BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

119
(FIVE YEARS 52)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 1)

Published By Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

2580-2151, 2442-6954

2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 226-245
Author(s):  
Fairuz Nabila ◽  
Mohamad Shohibuddin ◽  
Endriatmo Soetarto

Abstract: Women are one of the parties being affected by the process of land acquisition for the construction of public infrastructure. This article aims to analyse the change of women role after the implementation of land acquisition for the construction of Yogyakarta International Airport in Kulonprogo regency, Special Region of Yogyakarta. The research is carried out in Kebonrejo village, Temon district using quantitative approach supported by qualitative approach. Quantitative data are collected through a survey among 30 female respondents in the households selected by a simple random sampling and analysed through Rank Spearman test, while qualitative data are obtainded through documents review, participant observation and depth interview with key informants. The research findings demonstrate that there is a weak relationship between the participation of women throughout the implementation of land acquisition and the change of women role after the completion of land acquisition. This is due to the fact that despite there is a strong emphasize of public consultation and participation in the regulation of land acquisition, the will and power of the government is very strong and could not be influenced by the whole affected community. In addition, the process of land acquisition itself often put aside women’s specific aspiration and intereset. Consequently, a relative equal gender relation within the household during land acquisition process didn’t have any effect throughout the process and afterward. Keywords: women participation, the roles of women,  land acquisition, development of public infrastucture.   Intisari: Perempuan adalah salah satu pihak yang terimbas oleh pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur publik. Artikel ini bermaksud untuk menganalisis ,perubahan peran perempuan setelah pengadaan tanah untuk pembangunan Yogyakarta International Airport di Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian lapangan dilakukan di Kalurahan Kebonrejo, Kapanewon Temon dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung pendekatan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari survei atas 30 responden perempuan dalam rumah tangga yang dipilih secara simple random sampling dan diolah dengan uji Rank Spearman, sementara data kualitatif diperoleh melalui studi dokumen, pengamatan terlibat dan wawancara mendalam dengan para informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang lemah antara keterlibatan perempuan selama proses pengadaan tanah untuk pembangunan Yogyakarta International Airport dengan peran perempuan setelah pengadaan tanah. Ssekalipun keharusan konsultasi dan partisipasi publik sangat ditekankan dalam regulasi pengadaan tanah, namun kehendak dan kekuasaan yang kuat dari pemerintah membuat proses pengadaan tanah tidak dapat dipengaruhi oleh masyarakat terdampak secara keseluruhan. Selain itu, proses pengadaan tanah itu sendiri abai terhadap aspirasi dan kepentingan spesifik kaum perempuan. Akibatnya, relasi gender yang relatif setara di level rumah tangga selama proses pengadaan tanah tidak memiliki hubungan apa pun sepanjang proses tersebut maupun setelahnya.  Kata Kunci: keterlibatan perempuan, peran perempuan, pengadaan tanah, pembangunan infrastruktur publik.


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 149-162
Author(s):  
M Nazir Salim ◽  
Westi Utami ◽  
Diah Retno Wulan ◽  
Sukmo Pinuji ◽  
Mujiati Mujiati ◽  
...  

