Berkala Arkeologi SANGKHAKALA
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

215
(FIVE YEARS 48)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Published By Badan Penelitian Dan Pengembangan Kemdikbud

2580-8907, 1410-3974

2021 ◽  
Vol 24 (2) ◽  
pp. 121-134
Author(s):  
M Satok Yusuf ◽  
I Wayan Srijaya ◽  
Coleta Palupi Titasari

Society in the Classical period had view that most sacred buildings were erected in the highlands, such as an Mount Pegat, Blitar Regency. This study seeks to reveal the religious activities that occured at Pertapan Temple Site on Mount Pegat from the Kadiri to Majapahit Kingdom, along with the community’s conception of the mountain. The method used in this study includes data collection in the form of observations and interviews, as well as qualitative descriptive analysis through the help of classification, comparison, and contextual analysis. Semiotic theory is used to assist the analysis. The result of this study indicate that the sacred building at the Pertapan Temple site is use as a place of worship for Sang Hyang Kabuyutan in Subhasita in 1120 Saka, the pendharmaan temple of King Wisnuwarddhana in 1202 Saka, and place of worship of Dewaraja Wisnuwarddhana in 1237 Saka. the community views Mount Pegat as a holy place, because it has several features, such as according to the criteria for a holy place, the location is on the connecting route between Kadiri and Singhasari and Mount Kelud with the South Lime Mountains. Masyarakat pada masa Klasik memiliki pandangan bahwa bangunan suci kebanyakan didirikan di dataran tinggi, seperti di Gunung Pegat Kabupaten Blitar. penelitian ini berupaya mengungkap aktivitas religi yang terjadi di Situs Candi Pertapan di Gunung Pegat pada era Kerajaan Kadiri hingga Majapahit, beserta konsep masyarakat terhadap gunung tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pengumpulan data, berupa observasi dan wawancara, serta analisis deskriptif kualitatif melalui bantuan analisis klasifikasi, perbandingan, dan kontekstual. Teori semiotika digunakan untuk membantu analisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bangunan suci di Situs Candi Pertapan digunakan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Kabuyutan di Subhasita pada tahun 1120 Saka, candi pendharmaan Raja Wisnuwarddhana pada tahun 1202 Saka, dan tempat pemujaan Dewaraja Wisnuwaddhana pada tahun 1237 Saka. Masyarakat memandang Gunung Pegat sebagai tempat suci, karena memiliki beberapa keistimewaan, seperti memenuhi kriteria tempat suci, lokasi berada di jalur penghubung antara Kadiri dengan Singhasari serta Gunung Kelud dengan Pegunungan Kapur Selatan.  


2021 ◽  
Vol 24 (2) ◽  
pp. 135-146
Author(s):  
Rudiansyah Rudiansyah

Most of the buildings in Kesawan-Medan still maintain the Dutch-Chinese architecture of the transitional period or the Transitional architecture, although the awareness to preserve this historical heritage is still low. Furthermore, there is no regulation limiting changes that may be made, yet it has not been designated as a Cultural Conservation Building. This situation raises fears of losing track of the original building. This paper intends to explain the typomorphological characteristics of the Chinatown building architecture in Kesawan-Medan. The method used is desk research on research reports, various sources of books, and journals. The theory used is the theory of area morphology and building typology from Andre Loeckx and Markus Zahnd. The general condition of the building has not lost its original form. Renovations were carried out within the limits of repainting, repairing damaged elements, and changing functions. Typomorphology is evident from the materials used and their layout. Building materials used are from the surrounding environment, such as bricks, tile roofs, and windows. The layout of the building is in the residential emplacement area of the city center, with a flat topography in the tropical wet climate of Indonesia. Permukiman kesawan Medan sebagian besar masih mempertahankan arsitektur bangunan Belanda-China periode peralihan atau arsitektur Transisi, walaupun kesadaran pelestarian peninggalan bernilai sejarah masih minim. Belum ada peraturan batasan perubahan yang boleh dilakukan dan belum ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya. Keadaan ini menimbulkan kekhawatiran akan kehilangan jejak bangunan aslinya. Tulisan ini bermaksud untuk menjelaskan karakteristik tipomorfologi arsitektur bangunan pecinan di kesawan Medan. Metode yang digunakan adalah desk research terhadap laporan hasil penelitian, berbagai sumber buku dan jurnal. Menggunakan teori morfologi kawasan dan tipologi bangunan dari Andre Loeckx dan Markus Zahnd. Kondisi bangunan secara umum belum kehilangan bentuk aslinya. Renovasi dilakukan dalam batas pengecatan ulang, perbaikan elemen yang rusak, dan perubahan fungsi. Tipomorfologi khasnya tampak dari bahan yang digunakan dan tata letaknya. Bahan bangunan dari lingkungan sekitar, seperti bata, keramik atap genting dan jendela. Tata letak bangunan berada di kawasan emplasemen permukiman pusat kota, dengan topografi lahan datar dalam lingkungan iklim tropis basah Indonesia.


