TAJDID: Jurnal Ilmu Ushuluddin
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

96
(FIVE YEARS 43)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Thaha Saifuddin Jambi

2541-5018, 2502-3063

2021 ◽  
Vol 20 (2) ◽  
pp. 401-430
Author(s):  
Asep Setiawan

This article seeks to highlight and provide answers to the controversial opinions that have recently been frequently campaigned by some liberal Muslim figures that the Qur'an recognizes the existence and truth of previous scriptures such as the Bible. They use several verses in the Qur'an, 5:44, 46-47 and 66, to justify the above opinions supported by partial interpretation experts under their understanding and purpose. In this study, the author used the library research method, which is research-based on library studies. The approach used is descriptive-analytical, which describes existing data sources, then analyzed and interpreted using available data sources. The opinion of liberal Islamic thinkers that it is enough for the Jews to use the Torah in carrying out religious law, and the Christians that they simply follow the rules in the Bible, this is because their methodology in understanding the verse is wrong. They did not explain at all the abuses committed by Jews and Christians. Including their defiance of Allah's command and about the guidance of the coming of the Prophet Muhammad with his perfect and universal sharia, which they are obliged to follow and obey, which is the information contained in their holy book. In understanding the verses of the Qur'an, they do not use methodological steps that can be accounted for in the discipline of interpretation. Contextual schools are emphasized for several texts that are alleged to be anti-religious pluralism. While on the other hand, literal schools are applied to verses that support the notion of religious pluralism.   Artikel ini berupaya untuk mengetengahkan dan memberikan jawaban atas pendapat kontroversial yang belakangan ini sering dikampanyekan oleh beberapa tokoh muslim liberal bahwa al-Qur’an mengakui eksistensi dan kebenaran kitab suci sebelumnya seperti Bibel. Mereka menggunakan beberapa ayat dalam QS. Al-Ma’idah [5]: 44, 46-47, dan ayat ke-66 untuk menjustifikasi pendapat di atas didukung dengan menukil pendapat dari para ahli tafsir secara parsial sesuai dengan paham dan tujuan mereka. Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode library research, yakni penelitian yang didasarkan pada studi pustaka. Adapun pendekatan yang digunakan adalah deskriptif-analitis, yaitu mendeskripsikan sumber data yang ada, kemudian dianalisis dan diinterpretasikan dengan menggunakan sumber data yang tersedia. Pendapat para pemikir Islam liberal bahwa kaum Yahudi cukup berhukum dengan Taurat begitu pula kaum Nasrani, yang katanya cukup berhukum dengan Injil atau Bibel, dikarenakan mereka cacat secara metodologis dalam memahami ayat tersebut. Mereka sama sekali tidak menerangkan tentang penyelewengan yang dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Termasuk tentang pembangkangan mereka terhadap perintah Allah dan tentang petunjuk akan datangnya Nabi Muhammad saw. dengan syariatnya yang sempurna dan universal yang wajib diikuti dan ditaati oleh mereka, yang mana informasi tersebut terdapat di dalam kitab mereka. Dalam memahami ayat-ayat al-Quran, mereka tidak menggunakan ukuran metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan secara disiplin ilmu tafsir. Mazhab kontekstual ditekankan untuk sejumlah teks yang diduga anti kemajemukan beragama. Sementara di sisi lain, mazhab literal diterapkan untuk ayat-ayat yang mendukung paham pluralism agama.


