Kapata Arkeologi
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

104
(FIVE YEARS 9)

H-INDEX

2
(FIVE YEARS 1)

Published By Badan Penelitian Dan Pengembangan Kemdikbud

2503-0876, 1858-4101

2022 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 13-20
Author(s):  
Atina Winaya ◽  
Ashar Murdihastomo

Bencana alam adalah bagian dari riwayat bangsa kita sejak masa prasejarah. Meskipun bencana alam merupakan hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, namun disadari masih kurang kesadaran dan kesiapan terhadap kondisi ini. Hal tersebut ditunjukkan dengan tingginya angka kerugian material dan non material dalam setiap kejadian bencana. Keadaan ini disebabkan oleh belum optimalnya pelaksanaan penanggulangan bencana di Indonesia, khususnya dalam mitigasi bencana. Untuk merumuskan konsepsi baru penanggulangan bencana, masyarakat saat ini harus belajar menghadapi bencana alam dari manusia di masa lalu. Nilai dan kearifan lokal masih relevan hingga saat ini karena kita hidup di nusantara yang sama. Sebagai ilmu yang mempelajari budaya manusia yang telah punah, arkeologi dapat membantu menjelaskan sejarah bencana di suatu wilayah dan dampaknya terhadap kehidupan manusia di masa lalu. Dengan menggunakan pendekatan studi kepustakaan, tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan aksi mitigasi bencana yang dilakukan oleh leluhur bangsa Indonesia sebagai acuan mitigasi bencana di zaman modern ini. Setidaknya ada dua sorotan nilai yang masih relevan. Pertama, pembinaan mental dan karakter masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, dan kedua pembangunan fisik mengenai sifat bencana di masing-masing daerah. A natural disaster is part of our nation’s journey from the prehistoric era. Even though natural disaster is an inseparable matter with Indonesian people’s lives, but there is still a lack of awareness and readiness due to this issue. The high number sees it as material and non-material losses in every disaster event. This situation is caused by non-optimally disaster management implementation in Indonesia, especially in disaster mitigation. To formulate the new conception of disaster management, modern people should learn how to deal with natural disasters from ancient people. Values and local wisdom are still relevant today since we live in the same archipelago. As a science that studies extinct human culture, archaeology can help explain the history of disasters in a region and its impact on human life in the past.  Using the literature study approach, this paper aims to describe disaster mitigation actions implemented by Indonesia’s ancestors as a reference to disaster mitigation in modern times. At least there are two highlights of values that are still relevant. First is the mental and character building of people who live in a disaster-prone area, and second is the physical development regarding the nature of disaster in each region.


2021 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 1-12
Author(s):  
Nfn Alifah ◽  
Nfn Mahirta

Penelitian di wilayah Wallacea selalu menghasilkan informasi yang menarik, salah satunya adalah mengenai peran pulau-pulau yang berada di wilayah ini dalam jalur migrasi manusia. Beberapa pulau kecil yang ada di wilayah ini merupakan pulau dengan sumber daya alam yang terbatas. Gua Here Sorot Entapa merupakan salah satu situs yang terletak di Kawasan Wallacea bagian Tenggara, yaitu di Pulau Kisar. Hasil ekskavasi yang dilakukan telah menemukan akumulasi artefak, ekofak dan fitur. Lalu bagaimana adaptasi yang dilakukan oleh manusia pada masa itu terhadap lingkungan dengan sumberdaya alam yang terbatas, merupakan hal yang akan dibahas dalam tulisan ini. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah analisis hasil ekskavasi yang dilakukan oleh Tim Penelitian gabungan UGM dan ANU serta Balai Arkeologi Maluku. Untuk mengetahui perubahan lingkungan dan pemanfaatannya akan digunakan data botani yang diperoleh secara langsung maupun studi pustaka. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Gua Here Sorot Entapa dihuni sejak sekitar 16.000 BP. Pemanfaatan sumberdaya laut merupakan subsistensi utama di samping pemanfaatan beberapa jenis tumbuhan yang secara kuantitas berbanding lurus dengan pemanfaatan sumberdaya laut. Research in the Wallacea area always produces exciting information, including the role of the islands in this region in human migration routes. Several small islands in this region are islands with limited terrestrial resources. Here Sorot Entapa cave is one of the sites located on Kisar Island, Southeast Wallacea region. The occupation of small islands presents particular challenges for human communities related to limited terrestrial resources and susceptibility to natural disasters. Then how the adaptation made by humans at that time in an environment with limited terrestrial resources is discussed in this study. This study used excavation methods to obtain data accumulation of artifacts, ecofacts, and features. Literature study and botanical data analysis were used to determine environmental changes and resource utilization. The results of this study indicate that the Here Sorot Entapa Cave has been occupied since around 16,000 BP. Marine resources were the primary subsistence along with several types of plants food in the same quantity. The function of the Here Sorot Entapa Cave may also be related to the existence of rock art that spread on Kisar Island. Eventually, Kisar Island was the main purpose of a prehistoric human in carrying out religious and artistic activities, and the Here Sorot Entapa Cave served as a temporary shelter for these activities.


