, and hajj as the majority of people assume. However, the scope is comprehensive by talking about various issues of life, including education. The content of the Educational</span><span> aspect </span><span lang="IN">in<em> al-Arba'în</em> <em>al-Nawawiyah</em> includes all components of modern education, namely the components of educators, students, educational goals, educational materials, educational methods and strategies, educational facilities and infrastructure.]</span></span></p>


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 435
Author(s):  
Uswatun Chasanah ◽  
Muh Amiruddin

<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-size: 10.0pt; line-height: 107%; mso-ansi-language: IN;" lang="IN">Mahabbah merupakan pangkal semua tingkatan (<em>maqam</em>) spiritual dan segenap keadaan jiwa (<em>ahwal</em>). Selainnya adalah keinginan, kerinduan, rasa takut, dan rela. Salah satu fenomena sosial sehingga dilakukannya penelitian ini adalah tingkat bunuh diri yang semakin bertambah karena krisis spiritual dan kurangnya pemahaman terhadap cinta kepada Allah (<em>mahabbah ilahiyah</em>). Artikel ini menggunakan metode <em>maudhu’i </em>dengan menggunakan pendekatan multidisipliner, yakni pendekatan historis untuk mengetahui peristiwa dan kondisi Nabi saat menyampaikan hadis, pendekatan filosofis untuk menyingkap hakikat makna hadis-hadis yang terkait, serta pendekatan sufistik untuk menggali pandangan tasawuf mengenai mahabbah ilahiyah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mencintai Allah dan Rasul-Nya, mencintai seseorang karena Allah, serti benci kepada kekufuran maka akan didapatkan manisnya iman. Tiga hal tersebut merupakan konsep <em>mahabbah ilahiyah</em> yang menjadikan Allah sebagai tujuan hidup yang diikuti dengan dengan ketaqwaan. <em>Mahabbah ilahiyah </em>ada dalam ranah pribadi seseorang jika ia mencintai Allah dengan membersihkan hati dan perbuatannya. Sedangkan dalam ranah sosial, seseorang yang mencintai Allah akan berbuat baik kepada sesame yang dibuktikan dengan sikap sosialnya yang baik dalam berinteraksi.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-bidi-font-size: 10.0pt; line-height: 107%; mso-ansi-language: IN;" lang="IN">[</span><strong><span style="font-size: 11.0pt; line-height: 107%; font-family: 'Calibri',sans-serif; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA;" lang="IN">Actualization </span><span style="font-size: 11.0pt; line-height: 107%; font-family: 'Calibri',sans-serif; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA;">o</span><span style="font-size: 11.0pt; line-height: 107%; font-family: 'Calibri',sans-serif; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA;" lang="IN">f The Sweet Hadith </span><span style="font-size: 11.0pt; line-height: 107%; font-family: 'Calibri',sans-serif; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA;">o</span><span style="font-size: 11.0pt; line-height: 107%; font-family: 'Calibri',sans-serif; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA;" lang="IN">f Faith </span><span style="font-size: 11.0pt; line-height: 107%; font-family: 'Calibri',sans-serif; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA;">i</span><span style="font-size: 11.0pt; line-height: 107%; font-family: 'Calibri',sans-serif; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA;" lang="IN">n The Concept </span><span style="font-size: 11.0pt; line-height: 107%; font-family: 'Calibri',sans-serif; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA;">o</span><span style="font-size: 11.0pt; line-height: 107%; font-family: 'Calibri',sans-serif; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA;" lang="IN">f Mahabbah </span><span style="font-size: 11.0pt; line-height: 107%; font-family: 'Calibri',sans-serif; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA;">I</span><span style="font-size: 11.0pt; line-height: 107%; font-family: 'Calibri',sans-serif; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA;" lang="IN">lahiah</span><span style="font-size: 11.0pt; line-height: 107%; font-family: 'Calibri',sans-serif; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA;">.</span></strong><em><span style="font-size: 11.0pt; line-height: 107%; font-family: 'Calibri',sans-serif; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA;" lang="IN">Mahabbah</span></em><span style="font-size: 11pt; line-height: 107%; font-family: Calibri, sans-serif;" lang="IN"> is the base of all spiritual levels (<em>maqam</em>) and all states of the soul (<em>ahwal</em>). Apart from that are desire, longing, fear, and willingness. One of the social phenomena that led to this research is the increasing suicide rate due to the spiritual crisis and lack of understanding of love for Allah (<em>mahabbah ilahiyya</em>). This article uses the <em>maudhu'i</em> method using a multidisciplinary approach, namely a historical approach to find out the events and conditions of the Prophet when he delivered hadith, a philosophical approach to reveal the nature of the meanings of the related traditions, and a Sufistic approach to explore Sufism's views on the divine mahabbah. The results of this study indicate that loving Allah and His Messenger, loving someone for the sake of Allah, as well as hating <em>kufr</em>, will get the sweetness of faith. These three things are the concept of the divine mahabbah which makes God the goal of life followed by piety. The divine mahabbah is in a person's personal realm if he loves Allah by purifying his heart and actions. Whereas in the social realm, someone who loves Allah will do good to others as evidenced by his good social attitude in interacting.]</span></p>


