Jurnal Ilmu Peternakan dan Veteriner Tropis (Journal of Tropical Animal and Veterinary Science)
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

91
(FIVE YEARS 84)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Universitas Papua

2620-9403, 2620-939x

Author(s):  
Herwin Pisestyani ◽  
Nisa Nurul Fitria ◽  
Ardilasunu Wicaksono

Abstract There is still lack of bruselosis in beef cattle in Barru District, South Sulawesi. The aim of this study was to analyze data about the temporary distribution of disease by measuring spreading speed, and spatial distribution by mapping risk areas for bruselosis over the past three years. The data of this study was collected using the records from Dinas Peternakan and conducting interviews using structured questionnaires. This research was a descriptive study by measuring the incidence rate and describing the risk map using geographic information system (GIS). The results of this study indicate that, based on the incidence rate, the average of distribution rate of bruselosis in beef cattle in Barru is 5 cases per 10 000 heads/year. This incidence rate always decreases every year. There was no sub-district that classified as high risk. There was one area that classified as medium risk namely sub-district of Mallusetasi. Control measure that have been carried out by goverment were successful to reduce the spread of disease. Keywords: Beef cattle; Bruselosis; Incidence rate; Occurrence; Risk.   Abstrak Informasi mengenai penyebaran kejadian penyakit pada sapi potong di Kabupaten Barru Sulawesi selatan masih kurang. Penelitian ini bertujuan menganalisis data distribusi kejadian penyakit secara temporal dengan mengukur kecapatan penyebaran, dan secara spasial dengan memetakan wilayah berisiko bruselosis selama tiga tahun terakhir. Data dalam penelitian ini menggunakan rekapan dari Dinas Peternakan dan wawancara mendalam menggunakan kuesioner terstruktur. Penelitian ini mengunakan metode deskriptif dengan mengukur incidence rate dan menggambarkan peta risiko menggunakan geographic information system. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan incidence rate, kecepatan rata-rata penyebaran bruselosis pada sapi potong di Kabupaten Barru sebesar 5 kasus per 10 000 ekor/tahun. Nilai incidence rate tersebut selalu menurun setiap tahunnya. Kejadian penyakit paling tinggi terjadi di Kecamatan Mallusetasi dengan incidence rate sebesar 35 kasus per 10 000 ekor/tahun. Terdapat satu wilayah yang tergolong ke dalam risiko sedang, yaitu Kecamatan Mallusetasi. Tindakan pengendalian yang telah dilakukan oleh pemerintah setempat dikatakan berhasil dalam menekan tingkat kejadian penyakit. Kata kunci: Bruselosis; Incidence rate; Risiko; Sapi potong; Tingkat kejadian


