UNIFIKASI Jurnal Ilmu Hukum
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

88
(FIVE YEARS 36)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 1)

Published By University Of Kuningan

2580-7382, 2354-5976

2020 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 126 ◽  
Author(s):  
Fradhana Putra Disantara

This study aims to analyze the relevance of the �health emergency� status to the existing legal theory and condition as well as to identify the validity of the Circular Letter of the Rector of State Universities. To this end, this study applied the statute and conceptual approach. The study was conducted by inventorying primary and secondary legal materials to obtain a proper and critical review of the legal issues under study. The results showed that the determination of the �health emergency� status by the government was inappropriate due to the uncertainty of the regulations issued by the government to determine the current condition. Thus, the status of the COVID-19 pandemic is a �legal emergency� status. Further, the Rector�s policy through the Circular Letter is valid judicially, sociologically, and philosophically. The determination of the �legal emergency� status can be done by issuing a Perppu without a �state of emergency� from the President. Finally, it is suggested to firstly get an approval from the Ministry of Education and Culture regarding the issuance of the Rector�s Circular Letter. Besides, further study is needed as this study was conducted during the COVID-19 pandemic.�Keabsahan Surat Edaran Rektor Perguruan Tinggi dalam Pandemi Covid-19Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa relevansi status �darurat kesehatan� dengan teori hukum dan kondisi yang ada dan keabsahan atas Surat Edaran Rektor Perguruan Tinggi Negeri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah statute approach dan conseptual approach. Penelitian dilakukan dengan menginventarisasi bahan hukum primer dan sekunder, guna mendapatkan kajian yang seyogianya dan telaah kritis terkait isu hukum. Hasil penelitian menyatakan penetapan status darurat kesehatan oleh pemerintah kurang tepat, dikarenakan tidak menentu-nya peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menetapkan kondisi saat ini. Sehingga, status pandemi COVID-19 merupakan status darurat hukum. Kebijakan rektor melalui Surat Edaran adalah absah secara aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis. Penetapan darurat hukum cukup dilakukan dengan menerbitkan Perppu tanpa pernyataan darurat dari Presiden. Saran peneliti adalah di perlukan persetujuan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait terbitnya Surat Edaran Rektor, dan dibutuhkan penelitian lebih lanjut dikarenakan penelitian ini dilakukan pada masa COVID-19 yang bersifat temporal.�


2020 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 117
Author(s):  
Radhali Radhali ◽  
Wahyu Ramadhani

This study aims to identify the legal analysis of the burning of a Sector Police Office by the community from a criminological perspective as well as to analyze the level of community trust in police after the burning of the Sector Police Office based on criminological theories. This descriptive-analytical study applied a normative juridical approach. The results of the legal analysis of the burning of a Sector Police Office by the community from a criminological perspective showed that, according to the anomic theory, the burning is due to the influence of social structure as a correlative factor in the burning of the Sector Police Office of Bendahara. This influence can be seen from the disparity between the goals to be achieved and the means used in achieving these goals. Hence, the community took steps to burn down the Sector Police Office to achieve its goals. Further, the level of community trust in police after the burning of the Sector Police Office was demonstrated through association theory, social control theory, and neutralization theory. Based on the description of the criminological theories and its relation to the phenomenon of the burning of the Sector Police Office of Bendahara, there needs to be an evaluation of the application of the law as the harmonization of the law in the context of criminal provisions is needed.�Pembakaran Kepolisian Sektor oleh Masyarakat dalam Perspektif Kriminologi�Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui analisis hukum terhadap pembakaran Kepolisian Sektor oleh masyarakat dalam perspektif kriminologi, untuk mengetahui kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian pasca pembakaran Kepolisian Sektor menurut teori-teori kriminologi. Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah penelitian bersifat deskriptif-analitis dengan pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian dari analisis hukum terhadap pembakaran Kepolisian Sektor oleh masyarakat dalam kriminologi bahwa menurut teori anomi menekankan pengaruh struktur sosial sebagai faktor korelatif terjadinya pembakaran Kepolisian Sektor Bendahara. Pengaruh ini terlihat dari adanya disparitas antara tujuan yang hendak dicapai dengan sarana yang digunakan dalam mencapai tujuan tersebut. Hal ini akhirnya mengambil langkah-langkah pembakaran Kepolisian Sektor Bendahara untuk mencapai tujuannya. Selanjutnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian pasca pembakaran Kepolisian Sektor menunjukkan melalui teori asosiasi; teori kontrol social dan teori netralisasi. Berdasarkan uraian teori-teori kriminologi tersebut dihubungkan fenomena pembakaran Kepolisian Sektor Bendahara saat ini sangatlah dibutuhkan sebagai evaluasi terhadap penerapan hukum sehingga diperlukan harmonisasi hukum dalam konteks ketentuan pidana


