Jurnal Keperawatan Indonesia
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

517
(FIVE YEARS 121)

H-INDEX

3
(FIVE YEARS 1)

Published By "Universitas Indonesia, Directorate Of Research And Public Service"

2354-9203, 1410-4490

2021 ◽  
Vol 24 (3) ◽  
pp. 157-164
Author(s):  
Rhona Marie Caingles Noquiao

Perhaps an all-encompassing aspiration of everyone who has ever walked the earth is to have lived his/her life to the fullest. However, the life experiences of each individual are the products of the decisions they make. This study aimed to investigate the relationship of older adults in Cabulijan, Tubigon, Bohol, Philippines’ self-esteem, social provisions received from other people, and relationships with other people to the level of their life satisfaction. Specifically, it sought to address the following queries: Is there a significant relationship between self-esteem, social provisions received from other people, and relationships with other people, and relationships with other people and the level of life satisfaction of older adults? Which of the factors of self-esteem, social provisions received from other people, and relationships with other people significantly contribute to the level of life satisfactions of older adults? Fifty respondents 65 years and older comprised the participants of this research. The method used was cross-sectional explanatory design. Frequency, percentage, weighted mean, and Spearman’s rank correlation were the statistical tools applied in this study. The findings clearly indicates support for the research hypotheses advanced in this study that posited the existence of a significant relationship between social provisions received from other people and relationships with other people, respectively, tended to manifest higher life satisfaction. This implies that the research participants with higher ratings of each of the Social Provisions received from other people and Relationship to Other people tend to maintain higher Life Satisfaction whereas Self-esteem has been found out to be of no significant relationship with Life Satisfaction. Abstrak Kepuasan Hidup di Antara Lansia Filipina yang Tinggal di Wilayah Pesisir. Kehidupan yang berkualitas merupakan dambaan semua orang. Namun, kesempatan tersebut tidak dapat dirasakan oleh semua orang karena pada hakikatnya, kehidupan yang berkualitas sangat bergantung pada pilihan hidup tiap individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara self-esteem pada lansia di Cabuljan, Tubigol, Bohol, Filipina, dukungan, dan hubungan sosial terhadap tingkat kepuasan hidup pada lansia. Penelitian ini juga berfokus menjawab beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: apakah terdapat hubungan yang bermakna antara self-esteem, dukungan sosial, dan hubungan sosial serta tingkat kepuasan hidup pada lansia? Manakah di antara faktor-faktor, seperti self-esteem, dukungan, dan hubungan sosial yang sangat berpengaruh terhadap tingkat kepuasan hidup pada lansia? Sebanyak 50 responden dengan rentang umur 65 tahun ke atas bersedia untuk menjadi responden pada penelitian ini. Metode yang digunakan ialah penelitian eksplanatori dengan desain cross-sectional. Kemudian, instrumen statistika penelitian yang digunakan ialah seperti frekuensi, persentase, rata-rata tertimbang, dan Spearman’s rank correlation. Pada penelitian ini ditemukan bahwa hasil penelitian mendukung hipotesa penelitian yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna pada dukungan dan hubungan sosial dengan kepuasan hidup yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa para responden dengan dukungan dan hubungan sosial yang tinggi memiliki kepuasan hidup yang tinggi juga, namun ditemukan juga bahwa self-esteem tidak memengaruhi tingkat kepuasan hidup pada lansia.Kata Kunci: dukungan sosial, hubungan sosial, kepuasan hidup, lansia, self-esteem 


2021 ◽  
Vol 24 (3) ◽  
pp. 173-180
Author(s):  
John Emmanuel Mendoza ◽  
Edward Daniel Mortalla ◽  
Laurence Lascuna Garcia