Author(s):  
Freddy Pattiselanno ◽  
Anita Oce Athabu ◽  
Daniel Yohanes Seseray

Abstract In Papua, especially in the Arfak Mountains, one of wild animals that commonly used as a non-animal protein source is frogs. Although it has been consumed by local people for generations, there is no representative information on the characteristics of Arfak frog meat. This study aims to determine the body weight and weight of carcass of Arfak frogs (Rana arfaki) comsumed by the Moiley communtiies in the Arfak Mountains. In addition, this study also attempts to reveal the physical quality and processing techniques of consumed Arfak forg meat. We used descriptive method with observation techniques in the field. The results show that an average body weight of Arfak frogs consumed in Mbenti is 2.53 ± 0.81gr, with an average of carcass percentage 46.77% and non-carcass percentage 53.23%.  The physical quality of the meat is, fresh and looks intact, the color of flesh and muscles is white to yellowish white, has a distinctive aroma, and elastic texture as well as strong muscles. The pH value of fresh meat is an average of 7.03. Various meat processing techniques are practiced including fried, stir-fry, grilled and smoked, and pickling/smoked is more preffered bacuse it is easy and the meat can keep longer as a source of food for household animal protein. Keywords: Arfak; Cosnsumption; Meat; Quality; Rana arfaki   Abstrak Di Papua khususnya di Pegunungan Arfak, salah satu jenis satwa yang dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber protein hewani non-ternak adalah katak. Meskipun telah dikonsumsi oleh masyarakat lokal secara turun temurun, sampai saat ini belum tersedia informasi yang representatif tentang karakteristik daging katak Arfak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bobot badan dan berat karkas katak Arfak (Rana arfaki) yang dikonsumsi masyarakar Moiley di Pegunungan Arfak.  Selain itu juga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas fisik dan teknik pengolahan daging katak Arfak yang dikonsumsi. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik observasi atau pengamatan langsung di lapangan.  Rataan bobot badan katak Arfak (Rana arfaki) yang dikonsumsi oleh masyarakat di Mbenti yaitu 2,53 ± 0,81gr dengan rataan persentase karkas yaitu 46,77% dan persentase non-karkasnya sebesar 53,23%. Kualitas fisik daging katak Arfak yaitu memiliki karakteristik segar dan tampak utuh, warna daging dan otot putih hingga putih kekuningan, memiliki aroma khas, dengan tekstur elastis serta memiliki otot kuat. Sedangkan nilai pH daging katak Arfak segar yang dikonsumsi oleh masyarakat yaitu rata-rata adalah 7,03.  Teknik pengolahan daging yang dilakukan oleh masyarakat beragam antara lain goreng, tumis, bakar dan asap. Cara asar/asap lebih disenangi karena mudah dilakukan dan dapat memperpanjang masa simpan daging sebagai cadangan sumber pangan protein hewani rumah tangga. Kata kunci: Arfak; Daging; Konsumsi; Kualitas; Rana arfaki


Author(s):  
Ganjar Hadiyanto Pratomo

Abstract The aim of this study was to determine the diversity of KUB chickens raised by farmer households in Indramayu Regency in the implementation of the 2019 BEKERJA program. The BEKERJA program is carried out in 8.189 farmer households by providing 50 DOC, chicken feed during 5 weeks, maintenance support facilities include feed tray, drinking bottles, brooder cages, cables, lights, and cage subsidy for 4 weeks chickens. The parameters observed were the number of chicken mortality, age of first egg laying and the number of egg production for the first time. The observations showed that the mortality of KUB chickens increased at 3 months of raised, which was caused by the sale and slaughter of chickens and the mortality of chickens due to improper raise management. Hens that lay eggs early in the District of Anjatan and District of Bongas 7.066 and 1.041, respectively. The results of the study showed that there was diversity at the beginning of egg-laying chicken due to improper feeding management, but KUB chicken had the potential to be developed as an egg and meat producer in Indramayu Regency. Keywords: BEKERJA Program; Diversity at the beginning of egg-laying chicken; KUB chicken   Abstrak Kajian bertujuan untuk mengetahui keragaman ayam KUB yang dipelihara oleh RTM di Kabupaten Indramayu dalam pelaksanaan program BEKERJA tahun 2019. Program BEKERJA melibatkan 8.189 RTM dengan memberikan bantuan 50 ekor DOC ayam KUB, pakan selama 5 minggu pemeliharaan, bantuan sarana prasarana pemeliharaan meliputi tray  tempat pakan, botol tempat minum, kandang brooder, kabel, lampu, dan bantuan subsidi kandang untuk ayam umur 4 minggu. Parameter yang diamati adalah jumlah kematian ayam, umur bertelur pertama kali dan produksi telur pertama kali. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kematian ayam KUB meningkat pada 3 bulan usia pemeliharaan, yang disebabkan oleh penjualan dan pemotongan ayam serta kematian akibat manajemen pemeliharaan yang kurang tepat. Jumlah produksi telur pertama kali di Kecamatan Anjatan dan Kecamatan Bongas masing-masing sebesar 7.066 butir dan 1.041 butir. Hasil kajian menunjukkan adanya keragaman pada awal bertelur ayam yang diakibatkan oleh manajemen pemberian pakan yang tidak tepat, namun ayam KUB berpotensi dikembangkan sebagai penghasil telur dan daging di kabupaten Indramayu Kata kunci : Ayam KUB; Keragaman awal bertelur; Program BEKERJA