2020 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 79
Author(s):  
Enny Agustina

The doctor and patient relationship is a pattern that is born among the doctor and the patient before continuing to the act of health care. And health services, is a concept used in providing health services to the community. Health services is a sub-system of health services whose main purpose is health services in terms of Preventive (preventive), Promotive (improving health,) Curative (healing health) and Rehabilitative (recovery) are all efforts mobilized by the government in improving the quality of health services prime and in accordance with standard operating procedures and health service standards. This study uses a method of approach to the community so that the public knows in more detail about the juridical analysis of the legal relationship among doctors and patients in health services. The results of this study are in terms of the legal aspects of health, the relationship among doctors and patients cannot decide what is called health services by doctors who have a direct role in improving tasks for the community in order to realize a good and quality society.�Analisis Yuridis Hubungan Hukum Antara Dokter Dan Pasien Dalam Layanan Kesehatan�Hubungan dokter dan pasien merupakan pola yang lahir antara dokter dan pasien sebelum berlanjut pada tindakan pelayanan kesehatan. Dan pelayanan kesehatan,merupakan sebuah konsep yang digunakan dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. Pelayanan kesehatan adalah sebuah sub sistem pelayanan kesehatan yang ditujuan utamanya adalah pelayanan kesehatan dalam hal Preventif (pencegahan), Promotif (peningkatan kesehatan,) Kuratif (penyembuhan kesehatan) dan Rehabilitatif (pemulihan) merupakan segala upaya yang dikerahkan oleh pemerintah dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang prima dan sesuai dengan standar prosedur dan standar operasional prosedur pelayanan kesehatan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kepada masyarakat sehingga masyarakat tahu lebih detail tentang analisis yuridis hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam peyanan kesehatan. Hasil penelitian ini yaitu Dalam hal aspek hukum kesehatan, hubungan antara dokter dan pasien tidak dapat memutuskan apa yang disebut layanan kesehatan oleh dokter yang memiliki peran langsung dalam tugas-tugas perbaikan untuk masyarakat dalam rangka mewujudkan masyarakat yang baik dan berkualitas.


2020 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 96
Author(s):  
Enggartiasto Adipradana ◽  
Suwari Akhmaddhian ◽  
Diding Rahmat ◽  
Yunusrul Zen

The purpose of this study is to find out the regulations of rehabilitation for victims of narcotics abuse carried out by rehabilitation institutions as well as to analyze the role of Rehabilitation Institution in handling victims of narcotics abuse in Kuningan District. This study employed an evaluative method of analysis which is a method of collecting and presenting data to analyze actual situation and then rational analysis was carried out based on juridical references through library research and field research. The results indicated that the rehabilitation is regulated in Law No. 35 of 2009 concerning Narcotics, Government Regulation No. 25 of 2011 concerning Implementation of Mandatory Self-Reporting of Narcotics Addicts, Regulation of the Minister of Social Affairs of the Republic of Indonesia No. 08 of 2014 concerning Guidelines for Social Rehabilitation of Narcotics Addicts and Victims of Narcotics Abuse Confronting the Law in Social Rehabilitation Institutions, and Regulation of the Minister of Social Affairs of the Republic of Indonesia No. 03 of 2012 concerning the Standard of Social Rehabilitation Institutions for Victims of Narcotics, Psychotropic, and other Addictive Substances. Meanwhile, the role of rehabilitation institution, such as Mandatory Report Recipient Institution (IPWL), is to carry out social rehabilitation programs for victims of narcotics abuse by applying therapeutic community and counseling methods.�Peran Lembaga Pemerintah dalam Rehabilitasi Penanganan Korban Penyalahgunaan NarkotikaTujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan rehabilitasi bagi para korban penyalahgunaan narkotika� oleh lembaga rehabilitasi dan untuk menganalisis bagaimana peran Lembaga Rehabilitasi dalam penanganan korban penyalahgunaan Narkotika di Kabupaten Kuningan. Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam pembahasan penelitian ini adalah metode evaluatif analisis, yaitu suatu metode mengumpulkan dan menyajikan data yang diperoleh untuk menganalisis keadaan yang sebenarnya dan selanjutnya dilakukan analisa rasional berdasarkan acuan yuridis melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.� Hasil penelitian yaitu bahwa pengaturan mengenai rehabiliasu diatur dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2014 Tentang Pedoman Rehabilitasi Sosial Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Yang Berhadapan Dengan Hukum Di Dalam Lembaga Rehabilitasi Sosial, Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2012 Tentang Standar Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, Dan Zat Adiktif Lainnya. Peran lembaga rehabilitasi sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) adalah melaksanakan program rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika dengan menggunakan metode terapi komunitas, dan konseling.