2021 ◽  
Vol 24 (2) ◽  
pp. 107-120
Author(s):  
Muhamad Alnoza

The research conducted in this paper focuses on answering the problem of the meaning of the artifacts of the Classical period found in the Kasepuhan Cirebon palace. The goal to be achieved in this research is to obtain an explanation of the position of the artifacts of the Classical period for the Kraton Kasepuhan Cirebon. In order to answer this research problem, three research steps were applied in the archaeological method, namely data collection, data analysis, and interpretation. Based on the entire research process that has been carried out, it can be seen that the artifacts of the Classical period that are stored in the Kasepuhan Cirebon palace are meaningful as symbols of the status of the king who occupies the highest power. Artifacts of the Classical period were used to strengthen the legitimacy of the King of Cirebon who had the status of "pandita ratu". Kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia banyak meninggalkan tinggalan kebudayaan di beberapa tempat. Salah satu tempat yang masih menyimpan tinggalan kebudayaan masa Klasik adalah Kraton Kasepuhan Cirebon. Artefak masa Klasik yang disimpan di Kraton Kasepuhan Cirebon antara lain berupa Arca Nandi, Lingga dan Yoni. Penempatan artefak ini dapat dihipotesiskan sebagai “kasus ekstrim”, karena biasanya unsur budaya Klasik yang masih dilanjutkan pada masa Islam sifatnya hanya samar-sama. Kajian ini berfokus dalam menjawab makna dari artefak masa Klasik yang terdapat di Kraton Kasepuhan Cirebon. Masalah ini diharapkan dapat menjelaskan kedudukan artefak-artefak masa Klasik tersebut bagi Kraton Kasepuhan Cirebon. Masalah penelitian ini dilakukan melalui analisis semiotika triadik Charles Sanders Peirce. Berdasarkan kajian yang dilakukan, dapat diketahui  bahwa artefak-artefak masa Klasik yang disimpan di Kraton Kasepuhan Cirebon   bermakna simbol raja sebagai pemegang kekuatan tertinggi. Artefak masa Klasik digunakan sebagai penguat legitimasi Raja Cirebon yang berstatus “pandita ratu”.