2021 ◽  
Vol 20 (2) ◽  
pp. 173-199
Author(s):  
Mahbub Ghozali ◽  
Ali Usman

The Rationality in interpretation that tends to be disputed can be used as an instrument to provide the contextual meaning of the Qur’an. Rationality equipped by science can actualize meanings that are more relevant to the development of society. The actual meaning has an impact on easier understanding for the community. This study aims to reveal the function of rationality in contextual interpretation without having to be fixated on the significance of a verse. This study uses primary data sources from Terjemah dan Tafsir al-Qur’an bahasa Arab dan Latin by Bachtiar Surin. This interpretation is used, aside from being abandoned by many researchers, it is also used as another way to actualizing meaning. This study uses a qualitative method with content analysis as a data analysis tool. This study finds the significance of rationality in interpretation through the inseparable relationship of reason with the Qur'an. Intellect as a gift from God can be used to explain God's language. In its application, Rationality can provide contextual meaning in two forms. First, the actualization of meaning with terms that are relevant to a modern context. Second, rationality functions as scientific reasoning to provide factual evidence for the meaning of the Qur'an. The actualizing of the Qur'an meaning can be achieved by rationality so that the contextual device in interpretation does not only emphasize significant meaning on the verse. Rasionalitas dalam penafsiran yang cenderung diperselisihkan dapat dijadikan sarana untuk memberikan pemahaman terhadap al-Qur’an secara kontekstual. Rasionalitas yang dilengkapi oleh ilmu pengetahuan dapat mereaktualisasi makna yang lebih relevan dengan perkembangan masyarakat. Pemaknaan secara aktual berdampak pada pemahaman yang lebih mudah kepada masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan fungsi rasionalitas dalam penafsiran kontekstual tanpa harus terpaku dengan signifikansi pesan yang terkandung dalam sebuah ayat. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan sumber data primer dari Terjemah dan Tafsir al-Qur’an bahasa Arab dan Latin karya Bachtiar Surin. Tafsir ini digunakan, selain ditinggalkan oleh banyak peneliti juga didasarkan pada penggunaan cara lain dalam mengaktualisasi makna. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan content analysis sebagai perangkat analisa data. Penelitian ini menemukan signifikansi rasionalitas dalam penafsiran melalui hubungan akal dengan al-Qur’an yang tidak dapat dipisahkan. Akal sebagai anugerah Tuhan dapat digunakan untuk menjelaskan bahasa Tuhan. Dalam aplikasinya, akal dapat memberikan penafsiran secara kontekstual dalam dua bentuk. Pertama, reaktualisasi makna dengan istilah yang relevan dengan keilmuan modern. Kedua, rasionalitas berfungsi sebagai penalaran ilmiah dengan bentuk memberikan bukti faktual atas kebenaran kandungan makna al-Qur’an. Keberhasilan rasionalitas dalam mereaktualisasi makna dengan dua bentuk tersebut membuktikan bahwa penafsiran kontekstual dapat ditempuh dengan menggunakan rasionalitas yang bersifat subjektif, sehingga perangkat kontektulitas dalam penafsiran tidak hanya menekankan pada penemuan pesan makna sesuai dengan penggunaannya di masa al-Qur’an turun.


2021 ◽  
Vol 20 (2) ◽  
pp. 304-335
Author(s):  
Asad Isma ◽  
Muhammad Rafii ◽  
Abdurahman Syayuthi ◽  
Fahmi Rohim

Religious expressions in rural areas is no longer a problem with the diversity it has. The social reality in Pangedaran Village is very concerning, various problems such as the education rate is very low, knowledge support activities are very minimal, even the drugs abuse is common in the village. the social setting accompanies the da'wah activities of the taklim, which demands that the recitation can fill Islamic knowledge and religious experience and the congregation's spiritual care. Thus, it is important to reveal the da'wah activities in the recitation in caring for the congregation's spirituality to pacify the human ego as spiritual beings. The purpose of this study is to explain the rituals, experiences of members in carrying out the routines of the taklim assembly to care for the spirituality of the congregation. Qualitative methods and descriptive analysis were used to complete and obtain relevant research results. Utilizing observation, in-depth interviews and documentation to support the data to answer the main questions of this research. The findings of this study, explained that the activities of the taklim assembly in caring for the congregation's spirituality were carried out by implementing dhikr, eradicating illiteracy, filling in religious knowledge, recitation rituals, reading prayers, it were done consistently.. it provide opportunities for social interaction and support the spiritual care of the congregation with social activities that form social capital so that they enter the gemeinschaft of mind group that has the same drive and motive, namely the spiritual instability of the congregation.   Melihat ekspresi keagamaan di pedesaan sudah tidak menjadi persoalan dengan keberagaman yang dimilikinya. Realitas sosial di Desa Pangedaran sangat memprihatinkan, berbagai persoalan seperti angka pendidikan sangat rendah, aktivitas pendukung pengetahuan sangat minim, bahkan maraknya narkoba sudah menjadi rahasia umum di Desa tersebut. Setting sosial demikian mengiringi aktivitas dakwah majelis taklim, yang menuntut pengajian dapat mengisi pengetahuan keislaman dan pengalaman keagamaan dan perawat ruhani jemaah. Dengan demikian penting untuk mengungkap aktivitas dakwah dalam pengajian tersebut dalam merawat ruhani jemaah dapat menentramkan ego manusia sebagai makhluk spiritual dan landasan aritkel ini. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan ritual, pengalaman anggota dalam menjalankan rutinitas majelis taklim untuk merawat kerohanian jemaah. Metode kualitatif dan menganalisis secara deskriptif digunakan untuk menyelesaikan dan memperoleh hasil penelitian yang relevan. Memanfaatkan observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi dalam mendukung informasi atau data akurat untuk menjawab pertanyaan utama dari penelitian ini. Hasil dan diskusi pada temuan penelitian ini, menjelaskan bahwa aktivitas majelis taklim dalam merawat ruhani jemaah dilakukan dengan pelaksanaan zikir, pengentasan buta aksara, mengisi pengetahuan keagamaan, ritual-ritual pengajian, pembacaan do’a, amalan-amalan dan selawat dilakukan secara konsisten. Rutinitas jemaah memberi peluang interaksi sosial dan mendukung perawatan ruhani jemaah dengan kegiatan sosial yang membentuk modal sosial sehingga mereka masuk ke dalam kelompok gemeinschaft of mind yang memiliki dorongan dan motif sama, yaitu ketidakstabilan spiritual atau ruhani jemaah.