Author(s):  
Laode Muh Munadi ◽  
Nuraini Nuraini ◽  
La Ode Muh Munadi ◽  
Githaria Lumanto

Abstract The best known broiler chicken meat product in urban communities is Kentucky Fried Chicken (KFC). Seeing the business opportunity, entrepreneurs in Kendari City tried to make fried chicken similar to KFC products by labeling Kendari Fried Chicken (Kendari-FC) at a relatively affordable price of Rp 8.000 per piece compared to the KFC price of Rp 15.000 per piece. This study aims to analyze the marketing prospects of Kendari-FC entrepreneurs in Kendari City. The location of the research was determined purposively with the respondents of the study being kendari-FC entrepreneurs in kendari city who were determined by census. The results showed that the income of Kendari-FC entrepreneurs in Kendari City averaged Rp 5.066.458 per month or Rp 168.882 per day with an average income of Rp 36.276 per head. Kendari-FC's marketing prospects have the potential to be developed especially in West Kendari District because the average revenue from sales of each tail is Rp 48.105.40 per head. Keywords: Income; Kendari-FC; Marketing   Abstrak Produk hasil olahan daging ayam broiler yang paling dikenal masyarakat perkotaan adalah Kentucky Fried Chicken (KFC). Melihat peluang bisnis tersebut wirausahawan di Kota Kendari berupaya membuat ayam goreng yang mirip produk KFC dengan memberi label Kendari Fried Chicken (Kendari-FC) dengan harga relatif terjangkau yaitu Rp 8.000 per potong dibandingkan harga KFC Rp 15.000 per potong. Penelitian ini bertujuan menganalisis prospek pemasaran wirausaha Kendari-FC  di Kota Kendari. Lokasi penelitian ditentukan secara purposif dengan responden penelitian adalah wirausahawan Kendari-FC di Kota Kendari yang ditentukan secara sensus. Hasil penelitian menunjukan bahwa pendapatan wirausahawan Kendari-FC di Kota Kendari rata-rata Rp 5.066.458 per bulan atau Rp 168.882 per hari dengan pendapatan rata-rata Rp 36.276 per ekor. Prospek pemasaran Kendari-FC berpotensi dikembangkan terutama di Kecamatan Kendari Barat karena rata-rata pendapatan dari hasil penjualan setiap ekor sebesar Rp 48.105.40. Kata kunci: Kendari-FC; Pemasaran; Pendapatan


Author(s):  
Helda Helda ◽  
L Nalle Catootjie ◽  
Yohanes Jehadu

The objective of the present study was to evaluate the effect of different basal diet and feed additive on the percentage of carcass and component parts of broilers. This research has been conducted for four months (June to September 2020) at State Polytechnic of Agriculture Kupang. A total of 264 one-day old chicks were distributed to 24 pens (11 birds/pen).The experiment was designed using a 2 x 4 factorial design with 8 tretment combinations and three replications for each treatment. The treatments were control (0% sago) (P0), control (0% sago) + avyzime 0,10 % and phyzyme 0,05% (P1), control (0% sago) + allzime 0,05% (P2), control (0% sago) + synbiotic probio FMplus 40 mL/L drinking water (P3), Diet containing 10% sago (P4), Diet containing 10% sago + allzyme 0,10 % and phyzyme 0,05% (P5), Diet containing 10% sago + allzyme 0,05% (P6) and Diet containing 10% sago + synbiotic probio FMplus 40 mL/L drinking water (P7). The result shows that type of basal diet (TBD) and feed additive (FA) affect (P < 0,05) the carcass weight but it did not afect (P>0,05) carcass percentage of broiler chickens. Except for thigh, TBD did not affect (P>0,05) on component parts of carcass. Feed additive had no effect (P>0,05) on carcass component, with the exception of thigh. Interaction between TBD x FA was significant (P<0,05) only for weight and percentage of carcass and back percentage of broilers. Broilers fed basal diet A plus Allzyme SSF-E had lower weight and percentage of carcass and also back percentage than other treatment diets. To sum up,, 1) basal diet B produced higher carcass weight than basal diet A; 2) supplementation of Allzyme SSF-E on basal diet A reduced the weight and percentage of broiler carcass.


