Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

72
(FIVE YEARS 40)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Published By Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan

2599-1388, 2598-8573

Author(s):  
Sefrina Werni ◽  
Rosita Rosita ◽  
Nita Prihartini ◽  
Mieska Despitasari

Abstrak Bidan sebagai tenaga kesehatan strategis yang berperan dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak dituntut memiliki kompetensi tinggi untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Kompetensi yang tinggi dapat tercapai bila penyelenggara pendidikan profesi bidan memenuhi standar penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan data Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) tahun 2016, nilai rata-rata uji kompetensi DIII kebidanan hanya 41,08. Peserta uji kompetensi yang belum lulus sebanyak 46,5%. Hasil yang masih jauh dari harapan juga ditunjukkan dari rerata try out uji kompetensi tenaga kesehatan tahun 2012 hingga tahun 2015 yang cenderung menurun. Kajian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi identifikasi kompetensi bidan berdasarkan Kepmenkes 369/MENKES/SK/III/2007 tentang standar profesi bidan pada hasil Risdiknakes tahun 2017. Kajian dilakukan menggunakan observasi, wawancara mendalam dan literatur review. Informan adalah bidan di puskesmas dan pakar kebidanan. Hasil kajian menunjukkan bahwa kompetensi bidan di fasilitas pelayanan kesehatan masih belum sesuai standar. Beberapa faktor dalam penyelenggaraan pendidikan kebidanan turut membentuk kompetensi bidan yang dihasilkan. Proses rekrutmen calon peserta didik, kualitas dosen, dan proses penyelenggaraan pendidikan kebidanan secara keseluruhan merupakan komponen yang harus menjadi fokus untuk menghasilkan bidan yang sesuai dengan standar kompetensi seperti tercantum dalam Kepmenkes Nomor 369/MENKES/SK/III/2007. Kata kunci: kompetensi bidan, kajian kebidanan, pendidikan bidan, kurikulum kebidanan Abstract Midwives are strategic health workers who play an important role in maternal and child health services. They are required to have well competencies to run their tasks properly. Well, competencies can be achieved if the midwife's professional education providers meet the standards. Based on the Indonesian Health Workers' Assembly (MTKI) data in 2016, the average value of the DIII midwifery-competency test was only 41.08. Participants who failed the competency test were as much as 46.5%. It is still far from the expectation as the average value of health workers’ competency tests try out between 2012 to 2015 tends to decline. This study aims to identify midwife competencies based on Minister of Health's decree No. 369/MENKES/SK/III/2007 on midwives' profession standards and the results of the 2017 Research on Health Workers’ Education (Risdiknakes). The study was conducted using observation, in-depth interviews, and literature review. Informants are midwives at primary health care and midwifery experts. The results of the study indicate that midwife competencies in health care facilities are still not up to standard. Several factors in the administration of midwifery education also shape the competence of the midwives produced. The process of recruiting prospective students, the quality of lecturers, and the process of conducting midwifery education as a whole are components that must be the focus to produce midwives that comply with the competency standards in Minister of Health's decree No. 369/MENKES/SK/III/ 2007. Keywords: midwife competencies, midwifery studies, midwife education