2020 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 88
Author(s):  
Putri Maha Dewi

This study aims to support the implementation of national development in Indonesian banking sector which is active in increasing the distribution of development and economic growth in order to improve people�s welfare. One of the financial services provided by banking sector is loan. Hence, the existence of business risk management of banks aims to maintain the credibility of banks so that people can continue to trust on the existence of a banking institution and credit insurance. This study applied a juridical normative research method which is a method used to seek truth from a legal prescriptions written in the books of law. The results showed that, in the legal perspective of business, the financial services provided by banks in the form of credit are done by using credit agreements and are protected by credit insurance as an effort to overcome bad credit risk. Currently, the legal perspective of business views the importance of applying a precautionary principle in credit agreements by formulating operational standards of banking management to avoid bad credit risks. The insurance offered by banks is credit life insurance which functions to cover the debtor�s remaining credit if the debtor dies before paying off his credit. Credit insurance is an alternative used to overcome bad credit risk. The conclusion is that banking institutions apply their standard procedures in providing credit to debtors to avoid legal disputes or other business risks. In addition, each bank institution must apply the precautionary principle in order to achieve its goals effectively and to guarantee legal fairness and certainty in credit between the debtor and the banking institution.��Asuransi Kredit Sebagai Upaya Optimalisasi Mengatasi Resiko Kredit Macet Dalam Perekonomian Perbankan Moderen Era Revolusi Industri 4.0 Di Indonesia�Tujuan penelitian disini adalah untuk menunjang suatu pelaksanaan pembangunan nasional dibidang perbankan Indonesia yang aktif dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan�� hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak untuk stabilitas nasional. Bidang jasa keuangan Perbankan bergerak salah satunya adalah pemberian kredit. Selain itu dengan adanya manajemen risiko bisnis daari lembaga perbankan menjadikan lebih menjaga tingkat bank yang sehat agar masyarakat tetap percaya akan adanya suatu lembaga perbankan dan juga asuransi dalam kredit. Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif yaitu dimana yang dicari pembuktian kebenaran dari suatu preskripsi-preskripsi hukum yang tertulis di dalam kitab-kitab undang-undang. Hasil penelitian ini yaitu mengenai pemberian kredit diberikan kepada lembaga perbankan dalam pandangan perspektif hukum bisnis yaitu dengan menggunakan perjanjian kredit dan asuransi dalam kredit sebagai mengatasi adanya risiko agar tidak terjadi kredit bermasalah yang akan bisa mengakibatkan tingkat kesehatan suatu bank menurun dan serta disini sebagai penerapan manajemen risiko bisnis di lembaga perbankan. Perspektif hukum bisnis meninjau saat ini dengan menerapkan suatu prinsip dalam perjanjian perbankan kehati-hatian bank untuk kredit dengan membuat standar operasional manajemen perbankan sehingga bank terhindar dari risiko bisnis perbankan. Jenis asuransi yang ditawarkan perbankan adalah asuransi jiwa kredit� yang� berfungsi untuk� menutup� sisa� kredit pihak debitur� jika� debitur� tersebut meninggal� dunia� sebelum� lunas kreditnya. Asuransi kredit merupakan salah satu alternatif pihak perbankan yang digunakan dalam mengatasi suatu risiko kredit macet. Simpulan dari penelitian ini adalah lembaga perbankan dalam pemberian suatu kredit kepada debitur harus menerapkan prosedur sesuai dengan standar dari masing-masing bank sehingga tidak akan terjadi masalah hukum atau risiko bisnis lainnya selain itu penerapan prinsip perbankan dalam asas kehati-hatian harus selalu diterapkan,sehingga memenuhi tujuan dari hukum tersebut dapat berjalan efektif dan bermanfaat serta terjaminnya keadilan dan kepastian hukum dalam pengkreditan antara debitur dan pihak Perbankan.