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 367
Author(s):  
Didin Baharuddin ◽  
Mohammad Rindu Fajar Islamy

<p><span lang="IN">Intervensi pemerintah </span><span>terhadap</span><span lang="IN"> pasar dipandang suatu kebutuhan, tujuannya adalah dalam rangka melindungi konsumen dari unsur kerugian atau kemadharatan. Namun demikian, dalam literature hadis, sebagian narasi mengindikasikan adanya larangan intervensi pemimpin dalam mengatur mekanisme penetapan harga pasar. Ditinjau dengan menggunakan pendekatan kontekstual, perkembangan tradisi, kultur, budaya, serta lahirnya kompleksitas problematika baru justru mendorong pemerintah dan para sarjana muslim untuk mereinterpretasi pemahaman baru terkait hadis tas’ir sehingga berimplikasi dalam memberikan solusi alternatif terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi yang mapan dan produktif. Tujuan studi literature ini dalam rangka melacak hadis-hadis tas’ir serta bagaimana bangunan konstruksi pemahaman para ulama dalam menafsirkan makna hadis tas’ir tersebut. Koleksi hadis tas’ir dikumpulkan dari beragam kitab-kitab turats hadis, lalu dianalisi</span><span>s</span><span lang="IN"> menggunakan metode deskriptif analitik. Temuan penelitian ini memperlihatkan bahwa tas’īr diperbolehkan oleh para ulama dengan beberapa dhowābith. Hal ini menunjukkan Kontekstualisasi pemahaman hadis sangat penting agar Islam tidak kaku terhadap perkembangan zaman. Islam menjadi responsif terhadap tantangan dan permasalahan yang muncul. Sehingga Islam menjadi <em>shalihun li kulli makan wa zaman</em>.</span></p><div><span lang="IN">[<strong><span lang="IN">The Relevance </span><span>o</span><span lang="IN">f The <em>Tas'ir</em> Hadith (Price Setting) </span><span>t</span><span lang="IN">o The Economic System </span><span>i</span><span lang="IN">n Indonesia</span></strong><span>. </span><span lang="IN">Government intervention in market policies is seen as a necessity, the aim is to protect consumers from elements of loss or harm. However, in the hadith literature, some narratives indicate that there is a prohibition on the intervention of the leader in regulating the market pricing mechanism. Judging by using a contextual approach, the development of traditions, culture, culture, and the birth of new problematic complexities actually encourage the government and Muslim scholars to reinterpret new understandings related to the tas'ir hadith so that it has implications for developing alternative solutions to established and productive economic policies. The purpose of this literature study is to trace the traditions of tas'ir and how to construct the understanding of the scholars in interpreting the meaning of the hadith of tas'ir. The collection of tas'ir hadiths was collected from various turats hadith books, then analyzed using descriptive analytic methods. The findings of this study show that tas'īr is allowed by scholars with several dhowābith. This shows the contextualization of the understanding of hadith is very important so that Islam is not rigid to the times. Islam becomes responsive to the challenges and problems that arise. So that Islam becomes shālihun li kulli makān wa zamān.]</span></span></div>


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 241
Author(s):  
Rizal Samsul Mutaqin ◽  
Zulfa Nurpadilah ◽  
Husen Zaenal Muttaqin