Author(s):  
Riris Dian Hardiani ◽  
Tris Eryando

Abstrak Prevalensi kebutaan di Indonesia karena katarak pada penduduk berusia ≥ 50 tahun sebesar 3% dan salah satu biaya kesehatan terbesar di tahun 2017 adalah untuk pembedahan katarak. Untuk melakukan pembandingan tarif rumah sakit serta tarif Indonesian Case Base Groups (INA-CBG) pelayanan pembedahan katarak dengan teknik fakoemulsifikasi dan Small Incision Cataract Surgery (SICS) dilakukan penelitian potong lintang menggunakan data klaim Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Rumah Sakit “X”. Perbedaan tarif fakoemulsifikasi dan SICS dianalisis secara bivariat dengan Mann-Whitney. Dari 1278 pasien katarak, terbanyak adalah pasien laki laki, berumur ≥ 60 tahun, 84,7% pembedahan menggunakan teknik fakoemulsifikasi, dan 77,2% pembedahan dilakukan di rawat jalan. Untuk pelayanan rawat inap, fakoemulsifikasi terbanyak di ruang perawatan kelas 1 (50,0%) dan SICS di kelas 3 (65,4%). Rerata tarif rumah sakit untuk rawat jalan fakoemulsifikasi Rp 9.536.041,- ±1.336.734,03 dan SICS adalah Rp 7.438.924,- ±1.160.666,63 (p<0,05) sedangkan untuk rawat inap fakoemulsfikasi Rp 9.355.253,- ±2.288.647,36 dan SICS Rp 6.078.391,- ±1.854.308,65 (p<0,05). Rerata tarif INA-CBG fakoemulsifikasi rawat jalan adalah Rp 8.809.191,- ±218.193,55 dan SICS Rp 4.410.000 (p<0,05) sedangkan untuk rawat inap fakoemulsfikasi Rp 10.834.039,- ±2.019.676,19 dan SICS Rp 9.074.188 ±1.638.329,7 (p<0,05). Rerata tarif rumah sakit dan tarif INA-CBG untuk teknik pembedahan katarak dengan SICS baik rawat jalan maupun rawat inap lebih rendah dibandingkan dengan teknik fakoemulsifikasi. Tarif INA-CBG yang dibayarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk kedua metode pembedahan katarak pada pelayanan rawat jalan lebih rendah sedangkan untuk rawat inap lebih tinggi dibandingkan dengan tarif rumah sakit. Kata kunci: Fakoemulsifikasi, SICS, Katarak, JKN Abstract The prevalence of blindness in Indonesia due to cataracts in the population aged 50 years and above is 3%. However, one of the highest health costs in 2017 was on cataract surgery. To compare hospital tariff and Indonesian Case Base Groups (INA-CBG) tariff of phacoemulsification and Small Incision Cataract Surgery (SICS), a cross-sectional study was conducted using National Health lnsurance claim data at Hospital “X”. The differences between phacoemulsification and SICS tariff were analyzed using the Mann-Whitney test. From a total of 1278 patients, majority were males, aged 60 years and above. 84.7% of the patients went through a phacoemulsification procedure, 77.2% were outpatients. Most inpatients that went through a phacoemulsification were admitted to class 1 wards (50.0%) while a majority of those went through a SICS procedure were admitted to class 3 wards (65.4%). There were significant differences in the average hospital tariff between phacoemulsification and SICS for both outpatients’ (IDR 9,536,041 ±1,336,734.03 vs IDR 7,438,924 ±1,160,666.63;p<0.05) and inpatients’ (IDR 9,355,253 ±2,288,647.36 vs IDR 6,078,391 ±1,854,308.65; p<0.05) care. The average INA-CBG tariff also had significant differences between both procedures for outpatients’ care (phacoemulsification vs SICS: IDR 8,809,191 ±218,193.55 vs IDR 4,410,000;p<0.05) and inpatients’ care (IDR 10,834,039 ±2,019,676.19 vs IDR 9,074,188 ±1,638,329.7; p<0.05). The average hospital and INA-CBG tariff of SICS, for both outpatients and inpatients were lower than that of phacoemulsification. Although INA-CBG tariffs paid by the Social Insurance Administration Organization for Health or BPJS Kesehatan for both phacoemulsification and SICS procedures in outpatients was lower, the INA-CBG inpatients’ tariff was higher than the hospital tariff. Keywords: Phacoemulsification, SCIS, Cataracts, National Health Insurance (NHI)


Author(s):  
Yenni Risniati ◽  
Annisa Rizky Afrilia ◽  
Tri Wahyuni Lestari ◽  
Nurhayati Nurhayati ◽  
Hadi Siswoyo