2021 ◽  
Vol 24 (2) ◽  
pp. 87-106
Author(s):  
Dedy Satria

Tombstone type plangpleng  is a type of tombstone typology from Aceh that has not been widely known and understood, compared to the type of Acehnese tombology or 'Aceh Batu'. The shape of the tombstone and the shape of the motive form, as well as this tombstone chisel style that distinguishes it with other tombstone typologies in Aceh. Local motif themes combined with the themes of adoption from the outside then transformed well from the Hindu-Buddha-Buddha tradition and the Islamic world arts tradition combined here. This collection of tombstones was found in many places in Aceh Besar and Banda Aceh, although in limited quantities. (Simpang) Gano-Lamdingin One of the locations known to have the type of ancient tomb findings like this. The beginning of the presence of Muslim communities with Islamic government systems was reflected in the heritage of this cultural object. The kings built a tomb monument with markers of this type of tombstone. Batu nisan tipe ‘plakpleng’ merupakan satu jenis dari tipologi batu nisan dari Aceh yang belum banyak dikenal dan dipahami, bila dibandingkan jenis tipologi batu nisan Aceh atau ‘Batu Aceh’. Bentuk batu nisan dan rangcangan bentuk motif, serta gaya seni pahat batu nisan ini yang membedakannya dengan tipologi batu nisan yang lain di Aceh. Tema-tema motif lokal dipadukan dengan tema-tema adopsi dari luar lalu ditransformasikan baik yang berasal dari tradisi Hindu-Buddha Asia Selatan dan tradisi kesenian dunia Islam berpadu di sini. Kumpulan batu nisan ini ditemukan dibanyak tempat di Aceh Besar dan Banda Aceh, walau dalam jumlah terbatas. (Simpang) Gano-Lamdingin salah satu lokasi yang diketahui memiliki jenis temuan makam kuno seperti ini. Awal kehadiran masyarakat muslim dengan sistem pemerintahan Islam tercermin dari warisan benda budaya ini. Para merah atau raja-raja kecil membangun monumen makam dengan penanda dari jenis batu nisan ini.


2021 ◽  
Vol 24 (2) ◽  
pp. 75-86
Author(s):  
Churmatin Nasoichah ◽  
Nenggih Susilowati ◽  
Andri Restiyadi

The Mandailing people have a writing habit that develops in their region. The influence of Hindu-Buddhist culture has influenced the culture of writing in the communities around the area. The use of written sources with local characters, one of which is found in Bagas Godang Hut Godang, Kec. Ulu Pungkut, Mandailing Natal. From the results of the research that has been carried out, it is not certain that the time span of making and using these manuscripts by the Mandailing people in the past cannot be ascertained. Through this background, the research problem is related to the span of time of making and using pustaha laklak and bamboo manuscripts stored in godang huta Godang bagas, Ulu Pungkut District, Mandailing Natal Regency, North Sumatra. Besides that, what is the description of the Mandailing community during that period. The research method used is qualitative research methods. From the analysis, it is known that pustaha laklak A-2/2014 was made and used in the range of 1720 - 1890 AD and the bamboo manuscript B-5/2014 was made and used in the range of 1790 - 1950 AD. The existence of pustaha laklak A-2/2014 and bamboo manuscripts B-5/2014 is proof that in the 18-20s AD the Mandailing region was still a small kingdom consisting of several huta (villages). Masyarakat Mandailing memiliki kebiasaan tulis-menulis yang berkembang di wilayahnya. Pengaruh budaya Hindu-Buddha telah mempengaruhi budaya tulis-menulis pada masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Penggunaan sumber tertulis dengan aksara lokal salah satunya terdapat pada bagas godang huta Godang, kec. Ulu Pungkut, Mandailing Natal. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan belum dapat dipastikan terkait rentang masa pembuatan dan penggunaan naskah-naskah tersebut oleh masyarakat Mandailing pada masa lalu. Melalui latar belakang tersebut adapun permasalahan penelitian adalah terkait rentang masa pembuatan dan penggunaan pustaha laklak dan naskah bambu yang disimpan di bagas godang huta Godang, Kecamatan Ulu Pungkut, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Selain itu bagaimana gambaran masyarakat Mandailing pada rentang masa tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Dari hasil analisis diketahui bahwa pustaha laklak A-2/2014 dibuat dan digunakan pada kisaran tahun 1720 - 1890 Masehi dan naskah bambu B-5/2014 tersebut dibuat dan digunakan pada kisaran tahun 1790 - 1950 Masehi. Keberadaan pustaha laklak A-2/2014 dan naskah bambu B-5/2014 ini sebagai bukti bahwa pada abad 18-20an Masehi wilayah Mandailing masih berupa kerajaan kecil yang terdiri dari beberapa huta (kampung).