Abstract: The Agrarian Reform (RA) policy, especially land redistribution from the release forest areas, is considered slow. This was caused by several problems in the field, namely: leadership, institutions, regulations, and RA subjects-objects. Effective strategies to implement RA at central and regional levels has not been found, particularly on leadership and coordination between sectors at site level. This study is presented in the form of a policy forum by closely reviewing findings and solutions to RA practices in forest areas. Analysis, reduction, and interpretation of qualitative data were carried out to draw conclusions on real practices of RA at site level in the last three years. At macro level, the authors' findings confirm that the practice of RA experiences a fairly systematic problem due to the weakness of key actors controlling the implementation of RA, the ineffectiveness of the established institutions, and different interpretations of regulations impacted on the differences in understanding RA objects in the field. These findings emphasized that, resoundingly, strategic program of RA has not yet become a common agenda to be implemented in the framework of creating justice and welfare for the entitled people. Keyword: Agrarian reform policy, PPTKH, GTRA, TORA, release of forest area     Abstrak: Kebijakan Reforma Agraria (RA) khususnya redistribusi tanah dari objek pelepasan kawasan hutan dianggap lambat. Pelambatan tersebut disebabkan karena beberapa problem di lapangan, yakni: kepemimpinan, kelembagaan, regulasi, dan objek-subjek RA. Sampai saat ini, belum ditemukan cara yang efektif untuk menjalankan tata kelola RA di level pusat dan daerah, khususnya kepemimpinan dan koordinasi antarsektor di level tapak. Kajian ini dimaksudkan untuk memetakan problem dan menawarkan solusi dengan basis observasi dan studi di lapangan selama tiga tahun terakhir (2018-2020). Studi ini disajikan dalam bentuk policy forum dengan me-review secara padat temuan-temuan dan solusi atas praktik RA di kawasan hutan. Analisis, reduksi, dan tafsir atas data-data kualitatif dilakukan untuk menarik kesimpulan, bagaimana sesungguhnya praktik RA di level tapak dalam tiga tahun terakhir. Secara makro, temuan penulis mengkonfirmasi bahwa praktik RA mengalami problem yang cukup sistematis akibat lemahnya aktor-aktor kunci pemegang kendali RA, tidak efektifnya kelembagaan yang dibentuk, dan perbedaan tafsir atas regulasi yang berdampak pada perbedaan pemahaman atas objek RA di lapangan. Berbekal temuan tersebut, secara meyakinkan program strategis RA belum menjadi agenda bersama untuk dijalankan dalam kerangka menciptakan keadilan dan kesejahteraan untuk masyarakat yang berhak. Kata Kunci: Kebijakan RA, PPTKH, GTRA, TORA, Pelepasan Kawasan Hutan


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 163-180
Author(s):  
Tri Idawijayanti ◽  
Retno Widodo Dwi Pramono

Abstract: Dilemmas and conflicts frequently arise during public policy-making. For instance, those occurring between the Policy for the Protection of Sustainable Food Agricultural Land (PLP2B) and land acquisition for development in the public interest (PTPKU). The former aims to preserve agricultural land, whereas the latter ensures absolute land provision for infrastructure and facility development in the public interest. The purpose of this study is to describe the policy conflicts that exist between the PLP2B policy and the PTPKU policy. A qualitative approach is used to conduct this research with a case study design using content analysis. Apart from documents, data triangulation is also conducted through interviews with multiple parties involved in decision-making and through observation and documentation of field conditions. Although both are in the public interest, the study's findings indicate that conservation is inferior to infrastructure development. The process of nullifying conservation implementation goes through a series of steps that emerge at each stage of land acquisition justification. Key words: Boyolali-Indonesia, LP2B, Land Acquisition, Policy Conflicts, Spatial Planning   Intisari: Dilema dan konflik sering terjadi dalam pengambilan kebijakan publik. Sebagai contoh yaitu antara kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dan kebijakan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (PTPKU). Kebjiakan PLP2B bertujuan untuk mempertahankan tanah pertanian, sedangkan kebijakan PTPKU menjamin penyediaan lahan secara mutlak bagi pembangunan infrastruktur atau fasilitas bagi kepentingan publik. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan konflik pada dua contoh kebijakan di atas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan desain studi kasus menggunakan konten analisis (content analysis). Selain berdasar dokumen, dilakukan juga trianggulasi dalam penggunaan data, yaitu dengan wawancara terhadap beberapa pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan, serta observasi dan dokumentasi kondisi lapangan. Dari hasil penelitian tergambar bahwa meski sama-sama sebagai kepentingan umum, kebijakan pelestarian pertanian kalah dengan kepentingan umum pembangunan infrastruktur. Proses pembatalan ketetapan pelestarian terjadi melalui berbagai tahap yang ada pada setiap tahap justifikasi pelaksanaan pengadaan tanah. Kata Kunci: Konflik kebijakan, Tata Ruang, LP2B, Pengadaan Tanah, Boyolali-Indonesia


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 210-225
Author(s):  
Akhyar Tarfi ◽  
Ikhwan Amri