Abstrak Terapi bekam merupakan salah satu terapi kesehatan tertua di dunia. Hal ini dibuktikan, bekam sudah ada di dalam catatan kedokteran tertua Papyrus Ebers, yang ditulis 1550 SM pada era Mesir kuno. Terapi bekam sendiri terbagi menjadi dua jenis, yakni bekam basah dan bekam kering. Yang membedakan antara bekam basah dan bekam kering adalah keberadaan darah yang dikeluarkan. Kajian (review) ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme, keamanan, dan juga manfaat bekam. Dari beberapa artikel penelitian yang telah didapatkan, umumnya dengan pemanfaatan bekam mendapatkan hasil yang baik. Sementara jumlah penelitian pemanfaatan bekam masih sedikit, sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan bukti yang lebih baik dan meyakinkan. Di Indonesia, pelayanan kesehatan tradisional bekam diatur dalam PMK 61 tahun 2016 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris. Secara regulasi pelayanan tradisional bekam tidak direkomendasikan karena termasuk ke dalam tindakan dengan perlukaan. Padahal, kenyataannya pelayanan tradisional bekam ini ada dan diminati oleh masyarakat. Melihat khasiat dan antusias masyarakat, diharapkan pelayanan tradisional bekam tetap dapat dilakukan di Griya Sehat dengan menjadikan faktor keamanan sebagai fokus utama dalam pelayanan. Hal ini tentunya dapat didukung dengan adanya pembinaan secara menyeluruh mengenai keamanan pelayanan kesehatan tradisional bekam terhadap para praktisi bekam. Kata kunci: bekam, kesehatan tradisional, penyehat tradisional, manfaat terapi bekam Abstract Cupping therapy is one of the oldest health therapies in the world. This was proven by an ancient Egypt paper in 1550 SM as cupping was mentioned in their medical journal. Cupping therapy has been classified into two categories, which were wet and dry cupping. The difference between wet and dry cupping is the presence or absence of blood being released. This literature review aims to find out the history, development, and also the use of cupping. From some research articles that have been obtained, we generally get good results from the use of the cupping method. However, because research on cupping utilization is still limited, further research is needed to obtain better and more convincing evidence. Regulation of traditional cupping service is not recommended because it is an invasive action, when in fact this traditional cupping service exists and is in demand by the community. Seeing the efficacy and enthusiasm of the community, it is hoped that traditional cupping services can still be carried out in a griya sehat with regard to efficacy. Of course, can be supported by the existence of comprehensive guidance on the efficacy of traditional cupping health services for cupping practitioners. Keywords: traditional health service, cupping, safety, benefits