2021 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 21-32
Author(s):  
Titi Surti Nastiti

Kerajaan-kerajaan masa Jawa Kuno dikenal sebagai negara agraris. Meskipun demikian tidak menjadikan kerajaan-kerajaan tersebut hanya bergerak di bidang pertanian saja, tetapi juga di bidang kemaritiman. Informasi yang menjelaskan kehidupan dan aktivitas kemaritiman pada masa Jawa Kuno didapatkan dari data arkeologis dan tekstual berupa prasasti, berita asing, dan naskah. Data tekstual yang dipakai sebagai sumber, umumnya dibagi ke dalam sumber primer dan sekunder. Sumber primer dianggap sebagai data yang lebih akurat dibandingkan dengan sumber sekunder, karena merupakan dokumen penting dan ditulis pada masanya. Data tekstual yang dianggap sebagai sumber primer adalah prasasti dan berita asing (tambo Dinasti Cina dan berita dari orang Eropa terutama Portugis), sedangkan yang dianggap sumber sekunder adalah naskah terutama karya sastra. Tujuan dari penulisan ini adalah mengungkapkan berbagai hal terkait aktivitas kemaritiman pada masa Jawa Kuno, terutama yang digambarkan dalam karya-karya sastra. Ternyata dalam karya sastra dari masa Kaḍiri-Majapahit banyak menuliskan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kemaritiman, baik jenis perahu, perahu karam, bajak laut, maupun aktivitas masyarakat pesisir. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif. Hasil dari kajian ini memperlihatkan bahwa karya-karya sastra meskipun dianggap sebagai data sekunder, namun dari tulisan karya sastra terdapat kebenaran data yang tidak didapatkan dalam data primer. The kingdoms of the Old Javanese period were known as agrarian. However, this does not make these kingdoms only engaged in agriculture but also the maritime sector. Much information that contains maritime culture and activities during the Old Javanese period was acquired from various archaeological and textual data such as ancient inscriptions, foreign records, and texts. Textual data used as sources segmented into primary and secondary sources. Primary sources are considered more accurate than secondary sources because the primary sources record many events written at that time. Textual data that are considered primary sources are ancient inscriptions and foreign evidence such as the Chinese Dynasty tambo and European records, mostly Portuguese. Meanwhile, secondary sources such as ancient manuscripts, mainly ancient literary texts. This study aims to reveal various affairs related to maritime activities in the Old Javanese period, especially those expressed and portrayed in ancient literature. By the initial study, ancient literature from the Kaḍiri-Majapahit period contains many things related to maritime culture, both types of watercraft, shipwrecks, pirates, and the activities of the people who lived in the seacoast environment. The method used in this study is descriptive analysis with a qualitative approach. This study shows not much description of the maritime culture in Old Javanese inscriptions as the primary sources. However, it figures prominently in literary texts that contained many interesting facts. Historical information about maritime affairs in the Old Javanese period can be interpreted in more detail with supplementary information from literary texts as secondary sources.