Understanding young inmates’ experiences are essential since their lives have been shaped by the impact of social exclusion. This study aimed to explore the meaning of the lived experiences of young adults inside the prison system. The phenomenological inquiry was utilized, which is grounded in Martin Heidegger’s philosophy. Semi-structured interviews were conducted with 18 to 29-year-old inmates incarcerated for at least one year. Through interpretative phenomenological analysis, four themes emerged: An Unfamiliar Melody (with two subthemes: Humming with Frustrations and Tunes of Solitude); The Eyes Outside the Cage; Turning Over a New Feather; and If My Wings Unclipped. The “songs” of the caged bird tell about the “meanings” of restricted freedom--from being able to dip its wings in the orange sun rays down to being tied in chains. Being held inside a prison limits a person from experiencing life as they should. Opportunities to soar high were taken away. The consequences caused them the fragility of emotions: frustration, loneliness, and humiliation; yet, they still have a speck of hope. AbstrakNyanyian Burung dalam Sangkar: Sebuah Pandangan terhadap Kehidupan Remaja dalam Sistem Penjara. Memahami pengalaman narapidana berusia muda sangat penting karena kehidupan mereka yang terdampak oleh pengucilan sosial. Tujuan penelitian ini untuk mengeksplorasi makna dari pengalaman hidup orang berusia dewasa muda di dalam sistem penjara. Penelitian menggunakan pendekatan fenomenologis yang didasarkan pada filosofi Martin Heidegger. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara semi-berstruktur dengan narapidana berusia 18 hingga 29 tahun yang sudah dipenjara setidaknya selama satu tahun. Berdasarkan analisis fenomenologi interpretatif, muncul empat tema, yaitu: An Unfamiliar Melody (dengan dua subtema: Humming with Frustrations dan Tunes of Solitude); The Eyes Outside the Cage; Turning Over a New Feather; dan If My Wings Unclipped. “Nyanyian” burung dalam sangkar yang menceritakan tentang “makna” kebebasan yang terbatas—mulai dari mencelupkan sayapnya di bawah sinar matahari jingga hingga diikat dengan rantai. Kondisi dipenjara membatasi seseorang untuk menjalankan kehidupan sebagaimana mestinya. Peluang mereka untuk terbang melambung tinggi dirampas. Hal ini menyebabkan emosi mereka rapuh: frustrasi, kesepian, dan penghinaan; tetapi, mereka masih memiliki setitik harapan. Kata Kunci: fenomenologi, frustasi, narapidana dewasa muda, sistem penjara


2021 ◽  
Vol 24 (3) ◽  
pp. 140-148
Author(s):  
Arbianingsih Arbianingsih ◽  
Huriati Huriati ◽  
Nur Hidayah ◽  
Syarifah Musnayni ◽  
Nuravia Afiifah ◽  
...  

Hospitalization-induced anxiety in children can impede healing and lengthen hospitalization. As such, appropriate interventions are needed to reduce their anxiety during hospitalization. For example, brain exercise has been shown to reduce anxiety in children in diverse settings and developmental stages. This study was performed to compare the effect of brain exercise on anxiety in hospitalized school-and preschool-aged children. A pre-experimental pre/ posttest design was used, and 32 children were selected by consecutive sampling. Brain gym was given twice a day for 2 consecutive days. Data were collected from school-aged children by using a modified Zung Sel-Rating Anxiety Scale and Tailor Manifest Anxiety Scale and from preschoolers by utilizing a modified Hamilton Anxiety Rating Scale observation sheet. Wilcoxon test results showed that brain gyms were effective in reducing anxiety in school-aged children (p = 0.016) and preschoolers (p = 0.006). Movements during brain exercises could activate the neocortex and parasympathetic nerves that can ease psychic and physical tension. Therefore, brain gym can be an effective intervention to decrease anxiety in preschoolers and school-aged children. Abstrak Brain Gym Efektif Menurunkan Kecemasan Pada Anak Usia Sekolah dan Pra Sekolah di Rumah Sakit. Kecemasan akibat rawat inap pada anak dapat menghambat penyembuhan dan memperpanjang rawat inap. Dengan demikian, intervensi yang tepat diperlukan untuk mengurangi kecemasan mereka selama dirawat di rumah sakit. Misalnya, latihan otak telah terbukti mengurangi kecemasan pada anak-anak dalam berbagai pengaturan dan tahap perkembangan. Penelitian bertujuan untuk membandingkan pengaruh senam otak terhadap kecemasan pada anak usia sekolah dan prasekolah yang dirawat di rumah sakit. Penelitian menggunakan desain pre-eksperimen pre/posttest, dan 32 anak dipilih dengan sampel konsekutif. Senam otak diberikan dua kali sehari selama dua hari berturut-turut. Data yang dikumpulkan dari anak-anak usia sekolah menggunakan modifikasi Zung Sel-Rating Anxiety Scale dan Tailor Manifest Anxiety Scale, sedangkan data anak-anak prasekolah menggunakan lembar observasi modifikasi Hamilton Anxiety Rating Scale. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan bahwa senam otak efektif menurunkan kecemasan pada anak usia sekolah (p = 0,016) dan anak prasekolah (p = 0,006). Gerakan pada saat senam otak dapat mengaktifkan neokorteks dan saraf parasimpatis yang dapat meredakan ketegangan psikis dan fisik. Oleh karena itu, senam otak dapat menjadi intervensi yang efektif untuk menurunkan kecemasan pada anak prasekolah dan usia sekolah. Kata Kunci: kecemasan, prasekolah, senam otak, usia sekolah