2021 ◽  
Vol 20 (2) ◽  
pp. 269-303
Author(s):  
M. Kholid Muslih ◽  
Amal Fathullah Zarkasyi ◽  
Abdul Rohman ◽  
Rahmat Adi Nur Rifa Da’i

Zionism is one of the great agenda of the Jewish nation to rule the world. The movement can be considered far from human values, all of which originate from their ideology contained in the Talmud and Protocols of Zion. This article aims to reveal the basic ideas of Zionism which became their principle in the movement to conquer the world. Through a search of the literature regarding the theme of the discussion and the descriptive-critical analysis method, it is hoped that it can explain the racism side of the Zionist ideology which is clearly contrary to Islamic Islamic theology and human values. This study shows several important points, including: first, Zionism is a movement of the Jewish people to reclaim Baitul Maqdis; second, the Modern Zionism Movement was initiated by Theodor Herzl through the establishment of the Modern State of Palestine; third, the Zionist movement is based on their ideology taken from the Talmud and the Protocols of Zion. The core ideology in these two sources is to assert that the Jews are the best nation in the world, nations other than them are considered not descendants of Adam and even considered animals, God has given the Jews the rights to rule over all nations other than them, and so on; Fourth, the ideology of Zionism if viewed from the perspective of Islamic theology there are many mistakes because basically Allah views all human beings as equal and the only difference is their piety, there are some confusions in the Zionist conception of God, and some of their ideologies have confusion between argument one and argument. other. Therefore, the author concludes that the ideology of Zionism is contrary to the point of view of Islamic theology, besides that it is also not in accordance with the principles of humanity.   Zionisme merupakan salah satu agenda besar bangsa Yahudi untuk menguasai dunia. Gerakannya bisa dianggap jauh dari nilai kemanusiaan, di mana semua itu bersumber dari ideologi mereka yang ada dalam Kitab Talmud dan Protocols of Zion. Artikel ini bertujuan untuk mengungkap dasar-dasar pemikiran Zionisme yang menjadi prinsip mereka dalam gerakan menaklukkan dunia. Melalui penelusuran literatur-literatur berkenaan dengan tema pembahasan dan metode deskriptif-analisis kritis diharapkan dapat menjelaskan tentang sisi rasisme ideologi Zionisme yang itu jelas bertentangan dengan teologi Islam dan nilai kemanusiaan. Penelitian ini menunjukkan beberapa poin penting, di antaranya yaitu: pertama, Zionisme merupakan gerakan bangsa Yahudi untuk merebut kembali Baitul Maqdis; kedua, Gerakan Zionisme modern diprakarsai oleh Theodor Herzl melalui pembentukan Negara Modern Palestina; ketiga, Gerakan Zionisme tersebut didasari oleh ideologi mereka yang diambil dari Kitab Talmud dan Protocols of Zion. Inti ideologi dalam kedua sumber ini adalah menegaskan bahwa bangsa Yahudi merupakan bangsa terbaik di dunia, bangsa selain mereka dianggap bukan keturunan Adam bahkan dianggap hewan, Tuhan telah menganugrahi bangsa Yahudi hak-hak untuk menguasai seluruh bangsa selain mereka, dan lain sebagainya; keempat, ideologi Zionisme tersebut jika ditinjau dari perspektif teologi Islam terdapat banyak kesalahan karena pada dasarnya Allah memandang semua umat manusia itu sama dan yang membedakannya hanyalah ketakwaannya, terdapat beberapa kerancuan dalam konsepsi Zionis tentang Tuhan, dan beberapa ideologi mereka memiliki kerancuan antara argumen satu dengan argument lain. Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa ideologi Zionisme bertentangan dengan sudut pandang teologi Islam, selain itu juga banyak tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan.