Author(s):  
Sudibyo Supardi ◽  
Yuyun Yuniar ◽  
Ida Diana Sari

Abstrak Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek antara lain menyatakan bahwa apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian di apotek harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek. Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang (cross sectional) dilakukan pada Februari-November 2017. Lokasi penelitian dipilih secara purposif berdasarkan sistem regionalisasi Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan, yaitu ibukota Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan. Nusa Tenggara Barat, Aceh, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Maluku Utara dan Papua. Sampel meliputi 21 apotek yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan di 11 ibu kota provinsi penelitian. Alat pengumpul data berupa daftar tilik standar pelayanan kefarmasian di apotek. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio jumlah apoteker per apotek 1,8 dan kecukupan apoteker untuk pelayanan resep pasien per hari tanpa bantuan tenaga teknis kefarmasian sebesar 66,7%. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek belum dilaksanakan secara lengkap, rerata pelaksanaan standar pengelolaan sediaan farmasi (98,4%) lebih tinggi daripada pelaksanaan standar pelayanan farmasi klinik (73,8%). Dalam upaya meningkatkan pelaksanaan SPKA disarankan agar apoteker meningkatkan kompetensi pelayanan kefarmasian di apotek, organisasi profesi melakukan pendidikan berkelanjutan terhadap apoteker dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota membuat kebijakan, melakukan pembinaan dan monitoring/evaluasi secara berkala. Kata kunci: apotek, farmasi klinik, pengelolaan sediaan farmasi, tenaga kefarmasian Abstract Minister of Health Regulation No. 73 of 2016 on the Pharmaceutical Service Standards in Pharmacy, states that pharmacists should comply and apply the standards. This study aims to identify the implementation of pharmaceutical service standards in pharmacies. The research was cross-sectional and conducted in February-November 2017. The selection of research locations was conducted purposively based on the regionalization system of the BPJS Kesehatan. They were 11 capital cities of provinces, namely West Java, East Java, South Sumatra, West Nusa Tenggara, Special regional of Aceh, North Sulawesi, South Sulawesi, South Kalimantan, Central Kalimantan, North Maluku, and Papua. The sample included 21 pharmacies in collaboration with BPJS Kesehatan (Social Security Administrator for Health) in 11 capital cities of the provinces. Data were collected by using a checklist of pharmacy service standards. Data analysis was performed descriptively. The results showed that the ratio of the number of pharmacists per pharmacy was 1.8 and the adequacy of pharmacists for prescription services for patients per day without the help of pharmaceutical technical personnel was 66.7%. Pharmaceutical Service Standards in Pharmacy have not been fully implemented. The average implementation of pharmaceutical preparation management standards (98.4%) is higher than the implementation of clinical pharmaceutical service standards (73.8%). In order to improve the implementation of Pharmaceutical Service Standards, it is recommended that pharmacists increase the competency of services in pharmacies, professional organizations conduct continuing education of pharmacists and the District Health Office should develop policies, conducts training, and periodically strengthen the monitoring and evaluation on the compliance to this standard. Keywords: pharmacy, clinical pharmacy, pharmaceutical management, pharmaceutical personnel


Author(s):  
Nurhayati Nurhayati ◽  
Hadi Siswoyo ◽  
Lucie Widowati ◽  
Ondri Dwi Sampurno ◽  
Delima Delima ◽  
...  

Abstrak Saat ini pelayanan kesehatan tradisional semakin berkembang maju. Griya sehat merupakan fasilitas pelayanan kesehatan tradisional (fasyankestrad) komplementer. Di Indonesia, saat ini banyak terdapat fasilitas pelayanan kesehatan tradisional griya sehat, namun tidak semua griya sehat yang ada di masyarakat sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan tradisional griya sehat yang ada di Indonesia. Disain penelitian ini adalah potong lintang. Sampel penelitian ini adalah fasilitas pelayanan kesehatan tradisional griya sehat yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Data penelitian diperoleh melalui wawancara dan observasi terhadap 21 griya sehat yang dikunjungi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut kepemilikan griya sehat terdapat 7 milik pemerintah dan 14 milik swasta. Menurut perizinan, terdiri dari 3 UPT pusat, 4 UPT daerah, 10 rekomendasi dinas kesehatan, dan 4 griya sehat belum memiliki perizinan. Ada beberapa jenis pelayanan kesehatan tradisional yang diberikan di setiap griya sehat, terdiri dari 16 herbal, 15 akupunktur, 15 akupresur/pijat, 16 lainnya seperti spa, bekam, totok, fisioterapi. Tenaga yang melakukan pelayanan terdiri dari 16 tenaga kesehatan, 11 tenaga kesehatan tradisional. Pengelola dan penanggung jawab pelayanan fasyankestrad terdiri dari 4 tenaga kesehatan tradisional dan 17 tenaga kesehatan dan lainnya. Pendekatan pelayanan terdiri dari 14 promotif, 18 preventif, 21 kuratif, 16 rehabilitatif, dan 2 paliatif. Penyelenggaraan fasyankestrad komplementer griya sehat masih harus dilengkapi, khususnya terkait perizinan, standar sarana prasarana, standar operasional pelayanan, sistem pelaporan dan pengawasan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota. Perlu dilakukan sosialisasi ketentuan standar fasilitas griya sehat kepada penyelenggara sesuai pedoman kementrian kesehatan, termasuk tentang kebutuhan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan tradisional. Kata kunci: pelayanan kesehatan, tradisional, griya sehat Abstract In recent years, traditional health services are growing forward. Griya Sehat is a complementary traditional health service facility. In Indonesia, there are many traditional health care facilities as griya sehat, but not all are in accordance with the requirements set by the Ministry of Health of the Republic of Indonesia. The purpose of this study was to describe the implementation of traditional health care facilities as griya sehat in Indonesia. The design of this study is cross-sectional. The sample of this study is a traditional health care facility that meets inclusion and exclusion criteria. The quantitative data was collected through interviews and observation of the infrastructure in 21 visited griya sehat. The results showed that according to ownership there were 7 government-owned and 14 private (individual)-owned. The license was 3 from the central government, 4 from the district government, 10 from the health office, and 4 did not have a license. There are several types of traditional health services provided in griya sehat, consisting of 16 herbs, 15 acupuncture, 15 acupressure/massage, 16 others such as spa, cupping, full-blooded, physiotherapy. The managers and the people in charge were 4 traditional health workers, and 17 were other health workers. The service approach consists of 14 promotive, 18 preventive, 21 curative, 16 rehabilitative, and 2 palliatives. The implementation of a complementary traditional health service facility must still be completed, particularly in relation to the license, infrastructure facilities, standard operating procedures, reporting systems, and supervision by district/city health office. It is necessary to socialize the provisions on the standard for griya sehat facilities to the providers in accordance with the ministry of health guidelines, including the need for education and training for traditional health workers. Keywords: health service, traditional, griya sehat