2021 ◽  
Vol 24 (3) ◽  
pp. 131-139
Author(s):  
Eni Purwanty ◽  
Riri Maria ◽  
Masfuri Masfuri

Surgery for open reduction and internal fixation (ORIF) causes tissue swelling and pain in the surgical area. Swelling and pain can be reduced by performing distal elevation in the area of surgical ORIF. This study aimed to determine the effect of a 20° elevation on swelling and pain level of patients after surgery for ORIF of the lower extremities. A quasi-experimental design with one intervention group (pretest and posttest) and one control group was implemented. Thirty-four post-operative ORIF patients treated in one hospital in South Sumatera met the inclusion criteria and were divided into intervention and control groups. Swelling circumference was measured using tape meters, and pain level was assessed with a numeric rating scale. Dependent t-test, independent t-test, and Pearson correlation were applied for data analysis. Results showed that the average difference in swelling circumference and pain level between pre and post intervention was 1.93 ± 0.25 and 1.29 ± 0.35, respectively. Significant differences were found in the mean swelling circumference and pain level between the intervention and control groups (p = 0.000).  Therefore a 20° elevation of lower extremity on the second day after ORIF for two days can be an alternative for nursing intervention to reduce swelling and pain. AbstrakElevasi 20 Derajat untuk Menurunkan Pembengkakan dan Nyeri Pasca Bedah Open Reduction and Internal Fixation Ekstremitas Bawah. Pembedahan open reduction and internal fixation (ORIF) menyebabkan pembengkakan jaringan dan nyeri pada area pembedahan. Pembengkakan dan nyeri dapat dikurangi dengan melakukan elevasi distal pada area bedah ORIF. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh elevasi 20° terhadap tingkat pembengkakan dan nyeri pada pasien pasca operasi ORIF ekstremitas bawah. Desain kuasi-eksperimental dengan satu kelompok intervensi (pretest dan posttest) dan satu kelompok kontrol diterapkan pada penelitian ini. Tiga puluh empat pasien ORIF pasca operasi yang dirawat di salah satu rumah sakit di Sumatera Selatan memenuhi kriteria inklusi dan dibagi menjadi kelompok intervensi dan kontrol. Lingkar pembengkakan diukur menggunakan meteran pita, dan tingkat nyeri dinilai dengan skala numerik. Dependent t-test, independent t-test, dan korelasi Pearson digunakan untuk analisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata perbedaan lingkar bengkak dan tingkat nyeri antara sebelum dan sesudah intervensi masing-masing adalah 1,93 ± 0,25 dan 1,29 ± 0,35. Perbedaan bermakna ditemukan pada rerata lingkar pembengkakan dan tingkat nyeri antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p = 0,000). Oleh karena itu, elevasi 20° ekstremitas bawah pada hari kedua setelah ORIF selama dua hari dapat menjadi alternatif intervensi keperawatan untuk mengurangi pembengkakan dan nyeri.Kata Kunci: bengkak, ekstremitas bawah, elevasi, nyeri, open reduction and internal fixation


2021 ◽  
Vol 24 (3) ◽  
pp. 149-156
Author(s):  
Apriliani Siburian ◽  
Ching Fen Chang