<p>‘Umar bin ‘Ali bin ‘Athā` bin Muqaddam merupakan seorang rawi yang dipandang telah melakukan <em>tadlīs </em>yang berat dalam meriwayat hadis-hadisnya oleh ulama <em>Jarh ta’dil</em>. Namun, riwayatnya masih dimasukan oleh Imam Bukhārī yang dikenal sangat selektif memasukan riwayat seorang rawi kedalam kitab ­<em>Shahīh-</em>nya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas seorang rawi yang dipandang daif oleh para ulama, dan menemukan alasan dimasukannya riwayat rawi tersebut dalam kitab ­<em>Shahīh</em> <em>Bukhārī </em>disertai dengan kehujjahan hadis-hadisnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah historis dan deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini difokuskan pada penerapan ilmu <em>Jarh ta’dil</em>, dengan melewati tahapan <em>orientasi, eksplorasi</em>, dan <em>analisis</em>. Hasil penelitian menunjukan bahwa Umar bin ‘Ali dipandang sebagai seorang rawi yang berada pada tingkatan <em>ta’dil</em> ketiga dan <em>Jarh </em>kedua. Adapun ke<em>tadlīs</em>annya, beliau dikelompokkan kedalam tingkatan <em>tadlīs </em>keempat, yang ditolak oleh para ulama untuk dijadikan hujjah kecuali jika diriwayatkan dengan <em>sigat sima’. </em>Didalam ­<em>Shahīh</em> <em>Bukhārī</em> ditemukan terdapat lima haris yang beliau riwayatkan dan semuanya bisa diterima diterima dikarenakan; pertama, hadis-hadisnya diriwayatkan dengan menggunakan lafaz <em>sima’</em> yang jelas. Kedua, riwayatnya hanya sebagai <em>tābi’</em> dan bukan menjadi hadis pokok; ketiga, terdapat <em>tabi’</em> yang memperkuat riwayatnya dan keempat hanya merupakan hadis <em>mauqūf</em>.</p><p>[<strong><em>Mudallis</em> Narrators in Shahih Bukhari: Study of <em>al-Jarh wa al-Ta'dil</em> on 'Umar bin 'Ali bin 'Atha' bin Muqaddam. </strong>'Umar bin 'Ali bin' Athā` bin Muqaddam is a narrator who is considered to have done tadlīs heavy in narrating his hadiths by the scholars of Jarh ta'dil. However, his narration was still included by Imam Bukhārī who was known to be very selective in inserting the narration of a narrator into his Shahīh. This study aims to determine the quality of a narrator who is considered weak by the scholars, and find the reason for the inclusion of the narrator's narration in the book of Shahīh Bukhārī is accompanied by the argumentation of his hadiths. The method used in this study is historical and descriptive analysis with a qualitative approach. This research is focused on the application of the science of Jarh ta'dil, by going through the stages of orientation, exploration, and analysis. The results show that Umar bin 'Ali is seen as a narrator who is at the level of the ta'dil thirdand the Jarh second. As fortadlīshis, he is grouped into thelevel of tadlīs fourth, which is rejected by the scholars to be used as an argument unless it is narrated with sigat sima '. InShahīh Bukhārī  found that there were five haris that he narrated and all of them were acceptable because of them; firstly, the hadiths are narrated usingword sima ' the clear; secondly, the narration is only as tābi' and not the main hadith; thirdly, there is a tabi ' which strengthens the narration; and Fourthly, it is only a hadith mauqūf.]</p>


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 325
Author(s):  
Taufik Kurahman

<p>Meskipun dianggap sebagai kitab yang paling benar setelah al-Qur'an, dan merupakan kitab hadis paling sahih, <em>Shahih al-Bukhari</em> tidaklah terlepas dari berbagai kritik. Salah satu pemikir yang masif mengkritik kitab tersebut adalah Zakaria Ouzon, dimana pemikirannya dituangkan dalam sebuah karya yang berjudul <em>Jinayah al-Bukhari</em>. Namun, adalah Marwan al-Kurdi melalui karyanya <em>Al-Jinayah ‘ala al-Bukhari</em> yang kemudian memberikan kritik balasan terhadap karya Ouzon tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pemikiran al-Kurdi dalam karyanya <em>Al-Jinayah ‘ala al-Bukhari </em>serta perbedaannya dengan Ouzon yang melakukan kritik terhadap <em>Sahih al-Bukhari</em>. Dengan menggunakan pendekatan ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam menganalisis, penelitian ini menemukan beberapa perbedaan mendasar yang menyebabkan keduanya sangat berbeda dalam memandang hadis. Pada tingkat ontologi, keduanya memiliki definisi dan pemahaman yang berbeda terhadap beberapa konsep penting dalam studi hadis. Keduanya juga berbeda pada tataran epistemologis, di mana Ouzon lebih mengutamakan rasionalitas daripada nas, yang berkebalikan dengan al-Kurdi. Sedangkan di level aksiologi, Ouzon bertujuan agar manusia menggunakan akal sehatnya untuk tidak tunduk pada teks yang dianggap sakral namun diskriminatif. Di sisi lain, kritik al-Kurdi bukan sekedar meluruskan kesalahan-kesalahan Ouzon. Lebih dari itu, dia berharap hadis tidak terus berkurang jumlahnya karena selalu menjadi bahan kritik para pemikir modern.</p><p>[<strong>The Study of <em>Al-Jin</em><em>ayah ‘ala al-Bukhari</em>: Philosophical-Critical Analysis of al-Kurdi Criticim’s on Ouzon. </strong>Although known as the most correct book after the Qur'an, and is the most valid hadith book, <em>Shahih al-Bukhari</em> is not free from criticism. One of the thinkers who is massive in criticizing the Book is Zakaria Ouzon, who writen his thoughts in a work entitled <em>Jinayah al-Bukhari</em>. And, it was Marwan al-Kurdi through his <em>al-Jinayah ‘ala al-Bukhari</em> who later gave a counter criticism of Ouzon's work. This study aims to see the thoughts of al-Kurdi in his work <em>al-Jinayah ‘ala al-Bukhari</em> and the difference with Ouzon who criticized <em>Shahih al-Bukhari.</em> By applying the ontology, epistemology, and axiology approaches in analyzing, this study found several fundamental differences that caused the two to be very different in looking at the traditions. At the level of ontology, both have different definitions and understandings of some important concepts in the study of hadith. Both are also different at the epistemological level, where Ouzon prefers rationality to naṣ, which is the opposite of al-Kurdi. And at the level of axiology, Ouzon aims that humans use their mind to not submit to religious texts, even that are sacred, but are discriminatory. On the other hand, al-Kurdi's criticism is not just correcting Ouzon's mistakes. He hopes that no more decreasing the number of hadiths because they have always been the subject of criticism by modern thinkers.]</p>