2021 ◽  
Vol 24 (1) ◽  
pp. 15-30
Author(s):  
Ery Soedewo

Aru Sultanate was a state in Sumatra Island cited by numerous local and international sources between 13th and 16th centuries CE. In the middle of 16th century CE, the sovereignty of Aru was threatened by Aceh Sultanate’s aggression to its neighbouring states in Sumatra. Aru Sultanate’s strategic moves to deal with that aggression is the subject matter of this article. The discussion of such strategies is aimed at revealing what options came to surface by the defensive side to counter the aggressor. Historical reviews of two main records of the Portuguese Tomé Pires and Ferna-O Mendes Pinto revealed the potential strength and strategies adopted by Aru Sultanate to repel Aceh Sultanate’s attack. The presence of the fort as a supporting defensive factor allows Aru Sultanate to deploy a defensive strategy in Aru War I. The defensive stance, however, turned into offensive one in Aru Wars II and III as a strong ally, Johor Sultanate came to assist. Despite more alliances were formed with more states, victory ultimately belonged to Aceh Sultanate. Kesultanan Aru adalah salah satu negeri di Pulau Sumatera yang disebut oleh sumber-sumber tertulis lokal dan mancanegara sejak abad ke-13 – ke-16 M. Pada pertengahan abad ke-16 M, kedaulatan Kesultanan Aru terancam oleh agresi Kesultanan Aceh ke negeri-negeri tetangganya di Pulau Sumatera. Langkah-langkah strategis apa yang ditempuh oleh Kesultanan Aru dalam menghadapi agresi Kesultanan Aceh, merupakan permasalahan yang diulas dalam karya tulis ini. Pembahasan tentang strategi yang dipakai oleh Kesultanan Aru dalam menghadapi agresi Kesultanan Aceh bertujuan mengungkap pilihan strategi yang diterapkan oleh pihak yang bertahan dalam menghadapi agresi dari luar.  Melalui kajian historis terhadap data utama berupa dua catatan bangsa Portugis yakni Tome Pires dan Ferna-O Mendes Pinto, diungkap potensi kekuatan dan strategi yang diterapkan oleh Kesultanan Aru dalam menghadapi serangan Kesultanan Aceh. Keberadaan benteng sebagai salah satu unsur kekuatan negara, membuat Kesultanan Aru memilih strategi yang defensif pada Perang Aru I. Strategi Kesultanan Aru berubah dari defensif menjadi ofensif -saat Perang Aru II dan Perang Aru III- setelah memperoleh sekutu yang kuat yakni Kesultanan Johor. Meskipun jalinan persekutuan telah dibentuk oleh Kesultanan Aru dengan sejumlah negeri, namun kejayaan akhirnya menjadi milik Kesultanan Aceh.


2021 ◽  
Vol 24 (1) ◽  
pp. 44-63
Author(s):  
Jusman Mahmud

This paper investigates variety of role and collaboration of stakeholders involved with heritage tourism development in Siwa Plateau Area, Special Region of Yogyakarta Province in order to better understand whether and how those roles and collaborations reflect an effort to find a balance related to inherent contradictions in the concepts of heritage (conservation/preservation) and tourism (change/development). The method used was qualitative inductive with primary data obtained by survey, interview and observation. The variety of role and collaboration forms of stakeholders reflects at least three main aspects with variety of nuance. First is heritage protection and development control. Second is being partners in managing heritage as a tourist attraction/destination. Third is that there are active efforts to involve local communities as key players in heritage tourism development in the region. Artikel ini menggali bentuk-bentuk peran dan kolaborasi stakeholder yang terlibat pada perkembangan pariwisata heritage di Kawasan Siwa Plaetau (KSP) Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk lebih memahami apakah dan bagaimana peran dan kolaborasi yang berlangsung tersebut mencerminkan upaya-upaya mencari keseimbangan dalam kontradiksi inheren yang terdapat di dalam konsep heritage (preservasi/stabilitas) dan pariwisata (pembangunan/perubahan). Penelitian dilakukan secara induktif kualitatif dengan data-data utama diperoleh dari survei, wawancara dan observasi. Ragam bentuk peran dan kolaborasi tersebut mencerminkan setidaknya tiga aspek utama dengan beragam nuansa di dalamnya, yaitu pelindungan heritage dan kontrol pembangunan, kerjasama atau mitra dalam mengelola heritage sebagai objek wisata, dan upaya-upaya untuk melibatkan komunitas-komunitas lokal sebagai pemain kunci dalam perkembangan pariwisata heritage di dalam kawasan.