The most prevalent diseases within the world related to major illness and mortality are chronic liver diseases. The developing pervasiveness of chronic liver disease has resulted in increased interest in health-related quality of life, which incorporates the physical well-being of a patient and his emotional and social well-being. This study aimed to define the quality of life of patients with chronic liver disease. This study used the Quality-of-Life Short Form 36 Indonesian version to examine 102 patients with chronic liver disease from two hospitals with a descriptive design. The quality of life of the patients was comparatively low (M ± SD: physical, 42.4 ± 18.33; mental, 48.44 ± 17.19). On both the physical and mental health dimensions of quality of life, the patients in this study scored less than 50 on a scale of 0 to 100, with low scores indicating the low quality of life both physically and mentally. Improving quality of life necessitates a multidisciplinary strategy that combines physical and mental health screening and management. Surrounding support will encourage adaptive coping mechanisms to manage the illness for improving quality of life. AbstrakPenyakit Hati Kronis Menurunkan Dimensi Kesehatan Fisik dan Mental. Penyakit yang paling umum di dunia yang berhubungan dengan penyakit utama dan kematian adalah penyakit hati kronis. Penyebaran penyakit hati kronis yang berkembang telah menghasilkan peningkatan minat pada kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan, yang mencakup kesejahteraan fisik pasien dan kesejahteraan emosional dan sosialnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjabarkan kualitas hidup pasien penyakit hati kronis. Penelitian ini menggunakan Quality-of-Life Short Form 36 versi Bahasa Indonesia untuk mengumpulkan data dari 102 pasien dari dua rumah sakit melalui desain deskriptif. Penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas hidup pasien relatif rendah (M ± SD: fisik, 42,4 ± 18,33; mental, 48,44 ± 17,19). Pada kedua dimensi kualitas hidup yaitu kesehatan fisik dan mental, pasien dalam penelitian ini mendapat nilai kurang dari 50 pada skala 0 hingga 100, dengan nilai rendah menunjukkan kualitas hidup rendah baik fisik maupun mental. Peningkatkan kualitas hidup pasien memerlukan strategi multidisiplin yang menggabungkan skrining dan manajemen kesehatan fisik dan mental. Dukungan lingkungan akan mendorong mekanisme koping yang adaptif untuk mengelola penyakit dalam meningkatkan kualitas hidup.Kata Kunci: Indonesia, kualitas hidup, penyakit hati kronis, sirosis


2021 ◽  
Vol 24 (3) ◽  
pp. 165-172
Author(s):  
Gitalia Putri Medea ◽  
Elly Nurachmah ◽  
Muhamad Adam

The quality of life (QOL) of post-stroke patients can be assessed from the reports of patients themselves obtained through a structured interview or a questionnaire. However, some individuals are unable to comprehensively describe their QOL because of language disorders, cognitive effects caused by stroke, or pre-existing conditions. This study aims to identify differences in post-stroke QOL perception between patients and caregivers. A cross-sectional design involving 115 stroke patients and 115 caregivers was adopted, and Mann–Whitney test was used for statistical analysis. Results showed no significant difference in QOL perception (p = 0.166; α < 0.05), particularly in the physical (p = 0.278; α < 0.05), psychological (p = 0.068; α < 0.05), social relationship (p = 0.976; α < 0.05), and environmental (p = 0.157; α < 0.05) domains between patients and caregivers. Therefore, information from caregivers can be used to assess QOL when patients are incapable of reporting their condition. AbstrakKualitas Hidup Pasca Stroke yang Dipersepsikan oleh Pasien dan Caregiver. Kualitas hidup pasien pasca stroke dapat diketahui berdasarkan laporan dari pasien stroke dengan wawancara terstruktur atau dengan pengisian kuesioner. Namun, beberapa dari pasien stroke tidak dapat menggambarkan kualitas hidup mereka karena adanya gangguan bahasa dan efek kognitif lainnya akibat stroke atau kondisi yang sudah ada sebelumnya. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi perbedaan persepsi kualitas hidup antara perspektif pasien pasca stroke dan  caregiver. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang melibatkan 115 pasien dan 115 caregiver dengan menggunakan analisis statistik Mann Whitney. Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan secara signifikan antara persepsi kualitas hidup dari pasien dan caregiver (p = 0,166 ; α < 0,05), khususnya pada domain fisik (p = 0,278; α < 0,05), psikologis (p = 0,068; α < 0,05), hubungan sosial (p = 0,976; α < 0,05), dan lingkungan (p = 0.157; α < 0,05) dari kualitas hidup yang dipersepsikan oleh pasien dan yang dipersepsikan oleh caregiver. Informasi dari caregiver dapat digunakan saat pasien tidak dapat memberikan informasi terkait kualitas hidupnya.Kata Kunci: caregiver, kualitas hidup, persepsi, stroke


2021 ◽  
Vol 24 (3) ◽  
Author(s):  
Rina Setiana
Keyword(s):  

2021 ◽  
Vol 24 (2) ◽  
pp. 110-117
Author(s):  
Astuti Yuni Nursasi ◽  
Nadya Tiara Sabila ◽  
Muhamad Jauhar