2021 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
pp. 13-26
Author(s):  
Muhammad Al Mujabuddawat ◽  
Godlief Arsthen Peseletehaha

Gambar cadas merupakan salah satu tradisi yang tertua dan paling banyak tersebar di penjuru dunia. Gambar cadas menjadi bagian dari data penting dalam mempelajari masa lalu, karena gambar cadas kemungkinan mengandung makna pada pemikiran simbolik manusia yang membuatnya. Gambar cadas di Indonesia merupakan budaya yang berlangsung berkesinambungan sejak periode awal gelombang migrasi manusia di Kepulauan Indonesia sekitar puluhan ribu tahun hingga kedatangan penutur budaya Austronesia yang membuka periode Neolitik sekitar ribuan tahun lalu. Gambar cadas di Kawasan Kepulauan Maluku Bagian Tengah pada khususnya secara umum dikenali berciri Tradisi Gambar Austronesia atau lebih dikenal dengan sebutan APT (Austronesian Painting Tradition). Penelitian ini melaporkan temuan baru gambar cadas di di Situs Tanjung Bintang, Pulau Pua, Pesisir Utara Pulau Buano. Penelitian ini menerapkan metode kualitatif dan analitis dalam mendeskripsikan objek motif gambar cadas berdasarkan kajian literatur terkait referensi-referensi yang merujuk pada kajian gambar cadas di Maluku. Penelitian ini mengenali bahwa gambar cadas di Situs Tanjung Bintang berciri Tradisi Gambar Austronesia. Kajian ini merupakan  yang pertama kali melaporkan keberadaan Situs Tanjung Bintang, gambar cadas di Pesisir Utara Pulau Buano, Kepulauan Maluku. Rock art is one of the oldest and most widespread traditions around the world. Rock art is part of essential data in studying the past because rock art has the potential to tell us something of the symbolic concerns of the people that created it. Rock art in Indonesia is a culture that has been ongoing since the early period of the wave of human migration in the Indonesian Archipelago for about tens of thousands of years until the arrival of the Austronesian speaker’s culture who opened the Neolithic period around thousands of years ago. Rock art in the Central Maluku Islands Region in particular, is generally recognized as characterized by the Austronesian Painting Tradition. This research reports new rock art findings at Tanjung Bintang Site, Pua Island, North Coast of Buano Island. This research applies qualitative and analytical methods in describing the object of rock art motifs based on a literature review related to references that refer to the study of rock art in Maluku. This research recognizes that the Tanjung Bintang Site is characterized by the Austronesian Painting Tradition. This study is the first record of the Tanjung Bintang Site rock art in the North Coast of Buano Island, Maluku.


2021 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
pp. 1-12
Author(s):  
Lucas Wattimena ◽  
Marlyn J Salhuteru ◽  
Godlief A Peseletehaha

Situs Kel Lein di Pulau Kaimear, Kepulauan Kei, adalah salah satu situs gambar cadas yang baru ditemukan. Situs ini dilaporkan pada 2018 dan dilanjutkan dengan perekaman data intensif pada tahun berikutnya. Berbagai motif seni cadas yang tersebar di sepanjang teras, dinding, dan atap ceruk gua dibagi menjadi tujuh panel. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif. Data yang dikumpulkan dari survei lapangan pada tahun 2018, ditambah data terbaru yang diperoleh pada tahun 2019. Analisis gambar cadas dibagi menjadi beberapa panel di dalam ceruk, terdiri dari tujuh panel. Penelitian ini mencatat 488 motif, yang dikelompokkan menjadi motif figur manusia atau antropomorfik, perahu, alat batu, cap tangan (negatif), jejak kaki, geometris, lingkaran, garis vertikal dan horizontal, wajah atau topeng manusia, ayam atau hewan, tempayan (tembikar), jaring ikan, matahari, bulan, dan panah. Penelitian ini menunjukkan bahwa banyak motif gambar cadas di Situs Kel Lein mengandung berbagai makna. Salah satunya adalah aktivitas manusia yang digambarkan dalam bentuk figuratif. Keragaman motif di Situs Kel Lein menempatkan situs ini pada posisi penting dalam kajian jalur migrasi manusia. Diperkirakan situs ini adalah salah satu lokasi yang cukup ramai disinggahi pada masa lalu. The Kel Lein Site in Kaimear Island, Kei Islands, is a recently discovered rock art site. This site was reported in 2018 and continued with intensive data recording the following year. Various rock art motifs scattered along the terrace, walls, and roof of the niche are divided into seven panels. The approach in this research uses descriptive qualitative. The data collected from a field survey in 2018, plus the latest data obtained in 2019. The rock art analysis is divided into several panels inside the niche, comprising seven panels. This research recorded 488 motifs, grouped into human or anthropomorphic figure, boats, stone tools, hand stencils (negative), footprints, geometric, circles, vertical and horizontal lines, human faces or masks, chickens, jars (pottery), fishing nets, sun, moon, and arrowheads. This research shows that many rock art motifs on the Kel Lein Site show various purposes. One of which is human activity depicted in a figurative form. The diversity of motifs at the Kel Lein Site places this site in a vital position in studying human migration pathways. It is estimated that this site is one of the most visited posts in the past.