Author(s):  
Mimi Sumiarsih ◽  
Iin Nurlinawati

Abstrak Perencanaan kebutuhan sumber daya manusia kesehatan (SDMK) berdasarkan Permenkes No. 33 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kebutuhan SDMK, belum berjalan baik. Tujuan studi ini adalah menilai kegiatan perencanaan kebutuhan SDMK yang berbasis bukti di kabupaten/kota. Berdasarkan temuan yang diperoleh dalam studi ini diharapkan dapat menjadi masukan kebijakan dalam proses perencanaan kebutuhan SDMK. Metode kajian ini berupa studi literatur terhadap luaran Riset Ketenagaan di Bidang Kesehatan (Risnakes), hasil-hasil penelitian yang relevan, kepustakaan dan dokumen-dokumen terkait perencanaan SDMK, baik di tingkat nasional maupun daerah. Analisis data dari hasil studi literatur dibuat menggunakan tematik analisis. Pengembangan subtema yang ditetapkan dalam tematik analisis difokuskan untuk menggali permasalahan pada aspek input, proses, dan output dari pelaksanaan perencanaan kebutuhan SDMK pada kabupaten/kota di Indonesia. Hasil kajian memperlihatkan, permasalahan perencanaan kebutuhan SDMK pada input meliputi kebijakan pemerintah daerah dan manajemen ASN yang kompleks, kompetensi tenaga perencana yang rendah, dukungan pembiayaan yang minim, serta pemanfaatan data dan sistem informasi yang belum optimal. Permasalahan pada proses mencakup belum dipahami dan dilaksanakannya penyusunan kebutuhan SDMK secara tepat. Permasalahan pada output adalah kesenjangan SDMK terkait kecukupan jumlah dan jenis tenaga kesehatan di tingkat kabupaten/kota di Indonesia. Menyikapi hal tersebut, pemerintah daerah sebaiknya melakukan perencanaan kebutuhan SDMK berbasis bukti, sehingga dokumen perencanaan mampu memproyeksikan kebutuhan SDMK yang sesuai dengan situasi kesehatan terkini. Kata kunci: SDM Kesehatan (SDMK); perencanaan SDMK, kebutuhan SDMK Abstract Planning for human health resources (HRK) based on Permenkes No. 33 of 2015 concerning Guidelines for the Preparation of HRH Needs Plans, has not gone well. The purpose of this study is to assess the evidence-based HR planning activities in the district / city. Based on the findings obtained in this study it is expected to be a policy input in the HRH needs planning process. The method of this study is in the form of a literature study of Workforce Research on Health Sector (Risnakes), relevance research results, literature and documents related to HRH planning both at national and regional levels. Data analysis of the results of the literature study was made using thematic analysis. The development of subthemes set in the thematic analysis is focused on exploring issues in the aspects of input, process, and output from the implementation of HRH needs planning in districts / cities in Indonesia. The results of the study show that HRK needs planning problems in the input include complex regional government and ASN management policies, low competency of planning personnel and lack of financial support and lack of optimal use of data and information systems. Problems in the process include not yet understood and implemented the preparation of HRH needs appropriately. The problem with outputs is the gap in HRH related to the adequacy of the number and type of health workers at the municipal district level in Indonesia. In response to this, local governments should plan evidence-based HRH planning, so that planning documents are able to project HRH needs in accordance with the current health situation. Keywords: Human Resources for Health (HRH), HRH planning, HRH Need