Author(s):  
Agustinah Setyaningrum ◽  
Pambudi Yuwono ◽  
Imbang Haryoko ◽  
Billy Trisdianto

Abstract The aims of this study were to examine the slaughter weight, the percentage of apparent carcasses and the conformation index of carcasses of local sheep fed indigofera sp. as a substitute for commercial concentrates with different levels. The research method was an experiment with a Completely Randomized Design (CRD). The experiment was in vivo in 18 sheep fed different level of indigofera sp, P0 treatment being a basal ration as a control consisting of concentrate (K) and elephant grass (RG) with a ratio of 80: 20%. P1 was 40% K: 40% indigofera: 20% RG, and P2 was 30% K: 50% indigofera: 20% RG. Each treament was repeated 6 times.  Sheep were offered feed 4% of body weight on dry matter basis. slaughter weight data were analyzed using Ancova, SPSS program version 16 with initial body weight as covariate. Apparent carcass percentage data and carcass conformation index were analyzed with anava. The results of covariance analysis showed no significant difference (P > 0.05) amongst treatments. The average initial body weights of P0, P1 and P2 were 9.58 ± 1.68, 10.58 ± 3.09 and 9.28 ± 1.91 kg, respectively. after receiving treatment for 70 days the slaughter weights for P0, P1 and P2 were 15.57 ± 3.64, 13.58 ± 2.76, 12.58 ± 1.65 kg, respectively. The average consumption of dry matter for P0, P1 and P2 were 400.19 g / head / day, 401.20 g / head / day and 398.59 g / head / day, repectively.  The average percentage of apparent carcasses for P0: 40.61 ± 2.43%; P1: 34.33 ± 0.63% and P2: 34.03 ± 4.61%. Average carcass conformation index for P0: 0.47 ± 0.04; P1: 0.43 ± 0.01 and P2: 0.43 ± 0.01.  Indigofera sp had no significant effect (P> 0.05) on the percentage of apparent carcass and carcass conformation index.  In Conclusion, indigofera sp. does not decrease local sheep productivity and can be used to replace concentrates as a source of protein. Keywords: Apparent carcass percentage; Index of carcass conformation; Indigofera sp.; Local sheep; Slaughter weight.   Abstrak Penelitian bertujuan mengkaji bobot potong, persentase karkas semu dan index konformasi karkas domba lokal yang diberi Indigofera sp. sebagai pengganti konsentrat komersial dengan level yang berbeda. Metode penelitian adalah eksperimental. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian berlangsung secara in vivo pada domba sebanyak 18 ekor, dengan perlakuan P0 adalah ransum basal sebagai kontrol yang terdiri dari konsentrat (K) dan rumput gajah (RG) dengan perbandingan 80%: 20%. P1 adalah 40% K: 40% indigofera: 20% RG, dan P2 adalah 30%K: 50% indigofera: 20%RG. Masing2 perlakuan diulang 6 kali. Pemberian pakan sebesar 4% bobot badan berdasarkan bahan kering.  Data bobot potong dianalisis dengan Ancova, program SPSS versi 16 dengan bobot badan awal sebagai covariat. Data persentase karkas semu dan index konformasi karkas dianalisis dengan anava. Hasil analisis covariansi menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) antar perlakuan. Rataan bobot badan awal P0, P1 dan P2 masing-masing adalah 9,58±1,68, 10,58±3,09 dan 9,28±1,91 kg, setelah mendapatkan perlakuan selama 70 hari bobot potong untuk P0, P1 dan P2 berturut-turut 15,57±3,64, 13,58±2,76 dan 12,58±1,65 kg. Rataan konsumsi bahan kering P0, P1 dan P2 berturut-turut adalah: 400,19g/ek/hr, 401,20g/ek/hr dan 398,59g/ek/hr Rataan persentase karkas semu pada P0: 40,61±2,43%, P1: 34,33±0,63% dan P2: 34,03±4,61%. Rataan index konformasi karkas untuk P0: 0,47±0,04, P1: 0,43±0,01 dan P2: 0,43±0,01. Pemberian Indigofera sp tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap persentase karkas semu maupun index konformasi karkas. Kesimpulan Indigofera sp. tidak menurunkan produktivitas ternak domba lokal, dan dapat digunakan untuk menggantikan konsentrat sebagai bahan sumber protein. Kata kunci:  Bobot potong; Domba lokal; Index konformasi karkas; Indigofera sp.; Persentase karkas semu