Abstract: The signing of the Helsinki Memorandum of Understanding (MoU) in 2005 marked the end of the Indonesian government's decades-long conflict with the Free Aceh Movement. One of the deals in the Helsinki MoU is to provide farming land to former combatants, amnestied political prisoners, and conflict victims as a form of reintegration and livelihood restoration. However, this activity did not run effectively for a dozen years after the peace deal due to the absence of regulations and authorities in its implementation. Based on this background, this paper examines the role of Agrarian Reform on the policy of agricultural land provision to the people related to the Aceh conflict. This research used a qualitative approach, and relied on observational data and literature review. Agrarian Reform can be an alternative strategy for post-conflict peacebuilding. The concept of asset reform and access reform offered in the Agrarian Reform can be adopted to realize the allocation of agricultural land by the mandate of the Helsinki MoU. The main problems found so far are that there is no regulation regarding the granting of land rights in the law, authority, and several obstacles in its implementation. This paper also provides a crucial lesson that proper agrarian policy contributes to the prevention of recurring conflicts that have the potential to cause national disintegration. Keywords: Agrarian Reform, Free Aceh Movement, Helsinki MoU, Land Redistribution, Peacebuilding   Intisari : Penandatanganan Momerandum of Understanding (MoU) Helsinki pada tahun 2005 menandai berakhirnya konflik pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka selama beberapa dekade. Salah satu kesepakatan di dalam MoU Helsinki adalah menyediakan tanah pertanian kepada mantan kombatan, tahanan politik yang memperoleh amnesti, dan korban konflik sebagai bentuk reintegrasi dan pemulihan penghidupan. Namun, kegiatan ini tidak berjalan secara efektif selama belasan tahun setelah perjanjian damai karena belum adanya regulasi dan kewenangan dalam pelaksanaannya. Berdasarkan latar belakang tersebut, tulisan ini mengkaji peran Reforma Agraria terhadap kebijakan penyediaan tanah pertanian untuk masyarakat yang berkaitan dengan konflik Aceh. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, serta mengandalkan data observasi dan tinjauan literatur. Reforma Agraria dapat menjadi strategi alternatif pembangunan perdamaian pasca-konflik. Konsep penataan aset dan penataan akses yang ditawarkan di dalam Reforma Agraria dapat diadopsi untuk merealisasikan alokasi tanah pertanian sesuai amanah MoU Helsinki. Permasalahan-permasalahan utama yang ditemukan selama ini adalah belum adanya pengaturan mengenai pemberian hak atas tanah tersebut di dalam peraturan perundang-undangan, kewenangan, dan sejumlah hambatan dalam pelaksanaannya. Tulisan ini juga memberikan pelajaran penting bahwa kebijakan agraria yang tepat dapat berkontribusi terhadap pencegahan konflik berulang yang dapat berpotensi menyebabkan disintegrasi bangsa. Kata Kunci: Gerakan Aceh Merdeka, MoU Helsinki, Pembangunan Perdamaian, Redistribusi Tanah, Reforma Agraria


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 181-198
Author(s):  
Gusti Nur Asla Shabia

Abstract: Community Supported Agriculture (CSA) is a model of cooperation between food producers and consumers in carrying out agriculture that has emerged in Global North’s countries. The establishment of CSA is related to the desire of a few people striving for a more equitable food system than the global and industrial food system which marginalizes the welfare of farmers. Building on the ethnographic study of the CSA Garten Coop in Freiburg, Germany, and comparing it with studies of CSA in other countries, this paper tries to explore the possibilities of how CSA can offer farmers an alternative agricultural model for the sustainability of their farm and its contribution to agrarian movement, especially in Indonesia. The results show that CSA provides this alternative through rearranging the food system with a more democratic, autonomous, and equal management of production resources, income certainty for farmers through consumer commitment and by the solidarity economy, and independence through the principles of sustainable agriculture. Therefore, CSA indirectly contributes to the agrarian movement by providing the possibility for farmers to maintain their farming business, along with their land tenure or ownership, as well as a forum for organizing farmers and consumers to raise awareness of the food system. Keywords: Agrarian Movement, Community Supported Agriculture, Solidarity Economy, Producer-Consumer Partnership. Intisari: Community Supported Agriculture (CSA) merupakan model kerjasama produsen dan konsumen pangan dalam menyelenggarakan pertanian yang banyak muncul di negara-negara Global Utara. Pendiriannya tak lepas dari keinginan segelintir orang mengupayakan sebuah sistem pangan yang lebih adil dari sistem pangan global dan industrial yang meminggirkan kesejahteraan petani. Dengan menggunakan studi etnografi pada komunitas CSA Garten Coop di Freiburg, Jerman dan membandingkan dengan studi-studi atas CSA di sejumlah negara lainnya, artikel ini disusun untuk menelusuri kemungkinan tentang bagaimana CSA dapat menawarkan model pertanian alternatif bagi petani untuk keberlanjutan usaha taninya dan kontribusinya terhadap gerakan agraria, terutama di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CSA memberikan alternatif ini lewat pengaturan ulang sistem pangan dengan manajemen sumber daya produksi yang lebih demokratis, otonom, dan setara, kepastian pendapatan bagi petani lewat komitmen konsumen dan ekonomi solidaritas, serta independensi melalui prinsip pertanian berkelanjutan. Oleh karena itu, CSA secara tidak langsung berkontribusi dalam gerakan agraria dengan memberikan kemungkinan bagi petani untuk mempertahankan usaha taninya, berikut penguasaan atau kepemilikan lahannya, sekaligus wadah pengorganisasian petani dan konsumen untuk menumbuhkan kesadaran akan sistem pangan. Kata Kunci: Community Supported Agriculture, Ekonomi Solidaritas, Gerakan Agraria, Kerjasama Produsen-Konsumen.