2021 ◽  
Vol 20 (2) ◽  
pp. 336-372
Author(s):  
Mochammad Ashabul Yamin

The law of maintaining the purity of the Qur'an for all Muslims is fardhu 'ain (mandatory) for Muslims to maintain the authenticity of the contents and lafal of the Qur'an, either by studying, memorizing, thinking and studying the interpretation of the Qur'an. However, many people are afraid of memorizing the Qur'an because the language of the Qur'an is a foreign language and there are many and many verses in common, and what is no less important is the method of memorizing the Qur'an. They don't know yet, how to memorize the Qur'an easily, happily while still paying attention to the reading in accordance with the rules of ulumut tajwid while still paying attention to the tadabur side of the Qur'an when interacting with the Qur'an, either by memorizing or memorizing. Slowly, as time progressed, the methods of memorizing the Qur'an were perfected so that the Tahfiz al-Qur'an Quarantine Foundation formulated a sophisticated acceleration method that was given to Muslims who were able to answer the needs of the community if they wanted to memorize the Qur'an, namely memorizing the Qur'an using the Yadain Method by using the potential that exists within the five senses, which if in the process of memorizing it is done well with ‘ulum al-tajwid, it will make the process of memorizing the Qur'an easy. In this study, the author uses a qualitative approach which the author is directly involved in the field has applied the yadain method. The benefit in the application of this yadain method is to print a memorizer of the Qur'an by knowing the location of the verse and the number of the verse or what can be called (visualization of the Qur'an), then having the ability to memorize what is in the contents of the verses of the Qur'an. So that the messages contained in the Qur'an can reach him through contemplation of the verses of the Qur'an with the assistance of the translation of the Ministry of Religion of the Republic of Indonesia.   Hukum menjaga kemurnian al-Qur’an bagi semua muslim ialah fardhu ‘ain (wajib) bagi para pemeluk Islam untuk menjaga keotentikan isi dan lafal al-Qur’an, baik dengan mempelajari, menghafal, mentadaburi dan mempelajari tafsir al-Qur’an. Akan tetapi banyak di antara masyarakat yang takut  menghafal al-Qur'an dikarenakan bahasa al-Qur'an merupakan bahasa asing dan jumlahnya yang banyak serta mempunyai banyak kesamaan ayat, dan juga yang tidak kalah penting ialah metode dalam menghafal al-Qur’an pun mereka belum ketahui, bagaimana cara menghafal al-Qur’an dengan mudah, dengan bahagia yang tetap mengindahkan bacaan sesuai dengan kaidah ‘ulum al-tajwid beserta tetap memperhatikan sisi tadabbur al-Qur’an sewaktu berinteraksi dengan Al-Qur’an, baik dengan menghafal ataupun memuraja‘ah. Perlahan waktu yang terus berjalan mengalami penyempurnaan metode-metode dalam menghafal al-Qur’an sehingga  menjadikan Yayasan Karantina Tahfiz al-Qur’an merumuskan sebuah metode akselerasi yang mutakhir yang diberikan kepada umat Islam yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat apabila hendak menghafal al-Qur’an, yaitu menghafal al-Qur’an Metode Yadain dengan menggunakan potensi yang ada dalam diri berupa panca indera, yang apabila dalam proses menghafalnya dilakukan dengan baik dengan dibekali ‘ulum al-tajwid maka akan menjadi mudah proses menghafal al-Qur’an tersebut. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang penulis secara langsung terlibat di lapangan telah menerapkan metode yadain. Manfaat dalam penerapan metode yadain ini ialah mencetak seorang penghafal al-Qur’an dengan mengetahui letak ayat dan nomor ayat atau yang bisa disebut (visualisasi al-Qur’an), kemudian mempunyai kemampuan mentadaburi apa yang berada dalam isi kandungan ayat al-Qur’an sehingga pesan-pesan yang berada dalam al-Qur’an tersebut dapat tersampai padanya melalui perenungan ayat al-Qur’an dengan dibantu terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia.