2020 ◽  
Vol 16 (1) ◽  
pp. 27-40
Author(s):  
Femmy Indriany Dalimunthe ◽  
Ketut Wiradnyana

Pulau Samosir berada di tengah-tengah Danau Toba sebagai bagian dari proses geologi terkait dengan erupsi Gunung Toba. Keberadaan danau itu sendiri menjadi daya tarik sebuah objek wisata. Adanya berbagai tinggalan arkeologis berupa objek megalitik terkait dengan tradisi upacara kematian masyarakat Batak Toba yang berlangsung sejak lama. Prosesi kematian dan adat istiadat yang masih berlangsung hingga saat ini disadari menjadi sebuah atraksi wisata yang menarik minat wisatawan jika dikembangkan. Pengelolaan objek tradisi megalitik sebagai objek pariwisata di wilayah ini relatif belum maksimal, sehingga diperlukan upaya mengidentifikasi objek-objek dimaksud disertai dengan uraian informasi yang bersifat ilmiah serta membangun konsep pariwisata yang ideal. Berkenaan dengan itu wadah kubur dan objek arkeologis lainnya menjadi uraian kajian, disertai dengan konsep pengembangan pariwisata berkarakter lokal menjadi bagian dari pembahasannya. Metode dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, dan studi kepustakaan. Objek-objek arkeologi dideskripsikan lalu diinterpretasi secara induktif atas analogi dengan objek sejenis di tempat lainnya. Berdasarkan hasil pembahasan di dalam penelitian ini, dapat diperoleh kesimpulan bahwa tinggalan arkeologi di Pulau Samosir didominasi oleh wadah kubur yang merupakan tradisi megalitik. Tradisi megalitik ini erat berkaitan dengan konsepsi upacara kematian yang masih berlangsung di masyarakat Batak Toba saat ini. Keterkaitan antara objek arkeologi dengan tradisi masyarakat yang masih berlangsung dapat dikemas dalam satu ide pariwisata minat khusus objek sejarah berkarakter lokal. Pengelolaan pariwisata yang melibatkan masyarakat lokal diharapkan dapat memberikan dampak langsung baik secara ekonomi maupun merawat keberlangsungan tradisi dan objek arkeologi itu sendiri, juga memiliki potensi besar untuk berkembang menjadi atraksi wisata dalam perspektif baru di Pulau Samosir. Samosir Island is in the middle of Lake Toba as part of a geological process related to Mount Toba's eruption. The existence of the lake itself becomes an attraction for a tourist attraction. There are various archaeological remains in the form of megalithic objects related to the Toba Batak community death ceremony tradition, which has lasted a long time. The procession of death and customs, which are still ongoing today, is considered a tourist attraction that will attract tourists if developed. The management of megalithic tradition as tourism objects in this region is relatively inadequate. Efforts to identify these objects are required, accompanied by descriptions of scientific information and building an ideal tourism concept. Therefore, burial container and other archaeological objects are the study's description, accompanied by the concept of developing tourism with local character as part of the discussion. The method in this research is descriptive analysis and literature study. Archaeological objects are described and interpreted inductively. The results of this study concluded that the archaeological remains on Samosir Island are dominated by burial containers, which belong to the megalithic tradition. This megalithic tradition is closely related to the conception of death ceremonies which is still sustained in the Batak Toba community today. The relationship between archaeological objects and community traditions can be packaged into tourism ideas of ​​particular interest of local character. Tourism management that involves local communities is expected to impact economically and maintain both the traditions and archaeological objects themselves. This idea is also considered to have great potential for tourist attractions of a new perspective in Samosir Island.