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 385
Author(s):  
Utsmanul Hakim Efendi ◽  
Shofiatun Nikmah

<p>Kajian hadis Gender telah mendapat perhatian dari berbagai ilmuwan Muslim di dunia. Di Indonesia, KH. Husein Muhammad dan Abdul Mustaqim merupakan Tokoh yang aktif menarasikan kesetaraan gender dengan merelevansikannya dengan Teks-teks Agama. Keduanya memiliki Latar belakang Pendidikan yang berbeda, sehingga mendorong peneliti untuk melakukan kajian komparasi terhadap Pemikiran keduanya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui metode pemahaman hadis perspektif gender dari keduanya. Melalui analisa komparasi, penelitian ini hendak menunjukkan perbedaan dan persamaan metode keduanya dalam memahami hadis dengan perspektif gender. Metode yang digunakan adalah metode komparasi dengan analisis Gender. Metode ini digunakan untuk melihat sejauhmana hadis dapat dipahami dan diaplikasikan dengan menggunakan analisis gender, sekaligus untuk memahami secara komprehensif perbedaan dan persamaan dari kedua tokoh. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa keduanya menggunakan prinsip-prinsip gender secara mendasar seperti kesetaran, kemanusiaan dan keadilan dalam memahami hadis. Keduanya juga menjadikan Maqashid al-Shariah sebagai basis penafsiran, dimana makna hadis harus sejalan dengan Prinsip yang terdapat dalam Maqashid al-Syariah. Namun KH. Husein Muhammad dan Abdul Mustaqim memiliki latarbelakang pendidikan akademik yang berbeda, dalam penelitian ini diketahui bahwa metode yang dipaparkan Abdul Mustaqim lebih sistematis dan metodis serta memudahkan pembaca untuk memahami langkah-langkah metodiknya dalam memahami hadis perspektif Gender.</p><p>[<strong>Understanding Hadith on Gender Perspective: A Comparative Study of KH. Husein Muhammad and Abdul Mustaqim</strong>.<strong> </strong>The study of Gender-hadith has received attention from various Muslim scientists in the world. In Indonesia, KH. Husein Muhammad and Abdul Mustaqim are figures who actively narrate gender equality by relevating it with religious texts. Both of them have different educational backgrounds, thus encouraging researchers to do a comparative study of their thought. This study aimed to determine the method of understanding the hadith from the gender perspective of both. This research aims to show the differences and similarities of two methods in understanding the hadith from a gender perspective through a comparative analysis. The method used is a comparative method with gender analysis. This method is used to see the extent to which the hadith can be understood and applied by using gender analysis, as well as to comprehensively understand the differences and similarities of the two figures. In this research, it can be concluded that both of them use basic gender principles such as equality, humanity and justice in understanding hadith. Both of them also make maqashid al-syariah as the basis for interpretation, where the meaning of hadith must be in line with the principles contained in maqasid al-shariah. However, KH. Husein Muhammad and Abdul Mustaqim have different academic educational backgrounds, in this research, it is known that the method described by Abdul Mustaqim is more systematic and methodical and makes it easier for the reader to understand his methodical steps in understanding the hadith from a gender perspective.]</p>


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document