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 199-209
Author(s):  
Wieke Herningtyas

Abstract: Oil palm was one of profitable industrial crops. Oil palm high demand in industries encouraged new plantation field opening as oil palm plantation by means of forest conversion method. From land acquisition to oil palm plantation management, tenurial conflict often occurs. This article aimed to map some existing researches concerning conflict of palm oil companies with indigenous and surrounding forest community in Indonesia. This article uses systematic review method by using conflict-related keywords as assisting tool in filtering the data in order to acquire matching articles. Conflict of palm oil companies with indigenous people and surrounding forest community was distributed into four types. Type 1 was the conflict related to land acquisition and HGU permit. Type 2 was the conflict related to plasma plantation development and land compensation which would be used for plasma plantation. Type 3 was the conflict related to Broken Promises and Unfulfilled CSR Commitment. Type 4 was the conflict which occurred during plasma plantation management by cooperatives and companies for oil palm production (TBS and CPO). Keywords: conflict, plantation, palm oil, indigenous people, people surrounding society   Intisari : Kelapa sawit merupakan salah satu produk tanaman industri yang menguntungkan. Tingginya permintaan kelapa sawit oleh pasar industri mendorong pembukaan lahan perkebunan baru untuk perkebunan kelapa sawit melalui konversi hutan. Konversi lahan sering terjadi konflik tenurial. Artikel ini bertujuan untuk memetakan penelitian-penelitian terdahulu mengenai konflik antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat adat/masyarakat sekitar hutan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode sistematik review dengan menggunakan kata kunci sebagai alat bantu dalam proses penyaringan untuk mendapatkan artikel yang sesuai. Konflik antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat adat/masyarakat sekitar hutan dibagi menjadi empat tipe. Tipe 1 adalah konflik terkait akuisisi lahan dan perizinan HGU. Tipe 2 adalah konflik yang terjadi terkait pengembangan perkebunan plasma dan ganti rugi lahan yang akan digunakan untuk perkebunan plasma. Tipe 3 adalah konflik yang terjadi terkait janji yang tidak ditepati dan komitmen dari CSR yang tidak dipenuhi. Tipe 4 adalah konflik yang terjadi dalam pengelolaan kebun plasma oleh koperasi dan perusahaan untuk menghasilkan kelapa sawit (TBS dan CPO). Kata Kunci: kelapa sawit, konflik, masyarakat adat, masyarakat sekitar hutan perkebunan


2020 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
Author(s):  
Priyo Katon Prasetyo ◽  
Rosye Villanova Christine ◽  
Sudibyanung Sudibyanung