Author(s):  
Lelly Andayasari ◽  
Cicih Opitasari

Abstrak Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM) merupakan salah satu bentuk pemberdayaan peran serta masyarakat untuk pengendalian penyakit tidak menular. Saat ini terjadi peningkatan prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi implementasi program Posbindu PTM di Provinsi Jawa Barat. Desain penelitian ini adalah potong lintang. Data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif dan kualitatif. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam dan focus group discussion. Informan utama berasal dari Dinas Kesehatan, Puskesmas, kader, dan masyarakat. Data kuantitatif didapatkan dari 187 responden yang berkunjung ke Posbindu PTM. Sebagian besar adalah perempuan dan berumur 45 tahun ke atas. Faktor pendukung pelaksanaan program Posbindu PTM adalah adanya pedoman Posbindu PTM, Posbindu kit, kader yang mampu mengidentifikasi faktor risiko PTM, kesiapan tenaga medis dan paramedik dalam penanganan PTM, serta adanya dukungan dari kepala Dinas kesehatan dalam menangani PTM. Sedangkan faktor penghambatnya adalah dana yang terbatas, kurang lengkapnya penyuluhan yang diberikan kader, kurangnya dukungan dari perangkat desa, dan tidak adanya tenaga medis/paramedik. Perlu peningkatan sosialisasi program Posbindu PTM dalam meningkatkan kesadaran terhadap kesehatan, serta dilengkapinya Buku Pedoman Posbindu PTM dan Posbindu kit untuk masing-masing Posbindu PTM. Kata kunci: Posbindu PTM, kader, dana, PTM Abstract Integrated coaching post for non-communicable diseases (Posbindu PTM) is a form of empowering community participation to control non-communicable diseases (NCDs). Currently, there is an increase in the prevalence of NCDs in Indonesia. The aim of this study was to identify the implementation of the Posbindu PTM program in West Java Province. This was a cross sectional study. The data collected was quantitative and qualitative data. Qualitative data were obtained through in-depth interviews and focus group discussions. The informants of the study came from the district health agency, public health centers, cadres and the community. A total of 187 participants visiting Posbindu PTM were interviewed, mostly were women and aged ≥ 45 years. Supporting factors for the implementation of the Posbindu PTM program are the availability of guidelines and Posbindu kit, capability of cadres to identify the risk factors of NCDs, readiness of medical and paramedical personnel in non communicable management and the support from the head of the health department in non communicable management. The inhibiting factors are limited budget, lack of counseling by cadres, lack of support from village officials, and lack of medical/ paramedical personnel. It is necessary to increase the socialization of the Posbindu PTM program in increasing awareness of their health and to complete the guidelines and kits for each Posbindu PTM. Keywords: Posbindu PTM, cadres, funding, PTM