2020 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 110
Author(s):  
Herwin Sulistyowati ◽  
Sri Endah Wahyuningsih ◽  
Eko Soponyono

Today�s digital era, which is inseparable from the rise in online transactions, makes e-contract a trending issue to discuss. E-mail account hacking, targeted by various crimes in business world, is used as a way for those who use e-contracts as a loophole in carrying out cybercrimes. Hence, laws are needed to protect both business actors and consumers in this digital era. This study aims to find out the legal analysis of crimes in contracts validity in the digital era. This descriptive analytic study applied doctrinaire approach. Meanwhile, the type of the study itself was normative juridical. Secondary legal material both in the form of regulations and legal theories were used in this study. The regulations on Electronic Information and Transactions used were Law No. 11 of 2008, Government Regulation on The Implementation of Electronic System and Transaction No. 82 of 2012, Law No. 2 of 2014 on Notary Position, the Indonesian Civil Code, HIR (Herzein Inlandsh Reglement), and Rbg (Rechtriglement voor dee buitengewesten). The results showed that the validity of e-contract is regulated in Article 1 paragraph 17 of Law No. 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions stating that electronic contract is an agreement of parties entered by means of electronic systems. In Indonesia, an explanation of the legal basis of electronic contract has not yet been formally regulated in e-contract Law. All agreements made are still based on the basic legal rules of agreement, namely the Indonesian Civil Code and Book IV Bulgelijk Weatbook (BW), which are also used as guidance when there is a dispute in the validity of contract. Finally, the legal implication is that the crimes in contracts validity in the digital era have not been matched by the readiness of law enforcement officials.Analisa Hukum tentang Kejahatan dalam Keabsahan Kontrak di Era DigitalMemasuki Era digital yang tidak lepas dari maraknya transaksi yang dilakukan dengan online menjadi bagian dari pembuatan e-kontrak yang menjadi tranding saat ini. Pembobolan akun email yang menjadi sasaran dalam aksi kejahatan di berbagai dunia bisnis menjadi tujuan bagi mereka yang menggunakan e-kontrak sebagai celah dalam melakukan kegiatan jahat ini. Hukum diperlukan dalam hal memberi perlindungan untuk kenyamanan para pelaku usaha dan konsumen dalam era digital. Tujuan penelitian ini adalah uintuk mengetahui analisis hokum tentang kejahatan dalam keabsahan kontrak di era digital. Penelitian ini bersifat deskripsi analitis . Jenis penelitian adalah yuridis normative, pendekatan doktriner yang mempelajari aturan hokum, bahan hokum sekunder, baik berupa peraturan- peraturan maupun teori- teori hokum. Dalam penelitian adalah peraturan tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu Undang- Undang Nomor 11 tahun 2008, Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaran Sistem dan Transaksi Elektronik Nomor 82 tahun 2012, Undang- undang Jabatan Notaris nomor 2 tahun 2014, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, HIR (Herzein Inlandsh Reglement) dan Rbg (Rechtriglement voor dee buitengewesten). Hasil penelitian dan pembahasan bahwa kejahatan keabsahan hukum� kontrak dalam penggunaan digital elektronik diatur dalam Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yaitu Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 Pasal 1 angka 17 bahwa segala kontrak yang dibuat dengan system elektronik adalah disebut kontrak elektronik. Di Indonesia sendiri penjelasan tentang dasar hokum yang legal tentang kontrak elektronik belum diatur secara formil Undang- undang e kontrak. Semua macam jenis perjanjian yang dibuat masih berdasarkan pada aturan hokum dasar perjanjian yaitu Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan Buku IV Bulgelijk Weatbook (BW) menjadi pedoman ketika terjadi sengketa dalam beban pembuktian kontrak dan penyelesaiann. Implikasi hokum yang banyak terjadi adalah kejahatan keabsahan dalam kontrak era ditigal belum diimbangi dengan kesiapan aparat penegak hukum.