2021 ◽  
Vol 24 (1) ◽  
pp. 64-75
Author(s):  
Najla Anggraini

Pottery is a human creation in the form of objects or containers made of clay which are burned at a burning temperature of 3500C-10000C. The pottery tradition began to be discovered during the cultivation period, in Indonesia pottery became known around 6000 BC, since then pottery has become one of the most important tools in human life. Pottery artifacts are often found at archaeological sites, either intact or in fragments. From the pottery data, there are several aspects that can be studied both in terms of form, decoration and function. The method used in this research is in the form of a special analysis, namely, by observing the attributes of decorative motifs on pottery at the Kampai Island Site, North Sumatra. The data used in this study were the findings of pottery from the excavation of the North Sumatra Archeology Center in 2013. The total number of pottery analyzed in total amounted to 974 shards. The purpose of this study was to determine the typology of decorative pottery motifs at the Kampai Island Site. The results of the research on the analysis of Kampai Island pottery motifs show that there are various decorative motifs so that the classification process of pottery decorative motifs is carried out which can produce several types or typologies of pottery decorative motifs in the Kampai Island Site, namely the types of motifs of lines, squares, circles, and triangles. Tembikar merupakan suatu hasil karya cipta manusia berupa benda atau wadah yang terbuat dari tanah liat yang dibakar pada suhu pembakaran 3500 C-10000 C. Tradisi tembikar mulai ditemukan pada masa bercocok tanam, di Indonesia tembikar mulai dikenal sekitar 6000 SM, yang sejak saat itu tembikar menjadi salah satu alat perlengkapan yang penting di kehidupan manusia. Artefak tembikar sering ditemukan pada situs arkeologi, baik utuh maupun pecahan. Data tembikar juga dapat diteliti dari beberapa aspek baik dari segi bentuk, hiasan maupun fungsi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa Analisis Khusus yaitu, dengan mengamati atribut motif hias pada tembikar Situs Pulau Kampai, Sumatera Utara. Data yang digunakan pada penelitian ini berupa temuan tembikar dari hasil ekskavasi Balai Arkeologi Sumatera Utara tahun 2013. Jumlah tembikar yang dianalisis secara keseluruhan berjumlah 974 pecahan. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui tipologi motif hias tembikar Situs Pulau Kampai. Hasil penelitian analisis motif hias tembikar Pulau Kampai menunjukan bahwa terdapat motif hias yang beragam sehingga dilakukan proses klasifikasi motif hias tembikar yang dapat menghasilkan beberapa tipe-tipe atau tipologi motif hias tembikar Situs Pulau Kampai, yaitu tipe motif garis, kotak, lingkaran, dan segitiga.


2021 ◽  
Vol 24 (1) ◽  
pp. 31-43
Author(s):  
Gendro Keling

Tamblingan is an area in Bali which is located at an altitude of 1,350 meters above sea level. Tamblingan also known as an archaeological site because it holds many archaeological remains, especially during the ancient Balines era.The problem that would revealed and solved are how the landscape at Tamblingan is ideal as a settlement, supported by archaeological evidence to strengthen it. The purpose of this study is to identify the landscape in the Tamblingan area so that this area was chosen as a settlement in the past. Data collection is done by literature study, both search for internet sources and e-journals that focusing discuss of Tamblingan Site. Tamblingan area is a fertile plateau, its morphology is in the form of a mountain range with Lake Tamblingan as an old caldera containing rainwater. the topography also varies and allows it to be used as a settlement. From the results of the study conducted it was proven that the Tamblingan area is a fertile land area, besides that also the forest and Lake Tamblingan provide various needs to support daily life. Tamblingan merupakan satu wilayah di Bali yang berada di ketinggian 1.350 meter di atas permukaan laut. Tamblingan juga dikenal sebagai situs arkeologi karena menyimpan banyak tinggalan arkeologi terutama dimasa Bali Kuno. Dalam penelitian ini permasalahan yang ingin diungkap dan dipecahkan adalah bagaimana bentanglahan atau lanskap kawasan Tamblingan sehingga daerah ini ideal untuk dijadikan sebagai lokasi hunian atau permukiman, ditunjang dengan bukti-bukti arkeologis untuk menguatkannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi lanskap di wilayah Tamblingan sehingga daerah ini dipilih sebagai kawasan hunian dimasa lalu. Metode Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, baik itu penelusuran sumber internet maupun beberapa jurnal cetak dan online yang mengulas mengenai Situs Tamblingan. Kawasan Tamblingan adalah dataran tinggi yang subur, morfologinya berupa deretan pegunungan dengan Danau Tamblingan sebagai kaldera tua yang berisi air hujan. topografinya juga bervariasi dan memungkinkan untuk digunakan sebagai permukiman. Dari hasil studi yang dilakukan terbukti bahwa kawasan Tamblingan merupakan wilayah yang memiliki lahan yang subur, selain itu juga hutan dan Danau Tamblingan menyediakan berbagai keperluan untuk menunjang kehidupan sehari-hari.