2020 ◽  
Vol 15 (1) ◽  
pp. 25-34
Author(s):  
Roby Ardiwidjaja

Identitas bangsa Indonesia sekarang ini menghadapi masalah serius akibat pengaruh globalisasi yang membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa, oleh karena itu perlu upaya berkesinambungan dalam membangun dan memperkuat jati diri bangsa Indonesia. Salah satu upaya dimulai dengan melindungi dan melestarikan keragaman nilai-nilai luhur tradisi beserta warisan budaya yang masih mencerminkan ciri khas Indonesia. Adanya kesadaran dunia tentang pentingnya pelestarian situs warisan budaya semakin meningkat dari waktu ke waktu, memberi peluang pentingnya pelaksanaan pelestarian guna memperkuat ketahanan budaya bangsa Indonesia. Salah satu upaya pelestarian tersebut adalah dengan mengusulkan warisan budaya berupa situs, kompleks bangunan, dan lanskap budaya yang tersebar di wilayah Indonesia dengan keunikannya masing-masing sebagai Warisan Dunia yang memiliki nilai universal. Situs Warisan Dunia adalah aset bangsa, maka setiap orang memiliki hak dan berkewajiban memahami, mengapresiasi, dan melestarikan nilai-nilai universal, nasional maupun lokal yang terkandung di dalamnya melalui mekanisme pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan. Kajian ini merupakan hasil dari desk research dengan analisis menggunakan metode deskriptif kualitatif berdasarkan pada studi pustaka dari referensi yang relevan. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa pendekatan positif dalam pengelolaan dan pemafaatan warisan budaya adalah dengan menggunakan pendekatan pariwisata berkelanjutan melalui konsep pariwisata budaya. Pariwisata disini dimungkinkan menjadi alat untuk mengemas upaya pelestarian kawasan situs Warisan Dunia menjadi daya tarik wisata budaya. Kajian ini menghasilkan sejumlah rekomendasi yang dapat diterapkan dalam mengembangkan pariwisata berkelanjutan di kawasan situs Warisan Dunia. Today, the identity of Indonesian people faces a severe problem due to the influence of globalization, which brings significant changes in various aspects of national life; therefore, it required continuous efforts to build and strengthen the identity of the Indonesian people. We can start by protecting and preserving the diversity of the traditional noble values and cultural heritage that still reflect Indonesian characteristics. The awareness of the world about the importance of preserving cultural heritage sites is increasing over time, providing an opportunity for the importance of implementing conservation to strengthen the resilience of Indonesian culture. One of the conservation efforts is to propose cultural heritage in the form of site, building complex, and cultural landscape that spread in the territory of Indonesia with their uniqueness as World Heritage that has universal values. World Heritage site is a national asset, so everyone has the right and obligation to understand, appreciate, and preserve the universal, national, and local values contained in it through an integrated and sustainable management mechanism. This study was the result of desk research with the analysis using a qualitative descriptive method based on literature studies from relevant references. The results of this study indicate that a positive approach in the management and utilization of the world heritage is by using a sustainable tourism approach through the cultural tourism concept. Here, tourism might be a tool to package the conservation efforts of the world heritage site to become a cultural tourist attraction. This study produced some recommendations that can apply to develop sustainable tourism in the World Heritage site.


2020 ◽  
Vol 15 (1) ◽  
pp. 15-24
Author(s):  
Alqiz Lukman ◽  
Ghilman Assilmi ◽  
Ide Nada Imandiharja