2020 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 70
Author(s):  
Muhammad Andri ◽  
Mahmutarom HR ◽  
Ahmad Khisni

Marriage is intended to meet the needs of instincts and the instruction of religion. Hence, in order to carry out this worship, mental readiness is required. Yet, in Islam, there are no provisions on the ideal age of marriage. This study aims to analyse the ideal age of marriage in Indonesia based on the provisions of the Law and to identify the deviation of the provisions of marriage age. As results, it was revealed that the law sets the legal age of marriage at 19 years old as regulated in Article 7 paragraph (1) of Law No. 1 of 1974 in conjunction with Law No. 16 of 2019 concerning Marriage. Meanwhile, if there is a violation that deviates from the provisions stated in this Law, the guardian�s parents can submit an application on marriage dispensation (diskah) to the local court in order to be able to hold a marriage. This new provision has an implication for the effort to build a harmonious and ideal family as there is no discrimination on age limit between women and men which is also a form of gender equality.�Idealitas Usia Pernikahan sebagai upaya Membangun Keluarga yang Ideal�Perkawinan terbentuk melalui rasa untuk memenuhi kebutuhan nalurinya, dan juga untuk memenuhi petunjuk agamanya, maka dalam rangka untuk menjalankan ibadah tersebut diperlukan kesiapan mental baik jiwa dan raganya, akan tetapi dalam islam tidak terdapat ketentuan yang mensyaratkan idealnya usia menikah. Tujuan penelitian ini yaitu menanalisis bagaimana idealitas usia melaksanakan pernikahan di Indonesia sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan bagaimana menganalisis implementasi terhadap Penyimpangan ketentuan usia nikah. Penelitian yuridis normatif, dengan spesifikasi mengkaji implementasi kaidah-kaidah dan juga norma-norma yang terdapat dalam hukum positif, yang bersifat deskriptif. Hasil penelitian ditemukan bahwa undang-undang mensyaratkan kedua mempelai harus berumur 19 tahun sesuai dengan ketentuan pasal 7 (1) Undang-undang� Nomor� 1 Tahun 1974 jo Undang-undang� Nomor� 16 Tahun 2019 tentang perkawinan. Dan apabila terdapat pelanggaran yang menyimpang terhadap ketentuan yang ada pada pasal tersebut maka orang tua wali dapat mengajukan permohonan dispensasi nikah (diskah) kepada pengadilan setempat agar dapat melangsungkan pernikahan, dengan adanya ketentuan baru ini berimplikasi pada upaya membangun keluarga yang harmonis dan ideal bagi masyarakat karena tidak ada diskriminasi batas usia antara perempuan dan usia laki-laki serta hal ini merupakan bentuk kesamaan gender.


2020 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 42
Author(s):  
Suparto Suparto ◽  
Dedy Gusniawan