2021 ◽  
Vol 24 (1) ◽  
pp. 1-14
Author(s):  
Ambo Asse Ajis

The 11th century AD Armenian text entitled A Journals of the South China Sea refers to the tofonim Peureulak  by the name Poure (Armenian) as a rich and valuable port. Marco Polo (1293 / late 13th century AD) was called Ferlec (Portuguese), which was a settlement with an Islamic population that was regularly visited by Islamic traders. The Negarakertagama manuscript of the 14th century AD mentions the name Parllak (Javanese) as one of the vassals of the Majapahit Kingdom. Likewise local texts, especially Hikayat Raja-Raja Pasai, mention that the existence of the Peureulak  Kingdom ended when it merged into the power of the Samudera Pasai Kingdom (1297 AD) through the process of marriage. This paper aims to see whether the records of the above improvements have the support of archaeological remains, especially the pre-Pasai Ocean era. The research method is descriptive by comparing information with the existence of archaeological remains of two pieces of data that have the same space and time dimensions, namely the rise of the pre-13th century AD and archaeological remains in the form of ancient pre-Samudera Pasai tombstones. The final conclusion is that the results of the comparison of space and time dimensions show that there is a synchronization that confirms the record that saw the Muslim population in Peureulak  before the establishment of the kingdom of Samudera Pasai, which is one of the earliest Islamic cities in Southeast Asia. Teks berbahasa Armenia abad ke-11 Masehi berjudul Suatu Catatan Perjalanan di laut Cina Selatan menyebut toponim Peureulak dengan nama Poure (bahasa Armenia) sebagai pelabuhan yang kaya dan berharga. Marco Polo (1293/akhir abad ke-13 M) menyebutnya Ferlec (bahasa Portugis) yakni sebuah lokasi permukiman berpenduduk Islam yang rutin disinggahi pedagang Islam. Naskah Negarakertagama abad 14 menyebut nama Parllak (bahasa Jawa) sebagai salah satu vasal Kerajaan Majapahit. Demikian juga naskah lokal, khususnya Hikayat Raja-Raja Pasai menyebut eksistensi Kerajaan Peureulak  berakhir ketika melebur ke dalam kekuasaan Kerajaan Samudera Pasai (1297 M) melalui proses pernikahan. Tulisan ini bertujuan ingin melihat apakah catatan para pelancong di atas memiliki dukungan tinggalan arkeologis khususnya era sebelum Samudera Pasai. Metode penelitian bersifat deskriptif dengan cara melakukan komparasi informasi dengan keberadaan tinggalan arkeologis dua buah data yang memiliki kedudukan dimensi ruang dan waktu yang sama, yakni catatan pelancong abad sebelum abad 13 dan tinggalan arkeologis berupa nisan-nisan kuno era sebelum Samudera Pasai. Kesimpulan akhirnya bahwa dari hasil perbandingan dimensi ruang dan waktu menunjukan ada singkronisasi membenarkan catatan para pelancong melihat adanya penduduk Islam di Peureulak  sebelum berdirinya kerajaan Samudera Pasai, yakni satu kota paling awal yang terislamisasi di Asia Tenggara.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document