Abstract: Based on Law Number 2 of 2012 concerning Land Acquisition for Development in the Public Interest, the Openness Principle is one of the ten principles as the basis of the implementation of development. This principle is significant because its complex role can lead to conflicts and disputes. In this paper, discussions are divided into two parts: 1) how the implementation is expected to be applied according to the acquisition procedure in theory; and 2) the reality that occurs in the field. The first discussion was conducted by reviewing the applicable regulations and the methods or concepts of development of the openness principle. Meanwhile, the second discussion about the reality on the field was conducted by elaborating case studies regarding problems in land acquisition. The results of this study indicate that there are gaps in the implementation of the openness principle between theory and reality in regards of land scarcity, economic inequality, and information asymmetry among the involved parties. In conclusion, the implementation of the openness principle is significant with the role of information in land acquisition.Intisari: Berdasarkan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Asas Keterbukaan adalah salah satu dari sepuluh asas yang menjadi dasar pelaksanaannya. Asas ini menjadi signifikan karena perannya yang kompleks dapat menimbulkan konflik dan sengketa. Artikel ini akan membagi pembahasan menjadi dua bagian: pertama, bagaimana implementasi yang seharusnya diterapkan pada prosedur pengadaan secara harapan, dan kedua, membahas mengenai realita yang terjadi di lapangan. Secara harapan pembahasan dilakukan dengan melakukan library research atau studi terhadap peraturan yang berlaku dan metode-metode atau prinsip perkembangan dari asas keterbukaan. Realitas di lapangan akan dielaborasi dari studi kasus mengenai permasalahan dalam pengadaan tanah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan ada gap dalam implementasi asas keterbukaan antara harapan dan realitas di lapangan yang bersumber dari kelangkaan sumber daya/tanah, ketimpangan ekonomi dan asimetri informasi di antara para pihak yang terlibat. Tulisan ini menyimpulkan bahwa implementasi asas keterbukaan signifikan dengan peran informasi dalam pengadaan tanah. 


2020 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
Author(s):  
Muhammad Jibril ◽  
Arvel Mulia Pratama ◽  
Jinan Raidangi

Abstract: Land Acquisition for Development in the Public Interest in Indonesia still often causes polemic, as is still often found in various mass media. The problem in the implementation of land aquisition is because the Law of the Republic of Indonesia Number 2 of 2012 concerning Land Aquisition for Development in the Public Interest, and the Presidential Regulation that follows it, has not rigidly stipulated the basis for determining the compensation value used to determine the compensation value. This research was conducted by making a comparison between ius constitutum and in concreto events in the field. Primary data in this study were obtained byinterviewing several sources in August 2017, which can be accounted for, while the secondary data were obtained byliterature studies. Based on the research, it is known that there is injustice in determining the value of compensation to the entitled parties. Seeing this, the author tried to describe the existing problems and provide solutions tailored to the situation and conditions in land aquisition in Indonesia. This was intended to actualize the value of social justice in the aquisition of land for development in the public interest in Indonesia.Intisari: Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum di Indonesia masih sering menimbulkan polemik, sebagaimana yang masih kerap ditemui dalam berbagai media massa. Permasalahan dalam pelaksanaan pengadaan tanah disebabkan karena Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, serta Peraturan Presiden yang mengikutinya belum mengatur secara rigid tentang dasar penetapan nilai ganti kerugian yang digunakan untuk menetapkan nilai ganti kerugian. Kajian ini dilakukan dengan melakukan komparisi antara ius constitutum dengan peristiwa in concreto yang ada di lapangan. Data primer dalam kajian ini diperoleh dari hasil wawancara dari beberapa narasumber pada Agustus 2017 yang dapat dipertanggungjawabkan dan data sekunder dalam kajian ini diperoleh dari studi kepustakaan. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa terdapat ketidakadilan dalam penetapan nilai ganti kerugian terhadap pihak-pihak yang berhak. Melihat hal tersebut penulis mencoba menguraikan permasalahan yang ada dan memberikan solusi yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi dalam pengadaan tanah di Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk mengaktualisasikan nilai keadilan sosial dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum di Indonesia 


2020 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
Author(s):  
Taufiqul Mujib