Author(s):  
Firda Arlina ◽  
Sabrina Husmaini ◽  
R. Rhoudha ◽  
W. R. Sardi ◽  
T. Rafian

Abstract This research was aimed to identifiaty qualitative and quantitative phenotypic polymorphism of Sikumbang Jonti Duck in Kecamatan Payakumbuh Timur Kota Payakumbuh Sumatera Barat. This research used 206 Sikumbang Jonti duck that were sexual maturity (22-48 weeks), divided of 50 males and 156 females. The qualitative traits observeted were head color, neck color, breaks color, back color, primary wings color, tail color, thigh color, bill color, and shank color. The quantitative traits observed were body weight (kg), beak width (cm), beak length (cm), neck length (cm), wing length (cm), femur length (cm), tibia length (cm), shank length (cm), back length (cm), number of primary wing feathers (strands), number of secondary wing feathers (strands), pelvic width (cm), and chest circumference (cm). The result showed that color of Sikumbang Jonti duck was dominated by white. Male Sikumbang Jonti duck had color head was white-black, and female had color head was white. In addition, the Sikumbang Jonti duck had green primary wing feathers like a beetle. The coefficient of diversity of the Sikumbang Jonti duck was low for beak width, tibia length (female), number of primary wing feathers, and number of secondary wing feathers, moderate value for body weight, beak length, neck length, wing length, femur length (female), length tibia (male), shank length, back length, perlvis width (females), and chest circumference (males), and high value for femur length (males). Keywords: Duck morphometric; Germplasm; Pattern color; Payakumbuh; Sumatera barat   Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi keragaman fenotipe kualitatif dan  kuantitatif itik Sikumbang Jonti di Kecamatan Payakumbuh Timur Kota Payakumbuh Provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini menggunakan 206 ekor itik Sikumbang Jonti yang sudah dewasa kelamin (22 – 48 minggu), terdiri dari 50 ekor jantan dan 156 ekor betina. Sifat kualitatif yang diamati adalah warna bulu head, warna bulu neck, warna bulu breaks, warna back, warna primary wings, warna tail, warna thigh, warna bill, dan warna shank. Sifat kuantitatif yang diamati adalah bobot badan (kg), lebar paruh (cm), panjang paruh (cm), panjang leher (cm), panjang sayap (cm), panjang femur (cm), panjang tibia (cm), panjang shank (cm), panjang punggung (cm), jumlah bulu sayap primer (helai), jumlah bulu sayap sekunder(helai), lebar pelvis (cm), dan lingkar dada (cm). Hasil menunjukkan warna bulu itik Sikumbang Jonti didominasi dengan warna bulu putih. Warna bulu kepala itik Sikumbang Jonti jantan berwarna putih-hitam, sedangkan itik Sikumbang Jonti betina berwarna putih. Selain itu, itik Sikumbang Jonti memiliki warna bulu sayap primer berwarna hijau seperti kumbang. Koefisien keragaman itik Sikumbang Jonti bernilai rendah untuk lebar paruh, panjang tibia (betina), jumlah bulu sayap primer, dan jumlah bulu sayap sekunder, bernilai sedang untuk bobot badan, panjang paruh, panjang leher, panjang sayap, panajng femur (betina), panjang tibia (jantan), panjang shank, panjang punggung, lebar perlvis (betina), dan lingkar dada (jantan), dan bernilai tinggi untuk panjang femur (jantan). Keragaman fenotipe kualitatif dan kuantitatif pada itik Sikumbang Jonti relatif seragam, kecuali pada fenotipe kuantitatif panjang femur pada itik Sikumbang Jonti jantan memiliki keragaman tinggi. Kata kunci: Morfometrik itik; Payakumbuh; Plasma nutfah; Sumatera barat; Warna bulu