Author(s):  
Yuli Astuti ◽  
Dyah Artini

Abstrak Berdasarkan standar organisasi kesehatan dunia WHO, jumlah kebutuhan minimal darah di Indonesia sekitar 5,1 juta kantong darah per tahun (2% jumlah penduduk Indonesia). Ketersediaan darah tergantung pada donor darah sukarela. Kepuasan pendonor dapat meningkatkan keinginan untuk mendonor kembali. Hal ini dapat didukung oleh adanya komunikasi efektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan komunikasi efektif dilihat dari aspek REACH (respect, emphaty, audible, clarify, humble) dengan kepuasan pendonor darah dalam pelayanan seleksi donor di UTD PMI Kota Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan metode accidental sampling. Kuesioner dibagikan kepada 30 responden terpilih yang melakukan donor darah di UTD PMI Kota Yogyakarta. Uji statistik yang digunakan adalah Somers dan Gamma dengan aplikasi SPSS IBM 23. Hampir seluruh aspek REACH dilaksanakan dengan frekuensi ’kadang-kadang’ atau ’selalu’. Sebagian besar responden merasa cukup puas (50%) dan puas (30%). Ada hubungan antara komunikasi efektif dengan kepuasan pendonor darah yang signifikan secara statistik (p<0,05). Kata kunci: Komunikasi efektif, kepuasan, donor darah, seleksi donor Abstract Based on World Health Organization (WHO) standards, the minimum blood requirement in Indonesia is around 5.1 million blood bags per year (2% of the population of Indonesia). The availability of blood depends on voluntary blood donation. Donor satisfaction can increase the desire to donate again. It could be related to effective communication. This study aimed to determine the correlation of effective communication measured by REACH (respect, empathy, audible, clarify, humble) aspects and the satisfaction of blood donors in donor selection services at UTD PMI Yogyakarta City. This study used a cross-sectional design with accidental sampling method. Questionnaires were distributed to 30 respondents selected who did blood donation at UTD PMI Yogyakarta City. Data collected were analyzed with Somers and Gamma test using the IBM SPSS 23 application. Most of the REACH aspects were conducted frequently. Half of the respondents were quite satisfied and about 30% were fully satisfied. There was significantly correlation between effective communication and blood donors satisfaction (p<0.05). Keywords: Effective communication, satisfaction, blood donors, donor selection


Author(s):  
Made Ayu Lely Suratri ◽  
Vebby Amelia Edwin ◽  
Galih Ajeng Kencana Ayu

Abstrak Motivasi merupakan suatu proses psikologis pada diri seseorang yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Motivasi individu sangat dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan motivasi kerja tenaga di bidang kesehatan di rumah sakit.Desain penelitian potong lintang. Sampel penelitian adalah petugas kesehatan di rumah sakit pemerintah dan swasta di seluruh Indonesia, masing masing berjumlah 30 orang di 2.325 rumah sakit. Pengambilan data dengan cara wawancara dan pengisian kuesioner oleh responden. Analisis data menggunakan analisis Chi-square dan multivariat regresi logistik. Total 66.994 responden direkrut dan didapatkan hasil, proporsi yang tinggi untuk tenaga di bidang kesehatan dengan motivasi tinggi di rumah sakit umum, lebih besar daripada tenaga di bidang kesehatan yang bekerja di rumah sakit khusus, (p-value=0,049), dengan OR= 1,051(95% CI 1,001–1,103). Tenaga di bidang kesehatan yang bekerja di rumah sakit terakreditasi memiliki proporsi motivasi tinggi lebih besar daripada tenaga di bidang kesehatan yang bekerja di rumah sakit tidak terakreditasi, (p=0,0001), dengan OR= 1,122 (95% CI 1,079–1,167). Tenaga di bidang kesehatan yang memiliki akses ke rumah sakit yang mudah, memiliki proporsi motivasi tinggi yang lebih besar daripada yang memiliki akses yang sulit, (p=0,0001, dengan OR= 1,165 (95% CI 1,081–1,255). Waktu perjalanan tenaga di bidang kesehatan ke rumah sakit tidak bermakna dengan motivasi kerja (p = 0,582). Jenis rumah sakit, akreditasi rumah sakit, dan akses ke rumah sakit berhubungan dengan motivasi kerja dari tenaga di bidang kesehatan di rumah sakit. Kata kunci: rumah sakit, tenaga di bidang kesehatan, motivasi kerja Abstract Motivation is a psychological process in someone and is influenced by various factors. Those factors could be both internal and external factors. The purpose of this analysis is to find out the factors associated with the work motivation of employees in the health sector in the hospital. The study design was cross-sectional. The study population was employees in the health sector in government and private hospitals throughout Indonesia. Thirty employees in the health sector were selected from each hospital in 2.325 hospitals. Data was collected by interviewing respondents using a structured questionnaire and a self-administered questionnaire. A total of 66.994 respondents were interviewed. The results showed that employees in the health sector in general hospitals had a higher proportion of high motivation than health workers in special hospitals (p-value = 0.049), with OR = 1.051 (95% CI 1.0011.103). Those who worked in accredited hospitals had a higher proportion of high motivation than health workers in hospitals that were not accredited (p= 0.0001), with OR= 1.122 (95% CI 1.079-1.167). Employees in the health sector who had easy access to hospitals, had a greater proportion of high motivation than those with difficult access, (p= 0.0001), with OR= 1.165 (95% CI 1.081-1.255). Travel time to the hospital was not significantly associated with work motivation (p= 0.582). The type of hospital, hospital accreditation, and access to the hospital were associated with the work motivation of employees in the health sector in the hospital. Keywords: hospital, employees in the health sector, work motivation