Teknologi terkini, seperti fotografi digital, pemindai 3D, dan augmented reality, memberikan alternatif dalam upaya pelestarian situs warisan budaya. Fokus pembahasan dalam artikel ini adalah kelanjutan wacana tentang manfaat pelestarian berbasis digital berdasarkan penerapan pada Proyek Depok Lama. Depok adalah kota yang terletak di Provinsi Jawa Barat yang memiliki beragam jenis bangunan masa kolonial, antara lain permukiman penduduk, gereja, dan jembatan. Namun, studi terbaru menunjukkan hampir 75% bangunan kolonial telah dihancurkan sepanjang satu dasawarsa terakhir akibat aktivitas pembangunan kota dan modernisasi yang cepat. Kami membangun proyek untuk melakukan digitalisasi sejumlah objek warisan budaya di Depok untuk mencegah perusakan lebih lanjut dan membangun informasi tentang pentingnya objek bangunan kolonial kepada publik melalui media digital. Proyek ini merupakan kegiatan multidisiplin yang melibatkan arkeolog, sejarawan, pakar IT, dan masyarakat setempat dalam menciptakan database sistem interaktif mengenai bangunan cagar budaya di Depok. Empat studi dilakukan untuk mengembangkan Proyek Depok Lama, yaitu studi informasi konten, studi perspektif pengguna, konstruksi kerangka desain situs web, dan studi evaluasi. Studi pertama dilakukan untuk mengumpulkan informasi mengenai bangunan bersejarah di Depok Lama. Studi kedua dilakukan untuk menyelidiki presentasi informasi yang disukai oleh pengguna. Studi ketiga berkaitan dengan pengembangan prototipe situs web berdasarkan data dari studi sebelumnya. Studi terakhir adalah untuk mengevaluasi dan meningkatkan prototipe situs web. Hasil menunjukkan bahwa digitalisasi warisan budaya tidak hanya berguna untuk pelestarian tetapi juga mendorong keterlibatan publik dan memfasilitasi materi pengetahuan budaya. New technologies, such as digital photography, 3D scanner, and augmented reality, provide an alternative to preserve heritage sites. The focal point for this article is to continue the discourse on the advantages of digital preservation based on our work in Depok, called Depok Lama Project. Depok is a city located in West Java Province that has many colonial buildings, such as residential settlements, churches, and bridges. However, a recent study shows almost 75% of colonial buildings have been demolished over the last decade due to city development and rapid modernization. We created a project to digitize the cultural heritage in Depok to prevent further destruction and encourage the importance of the buildings to the public through digital media. This project is a multidisciplinary project that involved archaeologists, historians, IT experts, and the local community in creating an interactive system database regarding heritage buildings in Depok. Four studies were carried out to develop the Depok Lama Project, namely content information study, end-user perspective study, website design framework construction, and evaluation study. The first study was used to collect information regarding the historical buildings at the Old Depok. The second study was conducted to investigate the information presentation preferred by the end-users. The third study concerned the development of a website prototype based on data from previous studies. The final study was to evaluate and enhance the website prototype. The results show that the cultural heritage digitization is not only useful for preservation but also for public engagement and facilitate cultural learning.


2019 ◽  
Vol 15 (1) ◽  
pp. 1 ◽  
Author(s):  
Isnen Fitri ◽  
Yahaya Ahmad ◽  
Nfn Ratna

Nilai penting adalah satu-satunya alasan yang mendasari pelestarian cagar budaya. Terbukti bahwa tidak ada masyarakat yang berupaya melestarikan aset bersejarah yang tidak mengandung nilai. Sejak penerbitan Burra Charter pada tahun 1979, banyak negara mengakui pentingnya mengidentifikasi makna atau nilai penting objek warisan budaya untuk mengembangkan kebijakan dan perencanaan dalam pengelolaannya. Saat ini, asesmen nilai penting objek warisan budaya adalah bagian dari proses penetapan aset sejarah menjadi cagar budaya. Meskipun wacana konservasi cagar budaya di Kota Medan telah berkembang sejak 1980-an, tetapi asesmen nilai penting budaya masih merupakan konsep baru untuk komunitas cagar budaya Indonesia karena tidak terdapat uraian yang jelas dalam Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 tahun 2010. Berdasarkan permasalahan tersebut, perlu seperangkat kriteria yang mengandung prinsip, karakteristik, kategori, dan panduan untuk membantu menetapkan apakah aset bersejarah mengandung nilai warisan budaya atau tidak dan untuk menghasilkan penilaian yang lebih akuntabel, transparan, dan konsisten. Menetapkan daftar kriteria selayaknya menjadi wilayah para akademisi dan para ahli yang dikoordinasikan oleh pihak berwenang di daerah setempat. Namun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penetapan kriteria untuk penilaian signifikansi dapat dilakukan dengan melibatkan 33 orang masyarakat lokal melalui tiga fase pengumpulan data dan analisis antara lain survei lapangan; wawancara mendalam; pertemuan kelompok; dan kuesioner kepada 33 peserta. Akhirnya, penelitian ini menghasilkan enam kriteria untuk penilaian penetapan cagar budaya di Kota Medan yang berasal dari lima nilai: sejarah, desain atau arsitektur fisik, budaya dan spiritual, ilmiah, dan sosial.Value is the sole reason underlying heritage conservation. It is self-evident that no society makes an effort to conserve a historic asset what it does not value. Since the publication of the Burra Charter in 1979, many countries recognized the importance of identifying the cultural heritage significance or values to develop the policy and planning in heritage management. Today, the cultural significance assessment is part of the listing process of a historical asset as heritage. Although the discourse of cultural heritage conservation in Medan had evolved since the 1980s, cultural significance assessment is still a new concept for Indonesia heritage community with the absence of its description within the Indonesian Heritage Act No. 11 of 2010. For that reason, we need a set of criteria which contain principles, characteristics, categories, and guidance to help decide whether a historic asset has heritage value or not and to make the assessment results more accountable, transparent, and consistent as well. Establishing criteria for listing have traditionally been the territory of academics and experts coordinated by the authorities of the region. However, this study has shown that establishing criteria for significance assessment could be done by involving 33 local people through three phases of data collections and analyses such as field survey; in-depth interview; group meeting; and questionnaire to the 33 participants. Finally, the research revealed six criteria for the significance assessment of cultural heritage in Medan derived from five values: history, physical design or architecture, cultural and spiritual, scientific, and social.