Author(s):  
Reina Puspita Rahmaniar ◽  
Dyah Widhowati ◽  
Nurul Hidayah

Abstract The purpose of this study was to determine the resistance of several antibiotics phenotypically and genotypically to detect the tetA gene from broiler chicken liver samples at Dukuh Kupang market, Surabaya. A total of 30 samples were taken and then prepared aseptically and sterile. Isolation on Eosin Methylene Blue Agar (EMBA) media, then microscopic examination using gram staining and biochemical tests of Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Sulfide Indole Motility (SIM), Methyl Red (MR), Voges Prouskauers (VP) and Simons Citrate Agar (SCA). The identified Escherichia coli colonies were tested for antibiotic sensitivity using the Kirby Bauer method, then isolates that were proven to be resistant to tetracycline antibiotics were followed by genetic testing using the Polymerase Chain Reaction (PCR) method. The results showed that 20 of the 30 samples were positive for Escherichia coli. Escherichia coli isolates from chicken liver samples showed resistance to 30 µg tetracycline antibiotics by 85% (17 of 20 samples) Researchers also compared with other antibiotics, the highest resistance to ampicillin 10 µg was 90% (18 out of 20 samples), gentamicin resistance was 10 µg by 50% (10 of 20 samples) and 30 µg chloramphenicol antibiotic resistance by 30% (6 of 20 samples). The isolates that were resistant to tetracycline were confirmed by Polymerase Chain Reaction to detect the tetA gene with the final product in the form of a band with a length of 210 bp. Bacterial isolates resistant to Tetracycline antibiotics did not always show TetA gene expression in the PCR test. Keywords: Antibiotic Resistance; Escherichia coli; Market; TetA gene   Abstrak Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui resistansi beberapa antibiotik secara fenotip dan secara genotip mendeteksi gen tetA dari sampel hati ayam broiler di pasar Dukuh Kupang Surabaya. Sebanyak 30 sampel diambil kemudian dipreparasi secara aseptis dan steril. Isolasi pada media Eosin Methilen Blue Agar (EMBA), selanjutnya dilakukan pemeriksaan mikroskopis menggunakan pewarnaan gram dan uji biokimiawi Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Sulfide Indol Motility (SIM), Methyl Red (MR), Voges Prouskauers (VP), dan Simons Citrat Agar (SCA). Koloni Escherichia coli yang teridentifikasi dilakukan uji sensitifitas antibiotik dengan metode Kirby bauer, selanjutnya isolat yang terbukti resistan terhadap antibiotik tetrasiklin dilanjutkan pemeriksaan genetik dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR).  Hasil penelitian menunjukkan bahwa 20 dari 30 sampel positif Escherichia coli. Isolat Escherichia coli asal sampel hati ayam menunjukkan resistansi terhadap antibiotik Tetrasiklin 30 µg sebesar 85 % (17 dari 20 sampel) Peneliti juga melakukan perbandingan dengan antibiotik lainnya, resistensi tertinggi pada antibiotik ampisilin 10 µg sebesar 90 % (18 dari 20 sampel), resistensi gentamisin 10 µg sebesar 50 % (10 dari 20 sampel) dan resistensi antibiotik kloramfenikol 30 µg sebesar 30 % (6 dari 20 sampel). Isolat yang resisten terhadap tetrasiklin dikonfirmasi dengan Polymerase Chain Reaction untuk mendeteksi gen tetA dengan produk akhir berupa band dengan panjang 210 bp. Isolat bakteri yang resistan terhadap antibiotik Tetrasiklin tidak selalu menunjukkan ekspresi gen tetA pada uji PCR. Kata kunci: Escherichia coli; Gen TetA; Pasar; Resistansi Antibiotik.