Author(s):  
Anggita Bunga Anggraini ◽  
Syachroni Syachroni

Abstrak Penggunaan antibiotik profilaksis bedah yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko terjadinya Infeksi Luka Operasi (ILO) dan resistensi obat. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis bedah pada bedah bersih di rumah sakit (RS) di Jakarta. Penelitian ini merupakan studi potong lintang di sebuah RS pemerintah di Jakarta. Data yang diambil berasal dari rekam medis pasien dewasa yang menjalani pembedahan dengan kriteria kelas luka bedah bersih. Data diambil pada periode 1 Januari hingga 31 Desember 2013. Analisis data dilakukan secara deskriptif berdasarkan pedoman penggunaan antibiotik baik nasional maupun internasional. Hasil penelitian menunjukkan 837 pasien menjalani bedah bersih pada periode tersebut. Bedah yang banyak dilakukan adalah bedah abdominal (30%) dan thorak-non kardiak (23,5%) dan lebih dari 96% merupakan bedah elektif. Jenis antibiotik yang paling banyak digunakan adalah siprofloksasin (56,5%). Keseluruhan kesesuaian antibiotik profilaksis adalah 27,7% tepat indikasi prosedur bedah dan hanya 0,5% yang tepat obat. Sebagai kesimpulan, ketepatan penggunaaan antibiotik profilasis di salah satu RS di Jakarta masih rendah. Penggunaan antibiotik yang tepat dapat menurunkan risiko ILO dan mengurangi biaya pengobatan dengan mengurangi peresepan yang tidak perlu dan durasi penggunaan antibiotik. Kata kunci: antibiotik, bedah bersih, ketepatan, profilaksis Abstract Inappropriate use of surgical prophylactic antibiotics can increase the risk of Surgical Site Infections (SSI) and drug resistance. This study aimed to assess the appropriateness use of surgical prophylactic antibiotics in clean surgery wounds in a hospital in Jakarta. This cross-sectional study was conducted at a government hospital in Jakarta. Data were collected from medical records of adult patients undergoing surgery with clean surgical wound criteria from January 1 to December 31, 2013. Data were analyzed descriptively based on guidelines for antibiotics use both nationally and internationally. The result showed 837 patients classified into the clean surgical wound during this period. The most common surgeries were abdominal surgery (39%) and non-cardiac thoracic (23.5%) and more than 96% were elective surgeries. The overall antibiotic prophylactic appropriateness showed 27.7% in surgical procedures and only 0.5% in choice of antibiotics. In conclusion, the appropriateness of surgery antibiotics prophylactic use in one of the hospitals in Jakarta was still low. Appropriate use of antibiotics can reduce the risk of SSI and cost treatment by reducing unnecessary prescribing and duration of antibiotics use. Keywords: antibiotic, appropriate, prophylactic, clean surgery


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document