2018 ◽  
Vol 14 (2) ◽  
pp. 135 ◽  
Author(s):  
Adhi Agus Oktaviana ◽  
Peter Van Lape ◽  
Marlon NR Ririmasse

Gambar cadas di Indonesia mulai diteliti sejak sebelum abad 20. Sejumlah publikasi ilmiah sebelumnya mencatat keberadaan situs gambar cadas di Pulau Seram, Provinsi Maluku yaitu di tebing Sawai dan Sungai Tala. Survei arkeologi terkini di kawasan Seram Timur dan Seram Laut yang dilakukan oleh gabungan Tim Peneliti Indonesian-American berhasil menemukan Situs gambar cadas baru di pesisir Seram Timur. gambar cadas ini terlukiskan di permukaan dinding tebing bernama lokal tebing Watu Sika. Gambar cadas di Situs Watu Sika tampak mirip dengan sejumlah situs gambar cadas lainnya di Indonesia Timur yang sebagian besar terlukis di dinding tebing karst sepanjang wilayah pesisir. Penelitian ini menggunakan metode perekaman verbal dan piktorial dibantu aplikasi Dstretch untuk memperjelas gambar-gambar agar mudah diidentifikasi. Penelitian ini menganalisis sejumlah pola figuratif dan non figuratif pada motif-motif gambar cadas di Situs Watu Sika. Hasil identifikasi terhadap sejumlah motif gambar cadas di situs ini diketahui terdapat motif gambar cadas berbentuk figur manusia, hewan, ikan, perahu, hand stencils negatif, dan pola geometris. Penelitian ini juga membahas analisis latar belakang konteks sosial terhadap tradisi gambar cadas di wilayah sekitarnya, yaitu wilayah Laut Banda. Berdasarkan jaringan persebaran temuan gambar cadas di Indonesia Timur, maka menghasilkan pengetahuan baru bahwa analisis data sementara ini menunjukkan Situs Watu Sika merupakan kunci penghubung jalur persebaran gambar cadas yang berasal dari wilayah barat ke dua jalur, pertama jalur ke arah Timur Laut, yaitu wilayah Papua dan Jalur ke Selatan, yaitu ke arah Kepulauan di sekitar Laut Banda.Rock art in Indonesia has been investigated before the 20th century. A number of previous scientific publications noted the existence of rock art sites on Seram Island, Maluku Province, which was on the cliff of Sawai and Tala River. Recent archaeological surveys in the area of East Seram and Seram Laut conducted by a joint Indonesian-American Research Team discovered a new rock art site in the coast of East Seram. The rock art is painted on the cliff wall which is called by the locals as Watu Sika. Rock art on the Watu Sika Site is similar to a number of rock art at other sites in Eastern Indonesia which were mostly painted on karstic cliffs along the coast. This study used verbal and pictorial recording methods using the Dstretch application to clarify images to support identification. This study analyzed a number of figurative and non-figurative patterns of rock art motifs at Watu Sika Site. The results of the identification of a number of rock art motifs on this site show that there are several patterns including figures of human, animal, fish, boats, negative hand stencils, and geometric patterns. This study also discussed an analysis of the social context background of rock art tradition in the surrounding region, particularly at the Banda Sea region. Based on the distribution network of rock art findings in eastern Indonesia, new insights are generated that this interim data analysis show that Watu Sika Site is the key to connecting the distribution path of rock art originating from the western region into two lanes. The first lane to the Northeast, which is the Papua region and South Lane, expanding towards the Islands around the Banda Sea.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document