Tuberculosis (TB) is a global public health problem. Families need to meet healthcare needs during the treatment of TB sufferers. This study aims to identify healthcare needs of families caring for patients with the disease. The cross-sectional study involved 83 families caring for TB patients. The research was conducted at a Primary Healthcare Center in an urban area in West Java. The results revealed that 60.2% of caregivers were 18–40 years old, 60.2% were female, 51.8% were senior high school educated, 43.4% were housewives, 86.7% had an income under the regional minimum wage, and 55.4% had cared for the TB patients for 3–6 months. The families had healthcare needs for emotional support (mean 33.72, SD 4.16); information support (mean 33.28, SD 4.09); instrumental support (mean 32.4, SD 3.73); and appraisal support (mean 28.01, SD 5.93). The greatest support need was how to encourage clients to take treatment completely (Score: 140); TB treatment information (Score: 138); financial support for chest x-ray costs (Score: 114); and how to assess patient behavior in maintaining health (score: 133). Based on the study result, the families need to improve their ability to give appraisal support during the patient's treatment. The identification of families’ healthcare needs in caring for patients with pulmonary TB can provide primary data for developing innovative programs integrated with DOTS programs in healthcare services to improve family support.Abstrak Kebutuhan Perawatan Kesehatan Keluarga yang Merawat Pasien Tuberkulosis. Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Keluarga harus memenuhi kebutuhan perawatan kesehatan selama pengobatan pada pasien TB. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan perawatan kesehatan pada keluarga yang merawat pasien TB. Penelitian cross-sectional ini melibatkan responden sebanyak 83 keluarga yang merawat pasien TB. Penelitian ini dilaksanakan di sebuah Puskesmas di Kota Depok, Jawa Barat. Penelitian ini melaporkan sebanyak 60,2% berusia 18–40 tahun, 60,2% perempuan, 51,8% lulus sekolah menengah atas, 43,4% ibu rumah tangga, 86,7% pendapatan di bawah upah minimum regional, 55,4% merawat pasien TB selama 3–6 bulan. Keluarga memiliki kebutuhan perawatan kesehatan untuk dukungan emosional (rerata 33,72, SD 4,16), dukungan informasi (rerata 33,28, SD 4,09), dukungan instrumental (rerata 32,4, SD3,73), dukungan penghargaan (rerata 28,01, SD 5,93). Kebutuhan tertinggi yaitu bagaimana mendorong pasien melakukan pengobatan secara tuntas (140), informasi pengobatan TB (138), dukungan keuangan untuk biaya pemeriksaan rontgen (114), dan bagaimana mengkaji perilaku pasien dalam mempertahankan kesehatan (133). Keluarga membutuhkan peningkatan kapasitas dalam memberikan dukungan penghargaan selama pengobatan pasien. Kebutuhan akan perawatan kesehatan pada keluarga yang merawat pasien TB dapat dijadikan data dasar dalam mengembangkan program inovatif terintegrasi dengan program DOTS di fasilitas layanan kesehatan dalam meningkatkan dukungan pada pasien TB.  Kata kunci: keperawatan keluarga, sistem dukungan, Tuberkulosis paru


2021 ◽  
Vol 24 (2) ◽  
pp. 90-98
Author(s):  
Sumiyati Tarniyah ◽  
Laili Nur Hidayati

in spirituality rather than young people. This study aimed to identify the relationship between spiritual behavior and the stress levels of 152 high school students, using a descriptive correlation research design. The data collection techniques involved a spiritual dimension scale questionnaire and the Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42). The data were analyzed using Spearman's rho correlation test. The results show that the spiritual behavior distribution was mostly in the moderate category (53.3%), and stress level distribution was primarily in the normal category (63.8%). The finding also revealed that there was no correlation between spiritual behavior and stress levels in high school students. These results may differ from the previous studies. Although stress in this group showed a normal category, their mental health needs to be considered given the amount of stressors adolescents may face.Abstrak Perilaku Spiritual dan Stres pada Remaja: Studi Awal. Spirituaitas seringkali dikaitkan dengan kesehatan mental, termasuk stres. Kelompok usia tua cenderung banyak terlibat dalam kegiatan spiritual dibanding kelompok usia muda. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara perilaku spiritual dengan tingkat stres pada 152 siswa sekolah menengah atas, dengan menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi. Teknik pengumpulan data meng-gunakan kuesioner skala dimensi spiritual dan Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42). Analisis data meng-gunakan uji korelasi Spearman's rho. Hasil penelitian menunjukkan bahwa  perilaku spiritual mereka sebagian besar dalam kategori sedang (53,3%), dan distribusi tingkat stres terutama dalam kategori normal (63,8%). Penelitian ini mengungkapkan tidak ada hubungan antara perilaku spiritual dengan tingkat stres pada remaja. Hasil ini mungkin berbeda dengan banyak penelitian sebelumnya. Meskipun stres pada kelompok ini menunjukkan kategori normal, tetapi kesehatan mental mereka perlu diperhatikan mengingat banyaknya stresor yang mungkin dihadapi remaja. Kata Kunci: perilaku spiritual, remaja, stres


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document