2021 ◽  
Vol 20 (2) ◽  
pp. 200-242
Author(s):  
Lilik Ummi Kaltsum ◽  
Fitriatul Anita

This study reveals verses about the house with the aim of finding the concept of the house from the perspective of the Qur’an. The mention of the word house in the Qur’an is mentioned in various ways, namely al-bait, al-maskan, al-ma’wa and al-dar. During the Covid-19 pandemic, the home is the focus of all activities. The whole concept of the house from the perspective of the Qur’an is very necessary to maximize the function of the house according to the instructions of the Qur’an. The method used in this study is the thematic method, namely the method of interpreting the Qur’an which seeks to explain the verses of the Qur’an by referring to a particular subject so that it can produce a more systematic understanding. The thematic method was chosen because it was considered more appropriate to comprehensively build the Qur’anic concept on a particular theme. In revealing certain meanings, this research uses a semantic approach. The semantic approach is used to understand reality through language correctly, while at the same time linking meaning to the fact of using language in a situational context. This study concludes that house ownership in the Qur’an is attributed to Allah swt., to humans and to animals. While the function of the house in the Qur’an is mentioned as a place to live, a place of worship, a prison for adulterers and as a place to get security. Manners related to the house in the Qur’an have special details. The Qur’an regulates the etiquette of visiting both in an inhabited house and an uninhabited house. In particular, the Qur’an also regulates the etiquette of visiting the house of the Prophet Muhammad, and regulates eating etiquette at the house of close relatives.   Penelitian ini mengungkap ayat-ayat tentang rumah dengan tujuan untuk menemukan konsep rumah perspektif al-Qur’an. Penyebutan kata rumah dalam al-Qur’an disebutkan dalam berbagai macam, yaitu al-bait, al-maskan, al-ma’wa dan al-dar. Pada masa pandemi Covid-19, rumah menjadi tumpuan segala kegiatan. Konsep utuh tentang rumah perspektif al-Qur’an sangat diperlukan untuk memaksimalkan fungsi rumah sesuai petunjuk al-Qur’an. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tematik yaitu metode penafsiran al-Qur’an yang berusaha menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan mengacu pada satu pokok bahasan tertentu sehingga dapat menghasilkan pemahaman yang lebih sistematis. Metode tematik dipilih karena dinilai lebih tepat untuk membangun konsep al-Qur’an tentang tema tertentu secara komprehensif. Dalam mengungkap makna tertentu, penelitian ini menggunakan pendekatan semantik. Pendekatan semantik digunakan untuk memahami realitas lewat bahasa secara benar, sekaligus mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa dalam konteks situasional. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kepemilikan rumah dalam al-Qur’an dinisbahkan pada Allah swt., pada manusia dan pada binatang. Sedangkan fungsi rumah dalam al-Qur’an disebutkan sebagai tempat tinggal, tempat peribadatan, tempat penjara bagi wanita penzina serta sebagai tempat memperoleh keamanan. Tata krama terkait rumah dalam al-Qur’an memiliki perincian yang khusus. Al-Qur’an mengatur tata krama bertamu baik dalam rumah yang berpenghuni maupun rumah yang tidak berpenghuni. Secara khusus al-Qur’an juga mengatur tata krama bertamu di rumah Nabi Muhammad saw., serta mengatur tata krama makan di rumah karib kerabat.