Abtract: The global food regime has failed and led to a food crisis. However, food regime can transform from time to time in order to dominatethe food system globally. The current food regime is also known as the corporate food regime. In this period, capital accumulation reorganization is no longer centered in the state, but in multinational corporations. Therefore, there needs to be a framework to address the transformation in order to provide an effective alternative food system, especially for the Global South. This study elaborates on how land sovereignty initiated by La Via Campesina can be a counter-hegemony against the corporate food regime to get out of the crisis of capital accumulation through massive land investments, especially in the Global South. Moreover, this paper refers to Friedmann and McMichael’s (1989) concept about the food regime and examines such conditions by using Gramsci’s (1971) ideas on hegemony. In conclusion, the land sovereignty concept can be considered to be an effective alternative framework to deal with the hegemony of neoliberal globalism for five reasons, namely: 1) the possibility of using various property rights systems; 2) the possibility to be implemented through land reform redistribution policy with several adjustments;  3) the probability to be a common platform because the concept recognizes land not only as a resource but also as culture and as a landscape; 4) the probability to be connected with other campaigns; and 5) the probability to be connected with political work of the broader working community globally.Intisari: Rezim Korporasi Pangan telah gagal dan memicu terjadinya krisis pangan. Meskipun demikian, rezim pangan dapat bertransformasi dari waktu ke waktu untuk menghegemoni sistem pangan secara global. Rezim pangan saat ini juga juga dikenal sebagai rezim korporasi pangan. Dalam periode ini, reorganisasi akumulasi kapital tidak lagi berpusat pada negara, tetapi pada korporasi-korporasi multinasional. Oleh karena itu perlu adanya sebuah kerangka untuk menjawab transformasi tersebut sehingga mampu menawarkan sebuah sistem pangan alternatif yang efektif, khususnya bagi negara-negara Global Selatan. Kajian ini mengelaborasi bagaimana kedaulatan tanah yang diinisiasi oleh La Via Campesina dapat menjadi kontra hegemoni melawan rezim korporasi pangan untuk bisa keluar dari krisis akumulasi kapital akibat investasi-investasi tanah yang masif terutama di Global Selatan. Tulisan ini merujuk pada konsep dari Friedmann dan McMichaels (1989) mengenai rezim pangan dan mengkaji beberapa situasi dengan menggunakan ide Gramsci mengenai hegemoni. Kesimpulannya, konsep kedaulatan tanah dapat dipertimbangkan sebagai sebuah alternatif kerangka yang efektif untuk menghadapi hegemoni globalisme neoliberal untuk 5 alasan, yaitu: dimungkinkannya menggunakan berbagai sistem hak kepemilikan, kemungkinan untuk diimplementasikan melalui kebijakan land reform redistributif dengan sejumlah penyesuaian, peluang untuk menjadi platform umum karena konsep tanah tidak lagi hanya dipahami sebagai sumberdaya, tetapi sebagai budaya dan lanskap, peluang untuk menghubungkannya dengan kampanye yang lain serta kerja politik pada tataran kerja komunitas luas secara global. 


2020 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
Author(s):  
Kennedy Nasib P. Sibarani ◽  
Jamaluddin Mahasari

Abstract: Plantation Limited Company (PTPN)-II has been underway since 2002 and has been 18 years unfinished until now.  The problems faced in its settlement are not only issues of land administration but are related to various aspects. This research uses empirical methods with the description approach. The type of data used is primary and secondary data. Data collection is done by interview and a literature study with primary, secondary, and tertiary legal materials. The results of this study are to explain and give an overview of the very long process of land settlement in the ex-PTPN-II cultivation rights in North Sumatra Province. In conclusion, it is necessary to revise Decree of the Head of the National Land Agency Number 42/HGU/BPN/2002 concerning the granting of an extension of the term of the land use rights located in the Deli Serdang Regency, North Sumatra Province, Decree of the Head of the National Land Agency Number 43/HGU/BPN/2002 concerning the granting of an extension of the term of the land use rights located in the Langkat Regency, North Sumatra Province, and Decree of the Head of the National Land Agency  Number 44/HGU/BPN/2002 concerning the rejection of the application for the extension of the period of the land use rights located in the city of Binjai, North Sumatra Province, respectively dated November 29, 2002. It needs to be formulated legal consensus to accelerate the completion of ex-PTPN-II cultivation rights, and the President makes a Presidential Decree, which can be the legal basis for its resolution.Intisari: Penyelesaian masalah Hak Guna Usaha (HGU) Ex. PTPN-II telah berlangsung sejak tahun 2002 dan telah 18 tahun belum selesai hingga sekarang. Masalah yang dihadapi bukan hanya masalah administrasi pertanahan tetapi terkait dengan berbagai aspek. Penelitian ini menggunakan metode empiris dengan pendekatan deskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan studi literatur dengan materi hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian ini adalah menjelaskan dan memberikan gambaran umum dari proses penyelesaian lahan yang sangat lama terhadap HGU ex PTPN-II di Provinsi Sumatera Utara. Kesimpulannya adalah perlu untuk merevisi Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 42 / HGU / BPN / 2002, Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 43 / HGU / BPN / 2002, dan Keputusan Kepala Tanah Nasional Badan Nomor 44 / HGU / BPN / 2002. Perlu dirumuskan secara legal konsensus untuk mempercepat penyelesaian HGU ex-PTPN-II, dan diperlukan Keputusan Presiden, yang dapat menjadi dasar hukum untuk penyelesaiannya


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document