Author(s):  
Bangkit Lutfiaji Syaefullah ◽  
Maria Herawati ◽  
Ni Putu Vidia Tiara Timur ◽  
Okti Widayati

Ayam kampung super merupakan salah satu ayam kampung yang ditingkatkan performannya dengan perkawinan silang. Akan tetapi, perkawinan silang tidak serta merta memperbaiki performan. Ada beberapa hal lain yang mempengaruhi performan yaitu lingkungan dan feed additive. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Temperature Humidity Index dan pemberian enkapsulasi fitobiotik minyak buah merah terhadap konsumsi air minum dan performans ayam kampung super. Materi yang digunakan adalah alat ekstraksi, alat dan bahan enkapsulasi, buah merah, kandang individu dan ayam kampung super serta pakan starter. Metode penelitian yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap 5 perlakuan dan 4 ulangan dengan uji lanjut Duncan Multiple Range Test. Pemeliharaan dilakukan selama 56 hari dengan Temperature Humidity Index yaitu 24,44 - 35,21 oC. Hasil penelitian menunjukan bahwa penambahan enkapsulasi buah merah tidak berpengaruh terhadap konsumsi air minum (P>0,05), konsumsi pakan (P>0,05), feed conversion ratio (P>0,05) dan berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan (P<0,05). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan dilokasi penelitian (Papua) relatif ekstrim dilihat dari selisih THI. Selain itu, berdasarkan uji lanjut bahwa penambahan enkapsulasi fitobiotik minyak buah merah terhadap penambahan bobot badan menghasilkan perlakuan terbaik pada penambahan 2,5% enkapsulasi minyak buah merah.


Author(s):  
Rizki Arizona ◽  
Dwi Nurhayati ◽  
Abdul R. Ollong ◽  
Priyo Sambodo

Abstract This study aimed to determine the vermicidal potency of the infusion of Buah Merah seeds, Rumput Kebar and betel nut peels against Ascaridia galli in chickens and body length of male and female A. galli. Dry test materials (5%, 10% and 15% for each concentration) were immersed in 100 ml of distilled water and incubated at 90 °C for 15 minutes. The solution was filtered using filter paper, and the filtrate was used in the treatment. Three active worms that obtained directly from chicken intestines were placed in 15 cm Petri dishes containing 25 ml of each treatment and control solution. Five replications were performed for each treatment. Observations were made 8 hours after treatment for paralysis and worm death. Measurements of the body length were made from the anterior end to the posterior end of the worm using a ruler. Observational data were processed using Anova, the significant difference was continued by the Tukey HSD test (P<0.05) with SPSS 16.0. Conclusion: all the materials used in this study have potential as anthelmintics against A. galli and the highest dose of rumput Kebar infusion is the best vermicidal. The body length of female A. galli is longer than of the male. Keywords: Betel nut peels; Buah merah seeds; Infusion; Rumput kebar; Vermicidal   Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi vermisidal infusa biji Buah Merah, Rumput Kebar dan kulit buah Pinang terhadap Ascaridia galli pada ayam dan ukuran panjang tubuh A. galli jantan dan betina. Bahan uji kering (5%, 10% dan 15% untuk masing-masing konsentrasi) direndam dalam 100 ml aquadestillata dan diinkubasi pada suhu 90 °C selama 15 menit. Larutan disaring menggunakan kertas saring, dan filtratnya digunakan dalam perlakuan. Tiga cacing yang aktif bergerak yang diperoleh langsung dari usus ayam, ditempatkan dalam cawan Petri berukuran 15 cm yang berisi 25 ml masing-masing larutan perlakuan dan kontrol. Dilakukan lima ulangan untuk setiap perlakuan. Pengamatan dilakukan 8 jam setelah perlakuan terhadap paralisis dan kematian cacing. Pengukuran dilakukan dari ujung anterior ke ujung posterior cacing menggunakan penggaris. Data hasil pengamatan diolah menggunakan Anova, perbedaan nyata dilanjutkan dengan uji Tukey HSD (P<0,05) dengan SPSS 16.0. Kesimpulan: seluruh bahan yang digunakan pada penelitian ini memiliki potensi sebagai anthelmintik terhadap A. galli dan dosis tertinggi infusa rumput Kebar merupakan vermisidal yang paling baik. Panjang tubuh A. galli betina lebih panjang dari pada jantan. Kata kunci: Biji buah merah; Infusa; Kulit buah pinang; Rumput kebar; Vermisidal


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document