2021 ◽  
Vol 20 (2) ◽  
pp. 373-400
Author(s):  
Muhammad Syarifudin ◽  
Masruhan Masruhan
Keyword(s):  

This article attempts to analyze the syarh al-hadith method of classical and contemporary scholars and the hermeneutic method of Islamic scholars in explaining (interpreting) the Prophet's hadith. Because most scholars who write about the interpretation of hadith with a hermeneutics approach, instead use references in classical hadith syarh. Therefore, the author wants to examine the relevance of hermeneutical methods or theories in the study of syarh al-hadith. Is hermeneutics appropriate to be applied as a single foundation in the interpretation of hadith or is it only a complement to the syarh al-hadith? This article concludes after trying to compare the interpretations of the hadith commanding to fight humans until they say there is no god but Allah using the two approaches or methods above, and it turns out that both can go hand in hand and complement each other. Moreover, the hermeneutics approach is more about the meaning of the context of the hadith at the beginning of its emergence to the present, which requires an understanding of the meaning of the hadith according to its originator at the time of the background of the hadith (asbab wurud) and the history of this can be known through the syarah hadith method, especially, syarah hadith with other narrations or through the words of friends who lived contemporaries with the Prophet (originator). Besides that, the study of the original language of the text is also used as a reference in this case, which is part of the syarah of hadith as well.   Artikel ini mencoba menganalisis metode syarah hadis ulama klasik dan kontemporer dan metode hermeneutika cendekiawan Islam dalam menjelaskan (menginterpretasi) hadis Nabi. Karena, kebanyakan cendekiawan yang menulis mengenai interpretasi hadis dengan pendekatan hermeneutika, justru menggunakan rujukan dalam syarah hadis klasik. Oleh karena itu, penulis ingin meneliti relevansi metode atau teori hermeneutika dalam kajian syarh al-hadits. Apakah hermeneutika layak diterapkan sebagai pondasi tunggal dalam interpretasi hadis ataukah hanya menjadi pelengkap syarh al-hadits? Artikel ini mengambil kesimpulan setelah mencoba membandingkan penafsiran terhadap hadis perintah memerangi manusia sampai mereka mengucapkan tiada Tuhan selain Allah dengan menggunakan dua pendekatan atau metode di atas.  Ternyata keduanya bisa berjalan beriringan dan saling melengkapi. Terlebih pendekatan hermeneutika lebih kepada pemaknaan konteks hadis di awal munculnya ke masa kini, yang mana hal itu memerlukan pemahaman akan makna hadis menurut pencetusnya di masa lahirnya hadis (asbab wurud) tersebut dan histori mengenai hal ini dapat diketahui melalui metode syarah hadis. Terutama syarah hadis dengan riwayat lainnya atau melalui perkataan Sahabat yang hidup sezaman dengan Nabi (pencetus). Di samping itu kajian bahasa asli teks juga dijadikan rujukan dalam hal ini, yang merupakan bagian dari syarah hadis juga.