This study aims to find out the considerations of the Constitutional Court Judge in issuing Constitutional Court Decision No. 36/PUU-XV/2017 as well as to identify the implications of the Decision on the Independence of Corruption Eradication Commission. The method used in this study was normative juridical method. The data collected through library research were then analyzed analytic-descriptive. The formulations of the problem are; 1) What are the considerations of the Constitutional Court Judge in issuing Constitutional Court Decision No. 36/PUU-XV/2017 against judicial review of Law No. 17 of 2017 concerning MD3? and 2) What are the implications of the Constitutional Court Decision No. 36/PUU-XV/2017 against judicial review of Law No. 17 of 2017 concerning MD3 on the independence of Corruption Eradication Commission? As results, it was found that; 1) in Constitutional Court Decision No. 36/PUU-XV/2017, the Constitutional Court states that the inquiry right owned by the House of Representatives over the Corruption Eradication Commission is constitutional as long as it does not relate to the authority of investigation and prosecution owned by the Corruption Eradication Commission with the consideration that the Corruption Eradication Commission is a state institution that includes to the realm of executives; and 2) The House of Representatives will give a strong influence on the Corruption Eradication Commission even though the inquiry right owned by the House of Representatives cannot touch the authority of the Corruption Eradication Commission in conducting investigations and prosecutions. However, there is an indication that the effort to provide inquiry right is not a legal effort but rather a political effort which is widely applied in countries adhering to a parliamentary system where the parliament tends to be more dominant than the executive. Hence, it can be concluded that; 1) in this Decision, the Constitutional Court Judge did not use a stronger grammatical and systematic interpretation based on the original intense. Besides, this Decision is ambiguous and potentially contradicts with the previous Decision, namely Constitutional Court Decision No.012-016-019/PUU-IV/2006; and 2)� there will be consequences for the Corruption Eradication Commission in the future, especially in terms of independence, since it can be used as an object of inquiry right by the House of Representatives.�Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/Puu-Xv/2017 Terhadap Independensi Komisi Pemberantasan KorupsiTujuan dari pennelitian ini adalah untuk mengetahui pertimbangan Hakim Konstitusi dalam memutus perkara No. 36/PUU-XV/2017 dan Implikasi dari putusan tersebut terhadap Independensi Komisi Pemberantasan Korupsi. Metode penelitian yang digunakan yaitu� hukum normatif dengan cara studikepustakaan,data yang digunakan� adalah data sekunder dananalisis data dilakukan secara deskriptis analitis. Rumusan masalahnya� adalah (1). Bagaimanakah pertimbangan Hakim� Konstitusi dalam memutus perkara No. 36/PUU-XV/2017 terhadap pengujian UU No. 17 Tahun 2017 Tentang MD3 dan (2). Bagaimanakah implikasi putusan Mahkamah Konstitusi� No.36/PUU-XV/2017 terhadap pengujian UU No. 17 Tahun 2017 Tentang MD3 terhadap independensi Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan penelitian diperoleh hasil (1) MK dalam putusan No. 36/PUU-XV/2017 menyatakan� bahwa kewenangan hak angket yang dilakukan� Dewan Perwakilan Rakyat� terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi adalah konstitusional sepanjang tidak menyangkut kewenangan penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan pertimbangan� Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang termasuk ranah eksekutif. (2). Pengaruh tekanan yang diberikan Dewan Perwakilan Rakyat� kepada Komisi Pemberantasan Korupsi akan amat kuat walaupun hak angket tersebut tidak dapat menyentuh kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan. Namun ada indikasi bahwa upaya angket pada dasarnya bukanlah upaya hukum melainkan upaya yang bersifat politis yang banyak dipraktekkan dalam negara penganut sistem parlementer yang cenderung dominan parlemen dibanding pihak eksekutif.Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1).� Dalam putusan ini Hakim Konstitusi tidak� menggunakan penafsiran gramatikal dan sistematis yang lebih kuat dengan berlandaskan pada original intens. Selain ituPutusan Mahkamah Konstitusi ini adalah ambigu dan� berpotensi bertentangan dengan putusan sebelumnya yaitu putusan� Mahkamah Konstitusi� No.012-016-019/PUU-IV/2006.(2)� Adanya konsekuensi bagi Komisi Pemberantasan Korupsi dimasa mendatang khususnya dalam hal independensi� akibatdari dapat dijadikannya objek hak angket oleh Dewan Perwakilan Rakyat


2020 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 58
Author(s):  
Fatin Hamamah ◽  
Achmad Jumeri Pamungkas ◽  
Yayan Andriyati

The number of recidivist cases found in the society shows that the prisoner guidance system in correctional institutions is still not meeting its goals, especially as mandated in Article 2 of Law No. 12 of 1995 concerning Corrections. The problem discussed in this study was: how effective imprisonment is if it is related to the prisoner guidance system in correctional institutions, especially towards recidivists, so as to reduce the number of recidivists in Class II A of Correctional Institution, Kuningan District, West Java. This study applied a descriptive analytical method and a normative juridical approach. As results, it was found that the prisoner guidance system, especially for recidivists, was not yet fully implemented so that the goals of the Penal System, held in the context of establishing correctional prisoners to become fully human, be aware of their mistakes, improve themselves, and not repeat the crimes so that they can return to the society, can actively play a role in development, and can live reasonably as good and responsible citizens, have not been fulfilled. The goals of the penal system cannot be achieved yet especially because there is no separation of blocks between recidivist and non-recidivist prisoners, lack of correctional officers who have special skills needed in the field, negative views from the society, and limited facilities and infrastructure.�Efektifitas� Pidana Penjara terhadap Residivis dihubungkan dengan Peranan Lembaga� Pemasyarakatan� dalam Sistem Pembinaan Narapidana� Perspektif� Undang Undang Pemasyarakatan� �Banyaknya kasus residivis yang terdapat dalam masyarakat, menunjukan bahwa pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan masih belum memenuhi harapan kita semua. Khususnya sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. permasalahan adalah: seberapa efektifnya penjatuhan pidana penjara jika dikaitkan dengan sistem pembinaan terpidana di lembaga pemasyarakatan khususnya terhadap residivis sehingga dapat mengurangi jumlah residivis di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kuningan Jawa Barat. Metode penelitian ini menggunakan metode Deskriptif Analitis dan pendekatan yang dilakukan adalah Yuridis Normatif, dengan teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen. Berdasarkan penelitian diperoleh hasil bahwa ternyata pembinaan terhadap narapidana khususnya residivis belum sepenuhnya dapat dilaksanakan sehingga tujuan dari Sistem Pemasyarakatan yang diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab belum terpenuhi. Khususnya yang menyangkut tentang pemisahan blok antara napi residivis dan non residivis, kurangnya petugas lembaga pemasyarakatan yang memiliki keterampilan khusus yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja, pandangan negatif dari masyarakat serta keterbatasan sarana dan prasarana.