2021 ◽  
Vol 20 (2) ◽  
pp. 243-268
Author(s):  
Dedisyah Putra ◽  
Asrul Hamid

Isra' Mi'raj is a very important historical event for Muslims around the world. In Islam, the commemoration of Isra' and Mi'raj is a momentum to upgrade faith, add insight and motivation to worship, especially in maintaining the five daily prayers. The journey of Isra' Mi'raj is believed to be the most sacred prophetic spiritual journey, so it is natural that many Quraysh residents of Mecca at that time doubted its truth. Commemorating Isra' and Mi'raj including the realm of ikhtilaf al-fuqaha from the past until now. But the most mu'tabar opinion states the ability (al-Jawaz) in commemorating Isra' Mi'raj to achieve benefit for the religious community. This opinion is believed by the Muslim community in Mandailing Natal Regency. This paper presents a portrait of the habits of Muslims in Mandailing Natal Regency in commemorating Isra' and Mi'raj as one of the efforts to foster religious spirit to make Mandailing Natal Regency a civilized one. This research is a field research with a qualitative method with a religious approach to explain the practice of religious spirit that should bring every Muslim in Mandailing Natal Regency to practice Islamic teachings in accordance with the spirit contained in the Isra' and Mi'raj events. In addition, the custom of the Mandailing Natal community in commemorating Isra' and Mi'raj needs to be maintained and preserved as a form of local wisdom in order to realize Mandailing Natal which has the slogan of a traditional country, obedient to worship.Isra’ Mi’raj adalah peristiwa bersejarah yang sangat penting bagi umat Islam seluruh dunia. Dalam Islam, peringatan Isra’ dan Mi’raj merupakan momentum untuk mengupgrade keimanan, menambah wawasan dan motivasi beribadah terutama dalam menjaga salat lima waktu. Perjalanan Isra’ Mi’raj diyakini sebagai perjalanan rohani kenabian yang paling sakral sehingga wajar bila penduduk kafir Quraisy Kota Makkah saat itu banyak yang meragukan akan kebenarannya. Memperingati Isra’ dan Mi’raj termasuk ranah ikhtilaf al-fuqaha dari dahulu sampai sekarang. Namun pendapat yang paling mu’tabar menyatakan kebolehan (al-jawaz) dalam memperingati Isra’ Mi’raj untuk mencapai maslahat bagi masyarakat beragama. Pendapat inilah yang diyakini oleh masyarakat muslim di Kabupaten Mandailing Natal. Tulisan ini menyajikan potret kebiasaan umat Islam di Kabupaten Mandailing Natal dalam memperingati Isra’ dan Mi’raj sebagai salah satu upaya memupuk semangat beragama menjadikan Kabupaten Mandailing Natal yang madani. Penelitian ini merupakan field research dengan metode kualitiatif dengan pendekatan keagamaan guna menjelaskan praktik semangat keagamaan yang seharusnya membawa setiap umat Islam di Kabupaten Mandailing Natal mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan spirit yang terkandung pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Selain itu, kebiasaan masyarakat Mandailing Natal dalam memperingati Isra’ dan Mi’raj ini perlu dijaga dan dilestarikan sebagai bentuk kearifan lokal guna mewujudkan Mandailing Natal yang memiliki slogan negeri beradat, taat berbibadat.


2021 ◽  
Vol 19 (2) ◽  
pp. 270-296
Author(s):  
Badarussyamsi Badarussyamsi ◽  
Mohammad Ridwan ◽  
Nur Aiman

This article examines ontologically the term "amar ma'ruf nahī munkar" which is always hotly discussed. The aspects studied include the definition, history, law, terms, and pillars of Amar ma'ruf nahi munkar. So far, the concept of amar ma'ruf nahī munkar has not been studied comprehensively so that its meaning is minimized only in the context of da'wah, even though the social content of the meaning of the word is very important to reveal. The focus of the study in this article is how to understand the concept of amar ma'ruf nahī munkar in accordance with the instructions of the Qur'an and al-Sunnah as well as the views of Muslim scholars. The study method carried out is a literature review by examining in depth the concept of amar ma'ruf nahī munkar and its scope. The research findings show that the concept of amar ma'ruf nahī munkar has broad dimensions, both with regard to definition, history, law, terms, and pillars as well as their application. It is very possible that what has been seen as amar ma'ruf nahī munkar can not actually be called a realization of this concept, because the ontological indicators in this concept have not been fulfilled. The ontological study of the concept of ma'ruf nahī munkar implies the message that every Muslim must participate in creating a stable and comfortable social order, which can provide guarantees for the creation of a good quality of life for the community.   Artikel ini mengkaji secara ontologis term “amar ma‘ruf nahī munkar” yang senantiasa hangat diperbincangkan. Aspek-aspek yang dikaji mencakup definisi, sejarah, hukum, syarat, dan rukun Amar ma‘ruf nahi munkar. Selama ini konsep amar ma‘ruf nahī munkar belum dikaji secara komprehensif sehingga dikecilkan artinya hanya dalam konteks dakwah, padahal kandungan sosial dari makna kata tersebut justru sangat penting untuk diungkap. Fokus kajian dalam artikel ini adalah bagaimana memahami konsep amar ma‘ruf nahī munkar sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan al-Sunnah serta pandangan para ulama Muslim. Metode kajian yang dijalankan adalah kajian literatur dengan mencermati secara mendalam konsep amar ma‘ruf nahī munkar beserta ruang lingkupnya. Temuan penelitian menunjukkan bahwa konsep amar ma‘ruf nahī munkar memiliki dimensi yang luas, baik yang berkenaan dengan definisi, sejarah, hukum, syarat, dan rukun serta aplikasinya. Sangat mungkin terjadi bahwa apa yang selama ini dipandang sebagai amar ma‘ruf nahī munkar sebenarnya belum bisa disebut sebagai realisasi terhadap konsep ini, karena belum terpenuhinya indikator-indikator ontologis dalam konsep ini. Kajian ontologis terhadap konsep ma‘ruf nahī munkar menyiratkan pesan bahwa setiap Muslim harus berpartisipasi menciptakan tatanan sosial yang stabil dan confortable, yang dapat memberikan jaminan bagi terciptanya kualitas hidup masyarakat yang baik.


2021 ◽  
Vol 20 (1) ◽  
pp. 63-90
Author(s):  
Kurnia Sari Wiwaha ◽  
Ustadi Hamsah

Islam has been known as a religion of Rahmatn lil’alamiin which guarantees inclusion and maintains a treatise on all humanity. However, the interpretation of universality of Islam does not meet a common understanding even though within Muslim community itself. Those diverse interpretations have resulted in how the universality of Islam has been expressed. One of those quarrels toward interpretation is the discussion of Islam Nusantara. West Sumatera is one of the regions in Indonesia which implements Islamic law as its customary law in which rejection against Islam Nusantara has been echoed across the borders. The rejection caused reactions from various parties since West Sumatera strongly stated the rejection as a way for preserving it. Those dispute has been sharpened by the online news in several Indonesian media that began to raise the phenomenon up. This research aim to find out how those medias frame the news and whether online media contribute on minimizing public tensions. This research used descriptive method with qualitative approach. The source of the data focused on Indonesian online media news on 2018 and was analyzed with framing analysis from Robert N. Entman and also using the concept of treatment recommendation as an analyzes of dispute resolution. The results discovered that media with its framing analysis technique has their own moral judgement and treatment recommendation as a form of dispute resolution towards discourses in the media. This moral judgment can show the tendency and alignment of a media regarding an issue. In addition, the media also has an important role in developing the audience’s mindset in the midst of dispute it can be analyzed from the treatment recommendation that can be used as a media based dispute resolution.   Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamiin dan bersifat universal serta hadir sebagai sebuah risalah seluruh umat manusia. Akan tetapi, pemaknaan terhadap universalitas Islam tidak seragam terlebih pemaknaannya bagi kalangan umat Islam itu sendiri. Hal ini menimbulkan banyak interpetasi yang bermacam-macam untuk mengekspresikan universalitas Islam ini. Salah satu bentuk interpretasi ini adalah munculnya istilah Islam Nusantara yang kembali menuai perdebatan. Sumatera Barat merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan hukum Islam dan adatnya yang sangat kuat menolak pengistilahan ini. Penolakan ini menimbulkan banyak reaksi dari beberbagai pihak. Hal ini dikarenakan, Sumatera Barat yang sangat menjaga kelestarian budayanya menolak wacana ini yang memiliki visi samaseperti yang dimiliki Sumatera Barat. Arena pertarungan ini diperluas oleh adanya pemberitaan di media-media online Indonesia yang mulai mengangkat fenomena ini. Penelitian ini dilakukan untuk menemukan bagaimana media membingkai pemberitaan dan apakah media juga memiliki peran untuk meminimalisasi ketegangan yang terjadi antara pihak yang bertikai. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Sumber data yang diperoleh mengacu pada pemberitaan media online mainstream Indonesia pada tahun 2018 dan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis framing media model Robert N. Entman dan treatment recommendation sebagai bentuk dispute resolution wacana di media. Hasil dari penelitan ini mengungkapkan bahwa dalam pembingkaian sebuah berita, media memiliki moral judgement-nya masing-masing. Moral Judgement ini yang dapat memperlihatkan arah atau keberpihakan suatu media terhadap suatu isu. Selain itu, media juga memiliki peranan penting dalam mendewasakan khalayak di tengah konflik. Hal ini terlihat dari adanya treatment recommendation yang dapat digunakan sebagai dispute resolution berbasis media.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document