2020 ◽  
Vol 7 (1) ◽  
pp. 35
Author(s):  
Sumarwoto Sumarwoto ◽  
Mahmutarom HR ◽  
Ahmad Khisni

Radicalism is a paradigm to make a fundamental change in accordance with the understanding of the ideology adopted and believed. In general, the government and the society believe that terrorism is a phenomenon that cannot be easily eliminated. Deradicalization program essentially comes from the assumption that radicalism is the �root� of terrorism. Therefore, a concrete action as an effort to fight against terrorism will be (more) effective through deradicalization. The essence of deradicalization is to change the understanding (re-interpretation) of the paradigm that is considered wrong and �misleading�. The prevention of terrorism through the concept of deradicalization is a proactive action and requires caution because Indonesian society is plural and vulnerable to pluralism against social conflict. Thus, its application must be equipped by knowledge and understanding of �the development and patterns of terrorism and must be guided by the applicable legislations. This descriptive-analytic study applied statute approach, conceptual approach, historical approach and philosophical approach to investigate the legal issues under study. The collected data were analyzed by using qualitative juridical analysis method and the results are then presented thoroughly, systematically and in a integrated way in order to obtain clarity of the problem. The results showed that radicalism is an extreme idea to make a fundamental change based on subjective and exclusive ideological interpretations. Meanwhile, deradicalization is a pattern of handling terrorism which is essentially a process of reinterpretation of �deviated� beliefs or paradigms through efforts to reassure radical groups not to use violence (terror) as well as to create a sterile environment from radical movements which are �the root� of the growth of terrorism in Indonesia.�Konsep Deradikalisasi dalam upaya Pencegahan Aksi Terorisme di Indonesia�Radikalisme merupakan paradigma untuk melakukan suatu perubahan fundamental sesuai dengan pemahaman ideologi yang dianut dan diyakini . Pemerintah dan masyarakat pada umumnya meyakini bahwa (aksi) terorisme merupakan fenomena yang tidak mudah dihilangkan begitu saja. Program deradikalisasi hakikatnya berangkat dari asumsi bahwa radikalisme merupakan �akar� dari aksi-aksi terorisme. Oleh karenanya, bentu konkrit sebagai upaya memerangi terorisme akan (lebih) efektif melalui deradikalisasi. Esensinya adalah merubah pemahaman (re �interpretasi) atas paradigma yang dianggap keliru dan sesat �menyesatkan�. �Pencegahan terorisme dengan konsep deradikalisasi adalah tindakan proaktif serta membutuhkan kehati-hatian karena masyarakat Indonesia yang plural dan rentan kemajemukan terhadap konflik sosial. Upaya pemecahan masalah dalam deradikalisasi antara lain harus mengetahui dan memahami perkembangan dan pola tindak pidana terorisme sebagai bentuk penanggulangan� terorisme serta harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang ada. Penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis dengan metode pendekatan yang digunakan yang digunakan untuk menjawab isu hukum dalam kajian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan historis serta pendekatan filosofis. Analisis data menggunakan metode analisis yuridis kualitatif, kemudian menyusun� secara menyeluruh, sistematis dan terintegrasi demi memperoleh kejelasan masalah. �Hasil penelitian menunjukan bahwa radikalisme merupakan gagasan ekstrim yaitu melakukan suatu perubahan secara fundamental menurut interpretasi ideologi secara subjektif dan eksklusif. Deradikalisasi merupakan pola penanganan terorisme yang hakekatnya merupakan proses re-interpretasi atas keyakinan atau paradigma �menyimpang� melalui upaya meyakinkan (kembali) terhadap kelompok-kelompok radikal untuk tidak menggunakan dan meninggalkan kekerasan (teror) , serta menciptakan lingkungan yang steril dari gerakan radikal yang merupakan akar penyebab tumbuhnya gerakan radikal (terorisme) di Indonesia.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document